Proses dan Karya Itu Nomor Satu yang Lain Nomor Dua -->
close
Pojok Seni
07 February 2022, 2/07/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-02-07T01:00:00Z
ArtikelSeni

Proses dan Karya Itu Nomor Satu yang Lain Nomor Dua

Advertisement
diskusi artistik


pojokseni.com - Dalam beberapa festival teater yang digelar belakangan, terutama untuk grup teater "umum", pembicaraan terkait mutu artistik dari karya justru ditiadakan. Pembicaraan pasca pertunjukan justru lebih fokus pada "apa-apa selain seni", menjadikan seni sebagai pembicaraan nomor dua.


Kemudian, beberapa pendirian asosiasi seni atau aliansi, komunitas, dan sebagainya, juga menomor duakan pembicaraan terkait proses dan kekaryaan. Pembicaraan tentang seni, proses, dan kekaryaan pada akhirnya hanya terkurung sebatas internal grup atau komunitas. 


Hasilnya, muncul pernyataan yang menurut hemat penulis cukup "merendahkan" seni. Seperti, "kenapa harus belajar seni apalagi kuliah, kan belajar di di sanggar saja cukup." Lalu, diskusi di luar internal grup kesenian juga bukan pembicaraan tentang seni. Kadang bicara politik, dan terakhir ini pembicaraan yang paling "paten" terhadap seni ialah; bisnis.


Seakan-akan, muara akhir dari seni bukanlah pencapaian artistik seorang seniman. Tapi, pariwisata dan bisnis. Yah, seakan-akan, muara akhir dari seni adalah pariwisata.


Proses dan Kekaryaan adalah Nomor Satu


Pemikiran berbeda didapatkan oleh seseorang yang mempelajari atau mendalami seni secara akademik. Tentunya, seseorang yang bekerja atau berprofesi sebagai seniman, di dalam kepalanya selalu ingin mendapatkan pencapaian artistik yang lebih tinggi dan terus melampaui dirinya sendiri. 


Dan semua itu hanya bisa didapatkan proses. Seseorang yang "kecanduan" berkarya, pada akhirnya berani mengambil keputusan yang mengerikan dalam hidupnya; menjadi seorang seniman, baik independen maupun komunitas.


Ada beberapa orang yang cukup mumpuni untuk berinteraksi dan manajemen tata kelola kelompok, maka akan mendirikan komunitas seni. Sedangkan beberapa orang yang memilih "terisolir" dalam konteks sosial, memlih sebagai seniman independen.


Beberapa seniman menyatakan bahwa jaringan dan modal adalah hal paling utama untuk keberhasilan seorang seniman. Ternyata, itu adalah perspektif yang terbalik. Proses dan kekaryaan adalah nomor satu. Apabila ada sebuah karya yang baik dan berkualitas, maka akan ada orang-orang yang tertarik pada karya tersebut. Baik penonton, pengkaji, dan teman-teman diskusi.


Lewat itulah, sebuah jaringan terbentuk. Lewat sebuah proses yang panjang, dan kekaryaan yang menjaga mutunya. Proses tersebut juga akan membangun regenerasi untuk terus menyiapkan dan mencetak seniman berkualitas berikutnya.


Pembicaraan tentang artistik mestinya menjadi sebuah pertimbangan yang mesti diutamakan pasca pementasan atau festival. Setiap saran dan kritik tentunya bisa menjadi penyempurna karya tersebut ke depannya. Seperti seorang yang belajar tari, tentunya tidak hanya belajar gerak. Seorang yang belajar musik, tidak hanya belajar bunyi. Juga, seorang yang belajar teater, bukan hanya belajar "percaya diri" di atas panggung.


Bicara seni bukan sekedar bicara kreativitas. Apalagi bicara bisnis. Seni sejak berabad-abad silam berfungsi sebagai pemeluk peradaban, terus mengingatkan agar tidak keliru mengenali diri sendiri, dan apa sebenarnya tujuan manusia diciptakan di atas bumi. Seni juga terus mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk lemah, punya banyak kesalahan, dan sebagainya. Pencapaian artistik bagi seorang seniman, seperti sebagaimana penemuan bagi seorang ilmuwan.


Apakah seni pada akhirnya harus terus diturunkan kodratnya menjadi sekedar "alat" untuk meningkatkan penghasilan daerah? Bagaimana di New York, ketika setiap senimannya tetap mencoba terus menggali dan mengeksplorasi diri untuk mencapai sebuah titik tertinggi dari penyampaian emosi melalui media gerak, musik, seni pertunjukan, dan sastra. Tapi, di sisi lain kehidupan para senimannya juga terjamin, dan New York tetap menjadi "ibukota teater Amerika" dengan jutaan orang mengunjungi Broadway setiap tahunnya?


London yang menjadi ibukota teater dunia tetap membiarkan para seniman teaternya berproses dan menciptakan karya-karya monumental. Namun di sisi lain, kunjungan para penikmat teater ke London tetap tinggi setiap tahunnya. Tidak ada embel-embel "pariwisata" dilekatkan ke para seniman, namun karya-karya mereka yang pada akhirnya menarik perhatian para penikmatnya.


Sedangkan di beberapa tempat di Indonesia, khususnya di tempat yang ekosistem seninya "megap-megap", belum mulai saja para senimannya sudah dilekatkan dengan tugas tambahan; menjadi duta pariwisata.    

Ads