Kolintang Goes to UNESCO -->
close
Pojok Seni
27 February 2022, 2/27/2022 01:07:00 PM WIB
Terbaru 2022-02-27T06:07:10Z

Kolintang Goes to UNESCO

Advertisement


Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.* 


Tulisan ini bukan semata untuk menkritik atau meragukan argumen dari sosok yang saya hormati dan segani, seorang tokoh kawanua di Jakarta, Bapak Max Wilar, tetapi hanya tanggapan yang niscaya akan memperjelas prosedur yang sudah ditempuh oleh tim pengusul yang digawangi oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara, bekerja sama dengan Persatuan Insan Kolintang Nasional (PINKAN) Indonesia, yang mewadahi pergerakan termasuk pengembangan dan pelestarian musik kolintang di seluruh dunia. 


Dalam laman beritamanado.com (https://beritamanado.com/catatan-max-wilar-tentang-kulintang-menuju-cultural-heritage-unesco/), disebutkan bahwa perlu ditolak upaya pengajuan musik kolintang ke UNESCO secara ‘joint submission’, karena hal itu menurut beliau akan sangat merugikan, termasuk juga, secara substansi, musik kolintang negara lain (baca: Filipina) tidak sama dalam hal materi atau alat musik kolintang itu. 


Hal lain yang diangkat beliau adalah semacam desakan membentuk tim untuk mengkaji keabsahan dan kesahihan musik kolintang Minahasa, yang berasal dari kayu itu, ditinjau dari berbagai perspektif ilmu pengetahuan, seperti filsafat, kajian budaya, sejara, bahkan antropologi. Demikian juga, dikatakan bahwa perlu dibuat sebuah naskah akademik baru yang berisi tentang kajian akademik tentang musik kolintang dan sepertinya saran beliau dipublikasikan dalam jurnal internasional. 


Atas dasar itu, maka beliau secara tegas menolak untuk mengajukan musik kolintang ke UNESCO secara bersama (joint submission) dengan negara tetangga dalam hal ini Filipina. 


Terhadap fakta ini penulis mencoba melihat dari sisi yang lebih prosedural karena perjalanan pengusulan ke UNESCO bukanlah hal yang mudah dan juga bukan baru kali ini diusulkan. 


Pertama, tanggapan untuk menolak, menurut ukuran penulis, tidak memiliki dasar  yang kuat. Mengapa demikian karena desakan beliau terutama untuk penyusunan naskah akademik yang baru, justru sedang diupayakan sampai saat ini, yang juga mencakup kajian-kajian dari berbagai ilmu pengetahuan yang terkait dengan musik kolintang itu. 


Kedua, penolakan beliau atas metode ‘joint submission’ itu, semakin tidak jelas dasarnya, karena beliau mendasarkan pada perbedaaan bahan dasar kolintang kayu Minahasa dan kolintang dari Negara yang akan ‘joint submission’. Apakah beliau tahu yang sudah diupayakan saat ini adalah tetap mengusung kolintang kayu Minahasa? 



Ketiga, pilihan untuk ‘join submission’ bukan pilihan tim pengusul. ‘Joint submission’ adalah keputusan dari Juri yang dipercayakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, juga karena upaya untuk mengajukan ke UNESCO besar kemungkinan adalah melalui metode ini. Kendati begitu, upaya ini tidak kemudian meninggalkan originalitas dari musik kolintang yang asli Minahasa yakni kolintang kayu. 


Keempat, terhadap catatan Wilar, Luddy Wulur, seorang seniman kolintang, menyatakan bahwa: Pengusulan dengan model ‘joint submission’, sama sekali tidak merubah originalitas kolintang kayu Minahasa, karena yang diusulkan adalah kolintang bukan kulintang (kulintang lebih condong menunjuk kepada alat musik yang berbahan dasar logam). Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa, kolintang adalah istilah bunyi-bunyian kayu orang Minahasa yang sesuai dengan filosofi yang hidup dalam ekosistem di Minahasa (Waleposan), yang juga secara komprehensif hidup di masyarakat Minahasa. Sedangkan Kulintang justru bermakna bunyi yang berasal dari tembaga atau besi. 


Kelima, maka sebagai dasar yang menguatkan bahwa istilah yang benar adalah kolintang yakni Penetapan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI dengan sertifikat Nomor Registrasi 204755/MPK.F/DO/2-13, tertanggal 16 Desember 2013. Di dalamnya dengan jelas dituliskan “Kolintang”: Warisan Budaya Tak Benda.

Keenam, di sisi yang sama, Naskah Akademik yang telah dipresentasikan pada tanggal 15 Pebruari 2022, sesuai undangan Kemendikbud oleh Tim Penyusun yang sangat meyakinkan Juri/panitia, saat itu, menyarankan agar Kolintang diusulkan lewat ‘join submission’ untuk bisa lolos. Hal ini ditempuh karena menurut pandangan UNESCO budaya musik kolintang yang beragam, terdapat di beberapa negara termasuk Indonesia dan Filipina, dan bagi UNESCO hal ini menjadi prioritas mereka. Adapun tim penyusun/presentator diketuai oleh Franki Raden, Ph.D. seorang Etnomusikolog.


Maka dengan demikian, keputusan untuk “joint submission”, bukan karena pilihan satu-satunya, tetapi juga didasarkan pada pertimbangan UNESCO dan penilaian akhir Juri (Kemendikbud). Oleh karena itu maka semua prosedur yang telah berlangsung selama ini merupakan upaya untuk tetap mengusulkan keaslian dan kekhasan musik kolintang kayu Minahasa ke UNESCO. 


Akhirnya, catatan beliau tentu dapatlah dilihat sebagai sebuah catatan saja, dan tidak lebih dari itu, karena faktanya, prosedur yang ditempuh sejauh ini, adalah sesuai dengan saran dan masukan dari UNESCO sendiri dan berdasarkan catatan penilaian dari Kemendikbud RI yang merekomendasikan para juri yang handal. Demikianlah tulisan ini semoga menjadi pencerahan yang bisa membuka cakrawala berpikir kita, bahwa originalitas musik kolintang tidak ditinggalkan kendati kita mengusulkan ke UNESCO secara ‘joint submission’. Kolintang Goes to UNESCO.


Penulis adalah Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado-Pegiat Filsafat

Ads