Advertisement
Oleh: Prof. Yusmar Yusuf
Berhala baru itu bernama manusia. Dia seolah menciptakan segala sesuatu. Seakan manusia pula yang menciptakan manusia. Bahkan lebih ironi, agamalah yang membentuk manusia ujar Marx, sebagai derivasi ucapan Feurbach tentang manusia dan Tuhan.
Sementara itu, ilmu pengetahuan diandalkan untuk mengungkap siapa manusia sebenarnya? Sama sekali belum berhasil menjawab pertanyaan ini. Tak heran jika keluar pernyataan dari Alexis Carrel tentang alam mikro yang diemban makhluk manusia berbunyi: “Derajat keterpisahan manusia dari dirinya, berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya…,” dan bukan tanpa alasan ketika Carrel menyambung pernyataan ini bahwa manusia adalah “makhluk yang misterius”.
Pandangan Barat, bahwa manusia diciptakan oleh masyarakat, sementara masyarakat dengan segala dimensinya adalah hasil ciptaan dari serangkaian “mesin-mesin produksi”; saat ini dikenal sebagai fenomena masinal. Manusia sebagai sosok misterius yang amat spiritual itu seakan tercabut dari pangkal sumbu kejadiannya. Sebuah puisi tua Cina, menggambarkan kenyataan ini, lewat perumpamaan seorang kekasih yang meninggalkan cintanya sekaligus deni menghindari derita yang ditimbulkan oleh tatapan mata sang kekasih yang memukau. Lalu, dia mengganti kekasihnya itu dengan cara memuja-memuja mawar, lalu mabuklah dengan mawar.
Terputuslah segala keinginan; Dikit demi sedikit; Ketika bunga mawar bermekaran; Tangkai-tangkai sarat mekar mawar; Penuh sendu ku tatap dia;dan menjelmalah ia; wajah kekasih
Dialektika-materialisme memandang manusia sebagai benda mati yang ada di tangan determinisme mesin-mesin pabrik. Lalu, kapitalisme menciptakan manusia menjadi “binatang ekonomi”. Katholik menganggap manusia sebagai bola mainan di tangan kekuatan gaib yang berkuasa (kehendak Tuhan). Sebaliknya, eksistensialisme datang dengan kuntum pikiran yang lebih ekstrim lagi: “manusia bukanlah makhluk ciptaan Tuhan, bukan pula ciptaan alam, bukan produk alat-alat produksi, tetapi manusia adalah “Tuhan yang menciptakan dirinya sendiri”.
Maka, elok ditelisik tentang kisah “api Ketuhanan” yang dalam mitologi Yunani kuno, yang diambil oleh Bramateus, kemudian dihadiahkannya kepada manusia dengan cara mencuri, ketika dewa-dewa lain sedang tertidur pulas. “Api Ketuhanan” itu lalu diabawanya ke bumi. Dan Bramateus pun memperoleh hukuman dengan siksaan keras dari dewan dewa-dewa, karena dengan “api Ketuhanan” itu pulalah manusia akan melumpuhkan kekuatan adi para dewa dan akan selalu melawan dan menentang kekuasaan para dewa.
Sejak itu, manusia berjarak dengan Tuhan. Sebaliknya agama-agama Timur seperti Zoroaster; manusia adalah kawan Tuhan sekaligus pendukung Ahuramazda, bahkan disebut-sebut manusia membantu Tuhan dalam peperangan besar untuk memenangkan kebaikan melawan Manyu (dewa angkara murka dan pasukannya). Demikian pula agama pantheisme logos seperti Hindu mengajarkan Tuhan, Manusia dan Cinta sama-sama membangun alam semesta demi mewujudkan alam dalam bentuk yang baru.
Dalam agama samawi “api Ketuhanan”, dikemukakan dalam bentuk Nur (cahaya, hikmah atau dakwah) dari langit yang dibawa oleh para utusan Allah kepada manusia untuk memecah dan terbebas dari kegelapan dunia demi menuju cahaya benderang. Dan, mengalirlah pertanyaan bergelombang tentang siapa kita.
Ada yang beranggapan bahwa manusia adalah makhluk asli. Memiliki substansi mandiri di antara makhluk fisik dan gaib. Manusia juga adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas (sebuah iradah). Manusia sebagai ‘sebab awal yang mandiri’, terlibat dan bekerja dalam keterpaksaan alam (sunnatullah) untuk membangun sejarah. Lalu, manusia adalah makhluk yang sadar (berfikir) yang menjadi ciri menonjol dari sekian makhluk yang ada di muka bumi.
Elaborasi dari Blaise Pascal, seorang ilmuan fisika besar menyebutkan bahwa “manusia sebenarnya tak pernah menjadi sesuatu yang lain kecuali seonggok daging yang tak berarti, dan dengan hanya sekedar virus halus sudah cukup untuk membunuhnya. Namun, jika seluruh makhluk di dunia ini berusaha untuk mematikannya, ternyata dia lebih perkasa dari mereka. Kalau benda-benda yang ada di alam ini diancam oleh manusia, mereka tak menyadari ancaman itu, tapi bila hal itu dilakukan terhadap manusia, dia menyadarinya”. Di sini, kesadaran adalah elan vital dan lebih tinggi dari eksistensi.
Dan, manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri dengan menisbatkan budaya dalam kehidupannya. Dengan ini memungkinkan manusia mempelajari dirinya sendiri sebagai obyek yang terpisah dengan dirinya.
Selanjutnya, manusia digolongkan sebagai makhluk kreatif, yang mampu mengangkat dirinya sebagai makhluk yang sempurna. Dengan kreativitas ini pula membuat manusia memiliki kekuatan luar biasa, yang memungkinkan dirinya menembus batas fisik dan memberinya capaian-capaian agung dan tanpa batas. Kreativitas ini pula yang melayani kehendak manusia menciptakan alat-alat di awal peradabannya dan mencapai puncaknya dengan teknologi canggih terkini.
Manusia, lalu digolongkan sebagai makhluk yang punya cita-cita serta merindukan sesuatu yang ideal. Dari sini manusia mengenal batas tak menerima atas “apa yang ada”, tetapi mengubahnya menjadi “apa yang seharusnya”. Makanya manusia senantiasa berteknologi. Selanjutnya manusia adalah makhluk moral, tentang pentingnya nilai-nilai; etos, cara kerja, tertib dan tatanan, bukan semata keuntungan. Analogi kesempurnaan capaian peradaban manusia, telah dicapai saat ini dan manusia mengakui itu, sebab, dia sendiri mengaku bahwa capaian puncak ini pula awal dari kehancuran peradabannya.