Advertisement
pojokseni.com - Banyak orang - bahkan seniman - yang membebankan fungsi non estetis pada seni. Mulai dari fungsi moral, relijius, politis, hingga ekonomis. Namun sejumlah seniman "penganut" jargon "seni untuk seni" seperti Theopile Gautier, Edgar Allan Poe, hingga Oscar Wilde menolak hal tersebut mentah-mentah. Mereka ini menolak seni diberi beban untuk melayani fungsi-fungsi seperti yang disebut sebelumnya.
Edgar Alan Poe menyebut, tidak ada puisi yang lebih bermartabat dari sebaris puisi yang ditulis demi sebaris puisi itu sendiri. Sedangkan Gautier lebih ekstrim lagi dengan menyebut bahwa tidak ada hal indah yang berguna, dengan kata lain kegunaan dan keindahan bukanlah dua hal yang sejajar. Gautier juga menulis dalam pengantarnya di Mademoiselle de Maupin, yakni seandainya kembang di seluruh dunia dihabiskan, toh juga tidak akan ada masalah berarti di dunia ini. Dengan kata lain, tidak ada yang berkurang (secara materil) bagi dunia, seandainya seluruh kembang di bumi ini dihilangkan.
Gautier mempertanyakan, apakah ada satu orang saja yang rela seluruh bunga di bumi ini menghilang? Apakah ada satu orang yang cukup sinting untuk menghilangkan semua taman bunga tulip di Belanda untuk menggantinya dengan ladang kentang? Atau ada satu orang yang cukup gila untuk menukar semua taman bunga sakura di Jepang dengan ladang kubis? Yah, "indah" memang tidak berguna. Karena hal yang berguna bagi manusia tidak ada yang indah. Begitu kata Gautier. Gautier juga menegaskan, bahwa semua yang dibutuhkan manusia adalah kebutuhan. Dan kebutuhan manusia adalah hal yang menjijikkan. Sedangkan seni, bukan hal yang "bisa" menjijikkan.
Bentuk pengenyampingan kreteria kegunaan ini memang sebuah bentuk radikal dari "ketanpapamrihan" seni. Jargon yang terkenal dari estetitisme ini ialah, "seni untuk seni". Seperti dikatakan Edgar Allan Poe, bahwa puisi yang dibuat untuk puisi itu sendiri adalah puisi yang paling bermartabat. Radikalisasi ketanpamrihan seni ini pada akhirnya menjadikan estetitisme melawan pandangan estetika yang sudah mengemuka sebelumnya. Seperti di era Victorian, nama Charles Dickens tentunya menjadi salah satu panutan karena menjadikan sastra seutuhnya untuk mengajarkan kebaikan moral. Namun hal ini, disebut oleh Edgar Alan Poe dalam esainya berjudul Poetic Principle, adalah hal yang "buruk" atau setara dengan "bidah".
Didaktisme yang menjadikan seni sebagai "sarana" untuk fungsi tertentu, tentunya berlawanan dengan pandangan estetitisme yang menyebut bahwa keindahan dan kegunaan bukan dua hal yang sejajar. Keindahan suatu karya, kata Poe, bukan dari apa "pesan" yang dikandung di dalamnya, juga bukan dari nilai moralnya. Tapi, justru dari rasa karya seni itu sendiri. Itulah unsur hakiki bagi seni menurut Edgar Allan Poe.
Bukankah Seni Harus Menyuarakan Kebenaran?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Poe justru berkata bahwa pernyataan-pernyataan seni harus membawa ini, harus membawa itu, adalah pernyataan dari para musuh-musuh kesenian itu sendiri. Dan didaktisme, adalah yang terburuk, menurut Poe. Bahkan bila seluruh musuh kesenian disatukan menjadi satu, masih jauh lebih buruk didaktisme. Poe mengatakan, asumsi bahwa seni harus membawa atau menyuarakan kebenaran, serta seni juga perkara kebenaran, adalah hal yang keliru. Keindahan dan kebenaran bukan dua hal yang sama, bahkan mungkin dua hal yang "tidak bisa disatukan". Poe memberikan contoh minyak dan air untuk keduanya.
Pencarian terhadap kebenaran, dilakukan di dalam bidang akademik, berdasar pada ilmu pengetahuan, juga kaku serta "saklek". Meski demikian, juga tetap harus berkembang, dan setiap argumen didasari pada teori, penelitian, dan hal-hal lainnya. Sedangkan seni, dan pencarian terhadap keindahan, adalah hal yang sangat berbeda. Ilmu pengetahuan, teknik, dan sebagainya digunakan "include" di dalam keindahan, bukan untuk mencari keindahan. Keindahan juga tidak bisa kaku, karena harus terus bergairah. Juga, tidak ada yang bisa dan mampu menyentuh keindahan sebuah karya seni, bila pembicaraan tentang kebenaran di dalamnya masih belum dikesampingkan.
Karena itu, deduksi Poe adalah; "tidak ada rekonsiliasi untuk kebenaran dan keindahan."
Tidak Relevan adalah Keindahan
Oscar Wilde punya pendapat yang hampir sama. Ia menyebut estetitisme sebagai sikap tanpa pamrih. Evaluasi estetis juga mesti dilakukan dengan sikap yang berjarak untuk mencapai posisi estetitisme. Karena itu, Wilde kerap menyuarakan tentang otonomi seni. Seni baru indah ketika tidak ada relevansinya.
Sebagai contoh:
Ada beberapa aktor yang menangis, meratapi, dan pucat pasi karena seorang pria yang bernama Raden Saleh di dalam naskah Ayahku Pulang, karya Usmar Ismail. Pertanyaannya, siapakah Raden Saleh bagi para orang-orang ini? Apakah orang-orang ini memiliki hubungan dengan seorang yang bernama Raden Saleh? Ataukah aktor-aktor tersebut juga pernah merasakan ditinggalkan oleh ayahnya yang tidak bertanggung jawab? Jawabannya, harus tidak. Karena disitulah letak indahnya seni drama.
Bila orang-orang tersebut katakanlah punya relevansi dengan kisah di drama tersebut, maka orang-orang tersebut bukan menangisi Raden Saleh, tapi menangisi orang lain. Penonton yang "tidak berjarak" juga akhirnya menangisi kisah hidup orang tersebut. Maka, itu bukan keindahan dari seni peran. Ketika seorang aktor melakukan penghayatan terhadap peran sebuah peran yang tidak ada relevansi dengan dirinya, maka akan muncul keindahan dari karya seni tersebut.
Karena itu, menurut Wilde, muatan karya mesti diletakkan sebagai sesuatu yang tidak relevan. Dengan meletakkan "muatan" karya sebagai sesuatu yang tidak relevan dengan karya tersebut, maka kekuatan seni akan terasa. Seniman juga mesti dipandang sebagai "individu jenius yang sulit dimengerti" dan kadang terlepas dari konteks sosial. Karena itu, evaluasi karya seni mesti dilepaskan sama sekali dari konteks sosialnya, meski sulit.