Estetika yang Menubuh: Sebuah Persepsi Tanpa Perspektif -->
close
Pojok Seni
08 February 2022, 2/08/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-02-08T01:00:00Z
EstetikaSeni

Estetika yang Menubuh: Sebuah Persepsi Tanpa Perspektif

Advertisement



pojokseni.com - Salah satu model persepsi yang paling ingin dicapai oleh filsafat estetika barat ialah "persepsi tanpa perspektif". Persepsi tanpa perspektif yang dimaksud adalah sebuah persepsi yang tidak dibatasi oleh kekhasan perspektif tertentu, juga persepsi yang objektif. Tujuannya adalah untuk menemukan sebuah gambaran tentang kenyataan yang justru tidak ditemukan dari perspektif manapun, hanya dari sudut pandang keabadian.


Hal itu yang kemudian menjadi proyek intelektual seorang Maurice Merlaeu-Ponty yang terkenal dengan pemikirannya yang disebut "estetika yang menubuh". Apa yang dimaksud dengan estetika yang menubuh?


Untuk menjawabnya, kita perlu menarik sedikit ke belakang tentang latar belakang Merleau-Ponty dan kaitannya dengan gerakan fenomenologi di Prancis. Menurut Merlaeu-Ponty untuk membedah masalah persepsi estetis manusia, mesti difokuskan pada pengalaman langsung manusia dengan tubuhnya.


Persepsi konseptual terkait hakikat sebuah objek bukan satu-satunya hal yang dihasilkan oleh persepsi indrawi, menurutnya. Sebab, dalam konteks persepsi indrawi, khususnya persepsi visual manusia akan menggunakan mata. Namun, menurut Merlaeu-Ponty, tidak hanya mata yang digunakan untuk persepsi indrawi, tapi seluruh tubuh. Karena tubuh adalah satu kesatuan dengan "manusia".


Manusia bukan memiliki tubuh, sebagaimana mereka memiliki benda lain, seperti katakanlah handphone, atau pensil. Tapi, manusia adalah tubuh itu sendiri. Tubuh yang dihidupi. Karena itu, tubuh bukanlah sebuah objek sebagaimana objek lain di dunia ini.


Hal ini tentunya membantah pemikiran sebelumnya yang menjadikan tubuh sebagaimana objek pada umumnya. Hal itu justru akan membuat tubuh manusia dan bebatuan di sungai tidak memiliki perbedaan secara ontologis. Padahal, tubuh manusia adalah pemberi perspektif, sebagaimana mata dan indra lainnya. Karena itu, menurut Merlaeu-Ponty, tubuh adalah titik berangkat bagaimana manusia memiliki hubungan dengan dunia.


Misalnya ketika menikmati sebuah lukisan, di mana organ utama yang bekerja adalah mata. Faktanya, aroma ruangan dan lukisan, suhu, dan semua yang berada di sekitar lukisan, akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap karya tersebut. Itu berarti, bahkan persepsi pada sebuah lukisan (yang jelas-jelas visual) justru tidak hanya dinikmati oleh mata, tapi seluruh tubuh.


Hal itulah yang membedakan bagaimana persepsi estetis seseorang melihat lukisan yang sama secara langsung, dan lewat handphone misalnya. Menyaksikan sebuah pertunjukan teater secara langsung akan memiliki persepsi estetis yang berbeda dengan menyaksikannya lewat layar laptop.


Kebanyakan karya seni akan selalu bersetia pada pengalaman langsung. Baik itu seni lukis, maupun seni pertunjukan. Karya seni jauh lebih besar dari sekedar penjumlahan bagian-bagiannya. Pertunjukan teater, jauh lebih besar daripada sekedar kumpulan para aktor, penata artistik, kru, penata musik, dramaturg, dan sutradara. Lukisan juga jauh lebih besar daripada sekedar kain kanvas, cat, dan bingkai.


Berbeda dengan batu gunung misalnya. Ketika dipecahkan menjadi berkeping-keping, ia tetap batu gunung. Tapi, seorang aktor yang terpisahkan dari grup teaternya dan dari pertunjukan, juga akan berbeda nilainya. Kain kanvas yang robek juga bukan lagi sebuah lukisan meski didapat dari lukisan karya Affandi. Semuanya "harus" berada satu kesatuan, dan menikmatinya juga dalam satu kesatuan. 

Ads