Bolehkah Seni Dijejalkan Dengan Tugas "Ekonomi"? -->
close
Pojok Seni
09 February 2022, 2/09/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-02-09T01:00:00Z
ArtikelArtikel SponsorBerita

Bolehkah Seni Dijejalkan Dengan Tugas "Ekonomi"?

Advertisement


pojokseni.com - Tentunya, Anda sudah sering duduk berdiskusi tentang seni yang pada akhirnya berujung pada satu kesimpulan; dukungan pemerintah. Yah, seni bisa maju dengan dukungan pemerintah. Tanpanya, seni tak akan bisa apa-apa. Begitu kira-kira akhir kesimpulannya.


Namun, "dukungan pemerintah" yang secara kasar kita artikan sebagai, "adanya sejumlah uang dari kas pemerintah" yang disumbangkan untuk pemajuan seni, selalu membutuhkan "tumbal". Kita bisa simpulkan saja, dari seluruh pengeluaran uang pemerintah, hanya ada dua alasan, satu alasan ekonomi, dua alasan sosial. Akan lebih diutamakan bila bisa memenuhi keduanya.


Karena itulah, untuk pemajuan seni, dua alasan tersebut juga digunakan. Sebab, pengeluaran dana yang ditujukan untuk alasan sosial, biasanya berupa bantuan untuk bencana alam dan setipenya, jelas bukan untuk kesenian. Kesenian harus memenuhi kedua alasan tersebut, baik ekonomi maupun sosial.


Dengan demikian, seni diberi tugas tambahan. Bisa jadi untuk memajukan pariwisata, atau yang kedua, untuk memberi pemasukan ekonomi bagi pemerintah. Masalahnya, seni yang bisa dibebankan tugas mulia semacam itu bukanlah seni murni, melainkan seni terapan.


Seni murni, semacam teater, tari, sastra, hingga seni rupa tentunya akan sulit memenuhi kedua alasan tersebut sekaligus. Tugas "mereka" jelas bukan untuk meningkatkan ekonomi negara. Kalaupun ada seni ada yang bisa dengan mudah masuk dalam kategori ekonomi kreatif tentunya seni terapan, misalnya kerajinan tangan. Atau, seni yang sudah "terindustri" sejak lama, semacam film dan musik yang komersial. Itupun pada akhirnya dimasukkan ke kategori "seni terapan".


Sejak era pencerahan, sudah ada distingsi yang tegas antara seni murni (fine art) dengan seni terapan (handycraft). Imannuel Kant menyatakan bahwa perbedaan keduanya sangat mencolok, meski sama-sama "indah" dan "kreatif".


Seni murni, menurut Kant, adalah pekerjaan yang menyenangkan pada dirinya dan dilakukan demi seni itu sendiri. Tidak pernah ada "kepentingan" dalam pengerjaan seni murni.


Sedangkan seni terapan, adalah seni "berpamrih" yang sejak awal dilakukan dengan banyak pertimbangan. Menyenangkan atau tidaknya seni terapan diukur dari "seberapa berguna" dan "efek" yang ditimbulkan.


Karena itu, ide Denny JA tentang komersialisasi puisi adalah ide paling konyol yang pernah coba direalisasikan di Indonesia. (Meski harus diakui bahwa idenya untuk menjadi tokoh sastra secara tiba-tiba juga ide yang lebih konyol)


Tapi, apakah memang seni murni begitu "tidak berguna"? (Simak artikel sebelumnya tentang: Estetitisme: Sebuah Radikalisasi Ketanpapamrihan Seni)


Mungkin, dalam jangka panjang ketika ekosistem seni sudah benar-benar hidup, seni murni bisa "berguna" bagi negara. Para senimannya membayar pajak, menyewa gedung pertunjukan, dan memancing para penikmat seni untuk datang ke suatu daerah yang tentunya berdampak baik bagi daerah tersebut. Tapi, itu bukan hal yang instan. 


Leonardo Da Vinci tidak menjadi pelukis dalam waktu sebulan, Pablo Picasso juga tidak menjadi maestro dalam waktu semalam. Tadashi Suzuki tidak membangun teaternya dalam waktu setahun. Dan teater di London mesti punya waktu hidup ratusan tahun sebelum mendukung "pariwisata" Inggris.


Sebab, seni murni adalah wilayah kebebasan dan otonomi, berbeda dengan seni terapan yang basisnya memang perdagangan. Seni murni menghasilkan karya seni, dan seni terapan menghasilkan barang dagangan. Apakah nantinya karya seni menjadi suatu "produk", tentunya disesuaikan dengan mutu artistiknya. Dan sekali lagi, tidak ada yang bisa dibangun dalam waktu semalam.


Sebuah ekosistem seni baru bisa hidup dan menghidupi setelah berjalan ratusan tahun. Dan ide agar seni mendapat tugas tambahan sebagai "pembangkit pariwisata", atau mungkin "penopang ekonomi", dalam waktu singkat, adalah ide paling konyol yang pernah terdengar di muka bumi.

Ads