Yuni: Isu Gender dan Sebuah Film Serba Tanggung -->
close
Pojok Seni
23 January 2022, 1/23/2022 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-01-23T00:00:00Z
ArtikelResensiUlasan

Yuni: Isu Gender dan Sebuah Film Serba Tanggung

Advertisement
Yuni sebuah film serba tanggung

pojokseni.com - Awal-awal kemunculannya akhir tahun 2021 lalu, film besutan sutradara Kamila Andini bertajuk Yuni sudah digadang-gadang akan menjadi standar film Indonesia hari ini. Film yang diproduseri Ifa Isfansyah dengan bendera Fourcolours Films berhasil menyabet penghargaan Platform Prize di Festival Film Internasional Toronto. Tidak hanya itu, film ini juga mengantarkan tokoh sentral mereka, Arawinda Kirana menyabet aktris terbaik di Piala Citra serta Festival Film Internasional Toronto, Red Sea International Film Festival dan Festival Film Tempo.


Dengan segudang penghargaan, tentunya menjadikan film Yuni adalah film yang layak ditunggu. Meski versi festival dan versi bioskopnya adalah "dua karya yang berbeda", tapi versi bioskop adalah versi lebih panjang dan runut dari festivalnya. Apa yang dibicarakan di film ini?


Beberapa isu yang diangkat adalah pernikahan dini, penjara patriarki, kebebasan untuk mendapatkan pendidikan, LGBT, liarnya kehidupan remaja, poligami, kungkungan adat dan reliji, dan sebagainya. Yah, semuanya tumpek blek di dalam satu film sehingga menjadikannya serba tanggung. Terlalu banyak yang dikaitkan dengan seorang wanita SMA bernama Yuni.


Alur film juga banyak lompat sana sini, sedangkan ada banyak adegan obrolan antar wanita yang menjadikan film ini serba tanggung membahas satu isu. Puisi Sapardi Djoko Damono dari kumpulan Hujan di Bulan Juni juga tidak ada kaitan dengan isu yang diangkat, sehingga tidak lebih dari sekedar pemanis film alih-alih penguat.


Rantai Cerita Lompat Sana Sini


Yuni diceritakan telah dilamar 3 kali, pertama oleh seorang pemuda pekerja di proyek, kedua oleh bapak tua pemilik usaha kolam renang, dan terakhir guru bahasa Indonesianya sendiri. Ketiganya ditolak oleh Yuni, dan berdasarkan kepercayaan setempat, bila menolak lamaran lebih dari dua kali, maka akan kesulitan mendapatkan jodoh seumur hidup.


Rantai cerita terputus atau mungkin melompat ke sana sini terpaksa harus "dimaklumi" saja oleh penonton. Misalnya, dimulai dari kenapa Yuni berteman dengan seorang perempuan "nakal" yang punya salon sendiri bernama Suci? Darimana "circle" pertemuan seorang wanita di SMA yang konservatif, ikut kegiatan beladiri, termasuk siswa cerdas, dan tinggal di perumahan sempit itu dengan seorang perempuan bebas? 


Yuni datang bersama teman prianya bernama Yoga ke dunia malam dan bermabuk-mabukan, hingga Yuni pulang dalam keadaan tak sadarkan diri. Kemudian apa yang terjadi? Dengan lingkungan yang jarak dari depan rumah yang satu ke rumah lain hanya dua atau tiga langkah kaki, ada seorang gadis yang pulang malam dengan seorang lelaki muda dalam keadaan mabuk? Bukankah baik sekolah, maupun lingkungannya begitu konservatif dan "kaku" untuk urusan "moral"?


Isu tentang tes keperawanan juga menjadi pembicaraan pembuka film ini. Lalu, apa yang terjadi? Apa tanggapan siswa, orang tua, dan apa yang dilakukan berikutnya? Hanya ada sedikit bahasan dari semacam berita di televisi, namun bisa dikatakan isu satu ini dilompati begitu saja.


Kemudian, guru bahasa Indonesianya sedang mencoba pakaian gamis serta hijab di sebuah toko. Yuni menangkap basah kejadian tersebut dan kabur karena ketakutan. Kemudian, apa yang terjadi? Guru bahasa Indonesia tersebut melamar Yuni. Yuni menerima lamarannya dan hari pernikahan tiba. Apa yang dilakukan Yuni di hari pernikahannya? Kabur dengan meninggalkan surat berisi puisi "Hujan di Bulan Juni", kemudian Yuni "berendam" di kubangan air atau mungkin di sungai. Apa esensi dari LGBT, pernikahan yang ketiga, lalu puisi Hujan di Bulan Juni?


Yuni seperti seorang yang mampu bersentuhan jiwa dengan puisi, padahal ia adalah seorang yang nilai Bahasa Indonesianya sangat jeblok khususnya di sastra sejak awal film. Bagaimana bisa seorang yang sangat lemah di pelajaran sastra, tiba-tiba menjadi seorang yang begitu bertautan dengan puisi?


Adegan Panas yang Tak Jelas Motifnya


Yuni sebuah film serba tanggung

Lebih mengejutkannya lagi, si Yuni banyak tampil vulgar di film ini. Ia bahkan sudah beradegan "dewasa" sejak awal film. Yah, di awal film ia sudah tampil tanpa sehelai benangpun, hanya untuk menampilkan seorang siswa yang akan berangkat sekolah. 


Kalau seandainya adegan tersebut disensor atau dipotong oleh (katakanlah) KPI, maka bisa dibilang tidak ada esensi dari adegan tersebut yang hilang. Seorang siswa bersiap hendak ke sekolah, tanpa terburu-buru, kemudian naik sepeda motor matik ke sekolah. Tentu saja tidak ada esensi yang berkurang bila seandainya tubuh Yuni tidak muncul di adegan awal.


Dan tentunya, yang paling mengejutkan bahwa Yuni berhubungan badan dengan Yoga di sebuah tempat. Yuni sendiri yang dengan agresif mendatangi Yoga dan memulainya, dan belum sempat berjalan 5 menit, Yoga yang pemalu langsung mendorong tubuh Yuni. Apa esensi adegan ini?


Awalnya, penulis mengira bahwa adegan hubungan badan tersebut hanyalah imajinasi dari Yoga saja. Karena ia pemalu, ia tak sanggup melakukannya. Apalagi, setelah kejadian itu, Yuni langsung mencercanya dengan pertanyaan, "kau sedang memikirkan apa?"


Setelah itu, sebelum pulang Yoga memberanikan diri mencium bibir Yuni. Bahkan, karena itu adalah pengalaman pertama Yuni, ia masih tetap memegangi bibirnya sebelum tidur. Tapi, ia tidak memegang bagian lain, yang menandakan bahwa sebenarnya adegan hubungan badan tadi hanya ada di pikiran Yoga.


Tapi hal yang berlawanan dikatakan oleh sutradaranya, Kamila Andini seperti yang diberitakan oleh CNN Indonesia. Di artikel yang dimuat dengan judul "Sutradara dan Pemeran Beberkan Makna Adegan Seks di Film Yuni", Kamila Andini mengatakan bahwa adegan seks tersebut untuk menunjukkan bahwa Yuni telah memiliki kontrol terhadap dirinya sendiri. Jadi, saat ia bilang ia sedang ingin bercinta, kapan dan bagaimana, ia sendiri yang menentukannya. 


Pemeran Yuni, Arawinda Kirana setuju dengan adegan seks tersebut apabila mengandung makna penting. Apabila makna penting yang dimaksud dari adegan tersebut ialah seperti yang dikatakan Kamila Andini, kenapa ketika pulang Yuni hanya memegangi bibirnya? Kenapa ia tidak sebahagia itu mendapatkan pengalaman berhubungan seks pertamanya? Bukankah karena rasa penasarannya, bahkan si Yuni mencari tahu sendiri apa itu orgasme dan cara masturbasi untuk perempuan?


Bila seandainya adegan tersebut merupakan fantasi nakal si Yoga, bukankah tesis yang paling tepat bukanlah  "kontrol terhadap diri sendiri" atau apalah  pembelaan Kamila Andini terhadap adegan tersebut. Tapi, fakta bahwa selama ini tubuh perempuan telah terus dijadikan objek fantasi "tanpa izin" oleh banyak pria, bahkan yang paling pemalu sekalipun.


Dengan demikian, sangat wajar bila film ini harus kalah telak ketika bersua dengan film Penyalin Cahaya (Photocopier) di Piala Citra tahun ini. Yuni yang digadang-gadang akan mendapatkan Piala Citra, bahkan menjadi wakil Indonesia ke Oscar itu, nyatanya memang mesti kalah telak dengan Penyalin Cahaya. Fakta membuktikan, bahwa Yuni dan Penyalin Cahaya bertemu di lebih dari 7 nominasi. Dan film Yuni hanya berhasil unggul di kategori "Pemeran Utama Wanita Terbaik". Itupun wajar, mengingat Yuni memang menjadi sentral utama dari film ini, dan kualitas aktingnya juga mumpuni.

Ads