Advertisement
Salah satu adegan di Song From the Second Floor, ketika tokoh utama berjanji menemui anaknya di sebuah kedai minum. |
PojokSeni.com - Song from the Second Floor, adalah sebuah film yang ditulis dan disutradarai oleh Roy Andersson asal Swedia dan rilis di tahun 2000. Film ini membawa kutipan dari sebuah puisi terkenal karya penyair Peru Cesar Vallejo berjudul "Stumble Between Two Stars". Bahkan beberapa kritikus menyebut pula bahwa film ini adalah suatu bentuk "alih wahana" dari puisi ke film. Film ini merupakan film pertama dari trilogi yang dikerjakan selama 14 tahun lebih, yakni Song from the Second Floor (tahun 2000), You, the Living (2007), dan ditutup oleh A Pigeon Sat on a Branch Reflecting on Existence (2014).
Adegan dimulai dengan kedatangan seorang pria bertubuh gemuk wajahnya kotor, dan membawa satu plastik hitam yang selamat dari kebakaran. Ia penuh dengan bekas abu yang menghitami wajahnya. Sedangkan dokumen yang berada di tangan tersebut hanyalah satu-satunya yang tersisa dari kebakaran yang menimpa kantornya. Ia berada di kereta bawah tanah, berada di jalan ingin bertemu dengan anaknya.
Tokoh utama berdiri di kereta bawah tanah, tubuhnya penuh dengan bekas abu kebakaran. |
Seorang pemuda duduk di kedai kopi ingin bertemu dengan ayahnya yang baru saja membakar kantornya sendiri (sebuah perusahaan furnitur) untuk mendapatkan uang asuransi. Ia terjebak kemacetan yang tampak tidak ada habis-habisnya. Di tengah-tengah kedua adegan tersebut (antara pria gemuk di kereta bawah tanah hingga anaknya di kedai kopi) ada sedikit adegan pendek di koridor, seorang pria berjalan menyeret seorang pria yang berpegangan erat di kakinya. Pria yang berjalan itu adalah seorang bos dan baru saja memecat seorang yang memegangi kakinya. Di koridor itu, ada banyak pintu, dan rata-rata pintu terbuka sedikit, ada orang-orang yang mengintip. Lelaki itu berteriak bahwa ia telah bekerja selama 30 tahun, dan memohon agar tidak dipecat.
Melihat film ini sekilas, maka Anda akan terbayang tentang apa yang dikatakan oleh Albert Camus. Bahwa di tengah absurditas hidup ini, manusia akan terus memaknai dirinya secara berbeda-beda di setiap hari. Seperti itu juga tokoh-tokoh di film ini. Seorang lelaki gemuk yang membakar kantornya sendiri itu punya satu tujuan. Namun tujuannya berubah di setiap adegan, dan terus berubah-ubah sepanjang film ini.
Salah satu adegan dalam Song From the Second Floor yang didasari pada baris puisi Cesar Vallejo "Berbahagialah orang-orang yang terjepit pintu" |
Kembali ke film ini, Anda akan disuguhi wajah-wajah yang pucat pasi, orang-orang yang mabuk, lalu lintas macet, dan pemandangan yang monochrome. Sebuah kiamat, tragedi, namun sekaligus lelucon. Bagaimana seorang yang duduk di sudut kota yang sumpek dengan pegangan moralnya yang saklek, memandang kapitalis modern yang merusak. Tidak ada yang bisa dilakukan penonton selain diaduk-aduk antara cemas, tercekat, sekaligus tak percaya. Namun, Anda akan menertawakannya.
Anda mungkin tidak menemukan film lain yang seperti ini. Seperti sebuah lukisan yang bergerak. Hadir seorang yang tak bicara sepatah katapun, atau serombongan pasukan, serombongan demonstran, yang sebenarnya nyaris tak ingin menyimbolkan apapun, namun menghadirkan ribuan simbol di kepala penonton. Apa yang paling tragis? Yakni ketika orang-orang putus asa, dilemparkan ke tempat yang tak punya harapan.
Apa yang ingin disampaikan Samuel Beckett tentang kesia-siaan, keputusasaan, tanpa harapan, jauh lebih revolusioner dihadirkan Ray Anderson di film ini. Jauh lebih menyakitkan, jauh lebih karikatural, sekaligus jauh lebih putus asa.
Bayangkan saja, semua tokoh yang dihadirkan adalah orang-orang yang berwajah pucat, menatap apapun tanpa ekspresi, tampak putus asa, dan lanskap yang absurd. Misalnya, apa yang terbayang di kepala Anda ketika seorang pesulap memotong tubuh sukarelawannya jadi dua, dan gagal? Yah, sukarelawan tersebut berakhir dengan perut yang robek dan usus yang nyaris keluar.
Seorang pesulap yang gagal mempraktikkan adegan sulapnya, membuat sukarelawan menjadi terluka dengan perut yang robek |
Setiap adegan-adegan sebenarnya punya kaitan. Tapi, kaitan itu terlalu tipis, meski disadari oleh para penontonnya. Lebih mengejutkan, bayangkan saja tiba-tiba di suasana atau latar abad modern alias abad ke-20 tiba-tiba datang satu pasukan abad ke-15 dengan rajanya untuk berperang. Sampai semua orang menjadi takut. Seakan-akan membenarkan pemikiran Nietzsche tentang "moralitas budak", ketika abad ke-20 dan era sudah modern, namun masih mudah termakan takhayul dari abad pertengahan, bahkan sebelum itu.
Film ini juga sempat disebut film "anti-kristen" mengingat banyaknya adegan "pengusaha yang berjualan salib" lalu ketika salib tersebut sudah rusak atau tidak terpakai lagi, maka akan dibuang sebagaimana sampah.
Seorang wanita yang masih kecil (baju putih) mengikuti prosesi ritual pengorbanan |
Sejumlah kritikus menulis hal-hal unik tentang film ini. J Hoberman menulis bahwa film ini memiliki konklusi bahwa setiap manusia sangat mudah untuk memberi hormat pada orang lain, ketimbang memberi minat atau kasih sayang. Film ini bukan hanya memberi jarak, tapi benar-benar menjauhkan.
Total 10 penghargaan diterima film ini, salah satunya film terbaik versi Guldbagge Award, sekaligus sutradara terbaik, skenario terbaik, sinematografi terbaik, hingga presentasi terbaik. Film ini juga mendapatkan penghargaan Bodil Awards, Cannes, Brothers Manaki International, dan sebagainya.