Advertisement
pojokseni.com - Dua orang berbicara, bahkan mungkin yang diceritakan adalah hal yang sama, namun respon seseorang terhadap apa yang dibicarakan bisa jadi berbeda. Apa yang membedakannya? Ternyata cara mereka menyampaikan apa yang ingin disampaikan dengan cara berbicara. Faktanya, sejak era Yunani antik alias berabad-abad sebelum masehi, seni berbicara sudah menjadi bahan pembicaraan.
Retorika alias seni berbicara yang dibahas pada era Yunani masih sangat sederhana ketimbang era saat ini. Perlu dicatat bahwa yang mengembangkan seni berbicara atau retorika ini justru Mesir, India, dan China. Meski demikian, pertama kali ilmu retorika dibahas dengan sistematis pada era Yunani. Saat itu, seni berbicara disebut dengan nama thcne rhetorike (teknik retorika).
Setidaknya, sejak era abad ke-7 SM, seni berbicara ini sudah dikembangkan dan didudukkan strukturnya. Saat itu, muncul para ahli pidato yang termasyur berkat kemampuan retorikanya. Beberapa di antaranya antara lain Solon (600-560), Peisistrator (600-527), hingga Perikles (500-429). Nama-nama lain yang cukup populer dan tercatat antara lain Alkibiades, Theramanes, Kritos, dan sebagainya.
Pidato diucapkan saat sidang pengadilan. Dari pengadilan itulah, para ahli retorika mulai mengembangkan struktur pidato yang baik dan benar. Melihat kemampuan berbicara di sidang pengadilan tersebut, lama-lama banyak yang berpikir bahwa kemampuan berbicara tersebut harus digunakan di berbagai bidang. Alhasil, para cendikiawan, aristokrat, hingga pedagang pun mulai mempelajari seni berbicara ini.
Dimulai di Sisilia
Uniknya adalah, pertama kali retorika disusun dan dikembangkan sekaligus dijalankan di Pulau Sisilia yang sekarang termasuk ke wilayah Italia. Saat itu, Sisilia adalah koloni Yunani. Meski daerah koloni, namun di Sisilia, kemerdekaan dan kebebasan berpendapat dilindungi oleh negara. Siapapun bisa berpendapat, selama pendapatnya bisa dipertanggungjawabkan dan memiliki landasan yang jelas. Hasilnya, ilmu retorika justru terlebih dulu dikembangkan di Sisilia, ketimbang Athena misalnya.
Ketika retorika sudah benar-benar menjadi sebuah disiplin ilmu, saat itulah Athena baru mulai mengembangkan retorika secara besar- besaran. Bahkan, berdirilah sekolah retorika dan pelajaran retorika juga menjadi pelajaran wajib bagi seorang yang disiapkan menjadi pemimpin Yunani masa depan. Ahli filsafat pun harus belajar retorika agar bisa berpidato untuk menyampaikan gagasannya. Nama filsuf besar seperti Socrates dan Aristoteles pun juga dikenal sebagai ahli retorika terbaik di era 400 - 300 SM.
Sokrates berpendapat bahwa retorika merupakan seni berbicara untuk menyampaikan pengetahuan dengan meyakinkan. Jadi, Sokrates menolak bahwa retorika ialah permainan kata-kata saja, apalagi bila tanpa makna. Syarat retorika, menurut Sokrates, adalah harus mengandung kebenaran.
Aristoteles justru menuliskan buku tentang retorika yang akhirnya menjadi dasar pijakan perkembangan ilmu retorika modern. Meski demikian, kejayaan retorika sebagai ilmu pengetahuan perlahan memudar ketika peradaban Yunani kuno mulai runtuh dan dikuasai oleh bangsa Romawi kuno.
Ahli Retorika Diusir di Era Romawi Kuno
Pertama kali Romawi menguasai tanah Yunani, maka Romawi akhirnya mempelajari kebudayaan, kesenian, dan literatur Yunani kuno. Akulturasi budaya Romawi dan Yunani terjadi dengan sangat baik, namun tidak dengan retorika. Awalnya, orang-orang Yunani yang menguasai ilmu retorika akhirnya mampu mendapatkan pengaruh besar di Romawi. Ternyata, kaum beragama yang konservatif di Roma justru menuding para ahli retorika Yunani hanya akan memperlemah pemuda Romawi. Atas desakan dari golongan konservatif inilah, para ahli retorika Yunani diusir dari Roma.
Cukup lama berselang hingga orang-orang Romawi sadar betapa mereka juga membutuhkan kemampuan berbicara seperti layaknya orang-orang Yunani. Hal itulah yang membuat mereka memanggil kembali ahli retorika Yunani untuk mengajar di sekolah retorika yang didirikan di Romawi. Anak muda Romawi belajar retorika oleh orang-orang Yunani, hingga akhirnya orang-orang Romawi lah yang menjadi pengajarnya. Meski kejadian "ahli retorika" yang terusir terjadi kembali, namun kali ini hasilnya berbeda. Ilmu retorika berkembang dengan sangat pesat di Romawi kuno.
Digunakan oleh Ahli Agama di Abad Pertengahan
Berikutnya, di abad pertengahan dan berikutnya, kemampuan retorika menjadi salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang ahli agama. Bahkan disebutkan bahwa Yesus dari Nazaret adalah seorang yang punya kemampuan retorika sangat baik, karena daya sugesti di setiap berbicaranya mampu mempesona banyak orang. Berikutnya, ahli agama di abad pertengahan juga terbiasa berkhotbah alias berpidato. Karena itu, ilmu retorika menjadi hal yang penting untuk dipelajari bagi kaum agamawan.
Sedangkan kaum humanis mengembangkannya di abad ke-14 dan 16 untuk tujuan ceramah, pidato, menulis surat, berdiskusi, dan sebagainya tentang ilmu pengetahuan. Ilmu retorika berkembang bersama dengan ilmu lainnya seperti dialektika, sastra, filsafat, pendidikan, dan sebagainya.
Retorika di Zaman Modern
Hingga karhinya di zaman modern, setelah melewati pasang-surut, di era renaisans ilmu retorika kembali berkembang. Era renaisans adalah era di mana titik awal perkembangan ilmu retorika di era modern. Ada nama Peter Ramus yang membawa kembali minat banyak orang pada retorika. Menurut Peter Ramus, retorika adalah ilmu yang berkenaan dengan elocutio dan pronuntation. Pemikiran Peter Ramus yang menjadi titik awal perkembangan retorika modern yang di kemudian hari diperkenalkan oleh Roger Vacon. Roger Vacon membagi retorika menjadi tiga aliran:
- Epistemologis
- Belles Lettres
- Elokusionis
Aliran epistemologis dalam retorika adalah yang membahas atau menyampaikan tentang ilmu pengetahuan. Dalam aliran ini, retorika menjadikan pendengarnya paham, tercerahkan pemahamannya, namun sekaligus tergerak keinginannya, terpengaruhi perasaannya, sekaligus menyenangkan untuk didengarkan. Definisi tersebut disandarkan dari pemikiran dan gagasan George Campbel tentang retorika, yang kemudian dikembangkan lagi oleh Richard Whately.
Aliran belles Letters ialah retorika yang mengandalkan keindahan (artistik) bahasa, sekaligus segi estetis pesannya. Meski terkadang, maksud utamanya tidak begitu informatif. Hugh Blair adalah nama tokoh yang memperkenalkan aliran ini. Menurutnya, cita rasa berbahasa itu akan mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi (pendengaran atau membaca) berpadu dengan perasaan.
Aliran elokusinosis menyebut bahwa retorika merupakan sebuah teknik berbicara atau berpidato. Jadi, ada petunjuk yang mesti dipelajari untuk seseorang bisa berpidato. Dengan kata lain, aliran ini sangat berbeda dengan dua aliran sebelumnya yang lebih fokus pada persiapan pidato, penyusunan diksi, dan pesan. Aliran elokusinosis lebih fokus pada tekniknya, mesi kemudian dikritik oleh dua aliran sebelumnya karena tidak "indah".
Di era modern, negara-negara yang mengembangkan retorika modern adalah Prancis dan Inggris. Kemudian, Jerman (barat) dan Amerika Serikat juga menjadi negara yang mempelopori pembelajaran retorika secara komprehensif.