Advertisement
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.
Refleksi ini sebetulnya tidak bertujuan untuk memastikan apa yang akan terjadi dengan seni dan kesenian di masa yang akan datang, atau bilanglah di tahun 2022, namun hanya akan memberikan beberapa kemungkinan untuk bisa menjadi bahan refleksi yang berangkat dari fakta seni budaya saat ini, sambil menebak-nebak apa yang paling mungkin untuk menjadi model pengembangan seni di tahun-tahun mendatang.
Telah dipahami secara umum bahwa seni adalah ekspesi bebas manusia (seniman). Sebagai salah satu unsur kebudayaan, yang telah pernah digagas oleh Koentjaraningrat, seni erat hubungannya dengan kebudayaan, karena kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia di dalam realitas. Kebudayaan (dan tentu saja kesenian) diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap individu atau kelompok individu tertentu. Demikian pun, kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti: Cara ia menghayati dan mempersiapkan diri untuk sebuah peristiwa, termasuk cara-cara mengolah makanan, sopan santun, dan hal lainnya seperti kesenian, serta bagaimana menyikapi setiap perubahan dalam realitas termasuk kemajuan seni. (Bdk. van Peursen, 1976).
Berangkat dari hal itu, maka bagaimana keberadaan kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan yang berperan dalam peradaban, di tahun-tahun mendatang, terdekatnya adalah tahun 2022? Titik berangkat penulis untuk menguraikannya adalah pandangan umum masyarakat tentang seni itu sendiri.
Pertama, sebuah fakta bahwa paradigma seni yang sangat umum dipahami oleh mayoritas masyarakat saat ini adalah bahwa segala sesuatu di nilai tinggi berdasarkan materinya. Misalnya yang terkait dengan seni budaya yaitu pandangan bahwa seni budaya hanya untuk seni dalam konteks hiburan. Mereka tidak ingin tahu sejauh mana nilai yang terkandung dalam seni dan budaya tersebut, dan justru hanya mengandalkan kesenangan belaka ketika melihat objek seni yang mereka anggap menarik. Tak hanya itu, mereka hanya mengandalkan nilai dasar, yakni karya seni yang mampu memberi kenikmatan/keuntungan ekonomis semata, yang tentu saja bersifat materi.
Kedua, fakta yang berbanding terbalik dengan paradigma pertama itu adalah adanya masyarakat terpelajar, termasuk para akademisi dan pegiat seni yang secara sungguh-sungguh concerned pada seni dan budaya itu, melihat sisi yang melampaui sekedar keuntungan ekonomi atau materi dari sebuah seni dan budaya. Kelompok ini lebih melihat sisi yang bersifat ontologisme, artinya lebih mengandalkan pola pikir intelektual berdasarkan pengetahuan. (https://gbsri.com/seni-dan-masyarakat/). Kelompok inilah, yang menurut hemat penulis, adalah orang-orang yang terus berjuang demi kebertahanan seni budaya itu, tetapi juga, berjuang terus menerus supaya seni dan budaya itu tetap lestari bahkan peradaban itu sudah berada pada tingkat paling modern.
Maka dari itu, penulis melihat bahwa arah seni dan budaya kedepannya, harus menganut model pengembangan yang dipraktekkan para seniman dengan kemurnian dan motivasi yang kuat, tanpa embel-embel materi semata. Pengembangan seni juga harus berangkat dari motivasi yang luhur, tanpa berorientasi murni pada ekonomi, kendati ekonomi atau materi itu, tetap diperlukan dalam pengembangannya. Terkait hal ini, penting untuk kita ingat bahwa paradigma masyarakat yang mencari keuntungan dari seni budaya tetap diperlukan, namun cara pemerolehannya yang harus berbeda.
Kendati demikian, perlu pula kita belajar pola pengembangan seni yang selalu beriringan antara karya misalnya album musik dan literasi dalam bentuk narasi tentang album musik yang ada itu. Sebagai contoh: Pada 21 Desember 2021 telah dipublikasikan dua karya sekaligus yakni: “Album Musik Duo Kolintang: The Sounds From Minahasa”, karya Dwiki Dharmawan bersama Ferdinand Soputan, dan buku “The Sounds From Minahasa”, sebagai narasi dari upaya untuk menggaungkan musik berbasis tradisi, khususnya musik kolintang.
Sejatinya, dua karya ini adalah langkah awal mereka untuk mencoba mengangkat musik berbasis tradisi dengan memanfaatkan berbagai platform online dalam hal sosialisasinya. Model pengembangan ini adalah model yang tentu saja tidaklah mudah, namun kerja seni ini, terutama tidak berorientasi pada materi semata, karena yang digaungkan adalah musik tradisional yang digarap kolaboratif dengan piano.
Memasuki era digital kini, dan tentu juga di tahun-tahun berikutnya, pemanfaatan teknologi ini seolah menjadi sebuah keharusan. Tak jarang semua orang telah mencoba menjadi content creator terhadap segala karya seninya, sehingga ketika tidak merambah hal tersebut, kita akan dianggap ketinggalan zaman. Kuncinya sebagai creator sebuah karya dibidang seni budaya, individu harus adaptif dengan zaman.
Maka dari itu, dari fakta di atas, model pengembangan seni budaya sebagai bagian erat dari sebuah pengembangan kebudayaan, karena kesenian menjadi salah satu unsur kebudayaan, harus terus menyesuaikan atau adaptif dengan zaman atau peradaban. Pengembangan yang adaptif, membuka segala kemungkinan untuk pengembangan. Bukan hanya seni, tetapi juga pola pikir dan pola tindak kita terhadap seni, dan tentu saja terhadap budaya itu.
Pendek kata, ada sebuah keyakinan bahwa pola pengembangan seni selanjutnya harus berkolaborasi dengan segala macam model pengembangan yang juga mengabdi pada sisi adaptif sebagaimana yang dimaksud. Akhirnya, kita harus bersikap pro aktif ketimbang hanya reaktif. Maka dari itu, kita pro aktif untuk, bukan hanya menengok arah pengembangan, tetapi selebihnya bergerak untuk melakukan sesuatu karena pergerakan kita niscaya menjadi alat ukur keberhasilan pengembangan kita. Selamat memasuki 2022.
(Penulis adalah Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Budaya & Seni)