Advertisement
Sikap adaptif dalam budaya (sumber gambar: Maxmonroe) |
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.*
Perubahan kultural secara tidak langsung adalah juga hasil dari suatu proses adaptasi. Dilihat sebagai sistem adaptif, perubahan kultural yang berubah itu, adalah menuju kepada keseimbangan ekosistem budaya dan realitas. Adapund perubahan kultural ini tidak bisa terlepas dari peran subjek manusia di dalam kebudayaan.
Beberapa waktu yang lalu penulis pernah mengangkat tentang komodifikasi budaya secara khusus seni musik tradisional. Scope yang penulis ambil hanyalah salah satu dari sekian banyak seni tradisional yang ada. Namun perspektif yang hendak penulis bawa adalah komodifikasi. Perubahan yang muncul dari komodifikasi sebagaimana yang penulis angkat itu, merupakan juga salah satu cara yang dimungkinkan agar sebuah kebudayaan musik tradisional bisa tetap bertahan di tengah arus globalisasi musik dan industri musik modern.
Sejalan dengan itu, banyak orang telah pernah mengkomodifikasi budayanya demi semakin populer bidang budaya yang diangkatnya. Kendati begitu, komodifikasi pula harus terus diupayakan untuk menjadi sebuah model dalam pengembangan budaya. Sebagai contoh adalah musik kolintang yang pada tahun 2021 telah diangkat oleh seniman muda bertalenta Ferdinand Soputan, lewat kajiannya “Komodifikasi Aransemen Musik Kolintang” dalam sebuah kajian terukur.
Sepintas memang topik ini adalah topik yang sensitif karena ada pandangan bahwa komodifikasi atas sebuah musik tradisional atau tradisi-tradisi lain, kurang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, kendati itu cukup mampu dan ampuh bisa memajukan tradisi budaya itu. Di sisi yang sama, ‘kekurangyakinan’ atas baiknya komodifikasi itu, dilatarbelakangi oleh kurang pahamnya masyarakat, apa itu komodifikasi. Maka penulis perlu mengangkat kembali pengertian dasar komodifikasi agar menjadi pijakan kuat untuk pengembangan budaya.
Komodifikasi secara sederhana menunjuk kepada Sebuah proses mengubah item non-komersial menjadi ‘komoditas yang dapat dijual atau dipasarkan’. Sejalan dengan itu, komodfikasi juga dipahami sebagai sebuah ideologi yang memandang kerja kreatif sebagai sesuatu yang dapat direpresentasikan sebagai komoditas yang bisa menjadi unggulan, di samping, mentransfer informasi atau praktik tertentu terhadap sebuah produk menjadi komoditas untuk ‘diperjualbelikan’. (bdk. https://www.igi-global.com/dictionary/privileges-and-problems-of-female-sex-tourism/43848).
Dengan dasar itu, maka sejatinya komodifikasi merupakan sebuah proses adaptif terhadap perkembangan pasar dan terhadap apa yang dibutuhkan oleh pasar. Misalnya, ketika musik berbasis tradisi tidak serta merta disukai banyak orang karena garapannya yang terlampau tradisional, pada akhirnya menjadi sebuah kemendasakan untuk dikembangkan dalam model yang lain yakni tampilan aransemen yang dikomodifikasikan yang sejatinya, bukan semata demi keinginan pasar, tetapi agar semakin populer di tengah pasar (masyarakat pada umumnya). Dengan model adaptif ini, hemat penulis hal itu akan turut mempertahankan musik tradisi itu, termasuk hal-hal lainnya.
Kurun 5 tahun terakhir, upaya pemajuan kebudayaan semakin massif digaungkan dan dieksekusi. Kendati hal itu harus terus berlangsung, tetap saja banyak hal belum berjalan sebagaimana harapan. Maka saat ini kita perlu terus mengupayakan semaksimal mungkin agar sebuah kebudayaan bisa dimajukan, dikembangkan dan semakin dipertahankan, salah satunya dengan komodifikasi atau proses adaptasi budaya.
Berangkat dari fakta itu, penulis merasa bahwa benarlah manusia tidak bisa berkuasa untuk memiliki atau melakukan apapun yang dia mau, termasuk dalam pemajuan kebudayaan, sebagaimana Seneca pernah mengutarakannya. Namun demikian, benarlah juga apa yang sering nyata pada kita, bahwa di dalam kehidupan, angan, cita-cita, harapan, dan kerja keras kita demi tujuan tertentu, sangat sering gagal dan menemui jalan buntu. Segala sesuatu bahkan tampak seperti tidak pasti, karena tidak dapat dikuasai, tidak dapat dikendalikan, tidak dapat diramalkan. Masa depan adalah misteri, momen mistik yang belum tuntas, unpredictable moment of life. (Kono, 2021).
Mengutip lagi apa yang pernah dituliskan oleh Redem Kono, alumnus STF Driyarkara, bahwa kendati kita tidak bisa melakukan apapun terhadap semua hal, termasuk tidak mencapai tujuan yang diharapkan karena berbagai sebab, kita bisa memilih pilihan kedua, sebagaimana dipaparkan Heidegger yakni pilihan eksistensi. Artinya, manusia dengan kemampuan retrospektif dan kesadaran historis akan siapa dirinya mampu mengeluarkannya dari ketakberdayaan, kerapuhan, dan keputusaan. Pilihan kedua membuat kita aktif membangun kemungkinan baru yang diharapkan dapat melepaskan diri dari kungkungan dunia. Namun, kita sadar bahwa kita dapat membawa diri untuk mengatasi, membebaskan diri dari dominasi/situasi dunia yang tidak pernah ditentukan oleh diri sendiri. (Kono, ibid. 2021).
Maka dari itu, karena justru dominannya kesadaran historis manusia terhadap ketidakberdayaan dan ketidakmampuannya, maka manusia jugalah yang menjadi kunci utama untuk terus berbuat sesuatu, dalam konteks tulisan ini, yakni pemajuan kebudayaan.
Akhirnya komodifikasi yang menurut hemat penulis merupakan model adaptif pengembangan sebuah budaya, sebagaimana telah diuraikan di atas, menuntut kesadaran subjek untuk bergerak terus melakukan perubahan, pemajuan dan perubahan bagi sebuah kebudayaan.
*Penulis adalah Dosen Filsafat Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Filsafat & Budaya