Advertisement
Oleh: Prof. Yusmar Yusuf
Di kota-kota gemeretap, waktu berlari. Di dusun-dusun,
waktu itu malah beringsut. Pergerakan matahari yang menunjuk perjalanan waktu
antara kota dan dusun, seakan diskriminatif. Salahkah matahari? Kronometer
(penunjuk waktu dalam handphone), pun
arloji antara orang kota yang sibuk dan orang-orang kampung yang santai, (seakan)
menghidang gerak detik yang diskriminatif. Salahkah kronometer dan arloji?
Inilah deretan “waktu vulgar”. Hidangan waktu yang berada di luar diri manusia.
Sejatinya, waktu itu juga berdetak dalam darah, dalam
nadi, lewat degup jantung. Inilah waktu yang ada di “dalam diri”. Seorang ayah
muda, menanti kelahiran bayi sulung, di sebuah hospital. Bagi dia, waktu berlalu “begitu cepat” atau malah
begitu “mendebarkan”. Di sini, waktu berpembawaan “menggetar”, “menggoncang” bahkan
“menghempas”. Pun, waktu yang dijalani seorang pesohor atau ilmuan yang
dianugerahi hadiah pencapaian prestasi, waktu berlalu begitu ringan, melayang di
atas panggung. Pidato selebrasi yang beberapa menit dianggap hanya berlangsung
dalam hitungan detik.
Manusia memiliki kecondongan untuk meringkus waktu.
Bagi orang kreatif, waktu berjalan demikian licin dan laju. Seorang petugas
mercusuar di sebuah pulau terpencil, menjalani waktu bertahun-tahun dalam gaya
waktu yang serba “melar”, melebar, memanjang, tanpa isi selain menunggu giliran
(shift) yang amat sayup dan jauh. Melelahkan dan menjemu. Waktu di
dalam diri, bagi seorang kreatif, berlangsung begitu kencang, namun waktu yang
dihajatkan untuk “menunggu” dan “menanti” seakan melar, melebar dan membuyut.
Saya diundang oleh kelompok arsitek, berbincang
mengenai “keberlanjutan”. Sebuah nomenklatur yang masih mentah, bisu dan kaku. Kata
ini, selalu diarak dalam segala majelis diskusi, sampai proposal atau kongres. Semuanya
dihajatkan untuk menyelamatkan bumi nan satu. Demi mendidik, mendudukkan posisi
mental manusia, agar hidup berdampingan dengan sejumlah kehidupan lain yang
tengah menjalani kehidupan secara bersama. Serempak.
Kala kita tengah mengisi waktu dengan segala perbuatan
kebudayaan dan ekonomi, pada detik yang sama, ada kehidupan lain yang tengah
melangsungkan tugas-tugas “penciptaan” dalam rempak masing-masing, walau sekecil tungau sekali
pun. Jasad renik yang terkurung dalam bumi, termasuk pula plankton atau pun cacing yang tak bermata, per detik menjalani waktu dan masa, tidak dalam
kaidah-kaidah menelikung. Keberlanjutan dalam rasa “peri-kehewanan” itu juga,
perlu diperhitungkan. Selama ini, keberlanjutan itu, seakan berpihak demi dan
untuk kita (manusia). Maka, lingkungan alam dengan segala perkakasnya,
diletakkan pada posisi alat (tool)
demi dan untuk (berorientasi) pada manusia.
Di pihak lain, keberlanjutan itu sendiri mengalami pembajakan,
baik oleh politik, sastra, bisnis, apatah lagi oleh kuasa. Lalu, menjadi alamat
bagi konstruksi sosial dalam ranah kehidupan manusia, yang ikut membubuhi
perilaku menelikung, agar lekas sampai
ke tujuan, tanpa memperhitungkan “kebersisian” hidup kita dengan majelis
kehidupan lain yang juga tengah melangsung kehidupan dalam cara dan rempak sendiri-sendiri.
Politik bersepupu dengan kekuasaan, tak sedikit pula berkerlingan mata dengan bisnis dan peniaga
dalam mengumpul “kondisi masa depan” yang ditumpukkan menjadi ‘sesuatu’ di “hari
ini”. Ketidak-sabaran dan ketidak-sadaran ini lah yang mendorong seorang
penguasa (dalam makna seorang “author”
– termasuk pengarang) untuk menjadi seorang “penelikung waktu” ATAU “pemintas
waktu”. Sebuah ikhtiar membengkokkan masa depan, membelokkan masa depan dalam
kaidah-kaidah serba lekas dan tak sabar. Di sini, orang, terkadang menjadi
terkesima dengan istilah revolusi. Nah revolusi kah ini?
Perilaku koruptif oleh penyelenggara negara, politisi
atau pun korporasi yang mengindikasi gerak serba cepat, lekas, laten dan
tersembunyi, namun berujung untung segunung, apakah ini sebuah upaya pemintasan
atau penelikungan yang boleh dinisbahkan sebagai kegiatan revolusi? Apakah
setiap revolusi itu baru disebut revolusi ketika dia dihajatkan untuk membawa
sesuatu yang baik? Bukan yang buruk dan bejat? Dari mana pula takaran ‘pengalian’
yang mengatakan bahwa ini baik dan itu buruk. Apa parameternya? Di sini, ‘waktu
vulgar’ yang diringkus serba lekas,
cepat dan memintas untuk mengumpul sejumlah “sesuatu” (maaf, bukan ‘hal-ihwal’);
agar senantiasa berkuasa. Ingat, kuasa itu berpembawaan serba tua, ketuaan dan
kerentaan. Sementara dunia hari ini berorientasi pada muda dan kemudaan.
Kekuasaan itu bukan semata kekuasaan
politik-birokratis. Ada kekuasaan yang distruktur dalam kaidah korporasi, ada
kekuasaan dalam kaidah profesi, termasuk profesi penulis, pengarang, wartawan,
manajemen pers dan media. Semuanya bisa tersesat menjadi para pemintas waktu dengan
sejumlah alasan menggoda “revolusi”. Revolusi juga pernah terjadi dalam ranah
“kebenaran langit”: pertembungan antara gereja dengan kaum sofi. Berujung
pemenjaraan dan tak sedikit pula maut. Dalam sejarah Islam, tak sedikit pula
menghiasi perjalanan naik-turun: terkadang romantik, namun tak sedikit pula
berujung tragis dan komedi.
Para penelikung waktu, tak sekedar mereka yang berada
dalam wilayah politik, kekuasaan. Pun terjadi pada pengurus masjid, pengurus
organisasi, manajemen pers, media, institusi pendidikan. Dalam kadar tertentu,
merasa terdesak demi sebuah perubahan. Sekali lagi, nomenklatur “revolusi”
dipinjam, demi memberi hormat dan “syahid” kepada mereka yang bersedia
“meringkus waktu” dan membengkokkan masa depan.
Sesuatu yang “bengkok” belum tentu bernilai buruk dan jahat. Bahwa kehidupan itu memerlukan bentuk “lengkung” (arch) yang harus mengalami proses pembengkokan. Misal: bangunan jembatan yang membagi tumpuan massa dan gaya pada dua sisi tebing sungai. Bentuk lengkung kubah masjid, memberi sajian “damai dan tenang” bagi umat yang memandangnya. Demikian pola mangkuk terbalik, yang dalam sejarah “spiritualitas” tergagas menjadi stupa candi, cungkup rumah ibadah. Bengkok hasil pelengkungan tidak sama dengan peristiwa menelikung waktu. Lalu?...