Pemintas dan Penelikung Waktu -->
close
Pojok Seni
25 January 2022, 1/25/2022 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-01-25T00:00:00Z
ArtikelUlasan

Pemintas dan Penelikung Waktu

Advertisement

Pemintas dan penelikung waktu


Oleh: Prof. Yusmar Yusuf


Di kota-kota gemeretap, waktu berlari. Di dusun-dusun, waktu itu malah beringsut. Pergerakan matahari yang menunjuk perjalanan waktu antara kota dan dusun, seakan diskriminatif. Salahkah matahari? Kronometer (penunjuk waktu dalam handphone), pun arloji antara orang kota yang sibuk dan orang-orang kampung yang santai, (seakan) menghidang gerak detik yang diskriminatif. Salahkah kronometer dan arloji? Inilah deretan “waktu vulgar”. Hidangan waktu yang berada di luar diri manusia.


Sejatinya, waktu itu juga berdetak dalam darah, dalam nadi, lewat degup jantung. Inilah waktu yang ada di “dalam diri”. Seorang ayah muda, menanti kelahiran bayi sulung, di sebuah hospital. Bagi dia, waktu berlalu “begitu cepat” atau malah begitu  “mendebarkan”. Di sini, waktu  berpembawaan “menggetar”, “menggoncang” bahkan “menghempas”. Pun, waktu yang dijalani seorang pesohor atau ilmuan yang dianugerahi hadiah pencapaian prestasi, waktu berlalu begitu ringan, melayang di atas panggung. Pidato selebrasi yang beberapa menit dianggap hanya berlangsung dalam hitungan detik.


Manusia memiliki kecondongan untuk meringkus waktu. Bagi orang kreatif, waktu berjalan demikian licin dan laju. Seorang petugas mercusuar di sebuah pulau terpencil, menjalani waktu bertahun-tahun dalam gaya waktu yang serba “melar”, melebar, memanjang, tanpa isi selain menunggu giliran (shift) yang amat sayup dan jauh. Melelahkan dan menjemu. Waktu di dalam diri, bagi seorang kreatif, berlangsung begitu kencang, namun waktu yang dihajatkan untuk “menunggu” dan “menanti” seakan melar, melebar dan membuyut.


Saya diundang oleh kelompok arsitek, berbincang mengenai “keberlanjutan”. Sebuah nomenklatur yang masih mentah, bisu dan kaku. Kata ini, selalu diarak dalam segala majelis diskusi, sampai proposal atau kongres. Semuanya dihajatkan untuk menyelamatkan bumi nan satu. Demi mendidik, mendudukkan posisi mental manusia, agar hidup berdampingan dengan sejumlah kehidupan lain yang tengah menjalani kehidupan secara bersama. Serempak.


Kala kita tengah mengisi waktu dengan segala perbuatan kebudayaan dan ekonomi, pada detik yang sama, ada kehidupan lain yang tengah melangsungkan tugas-tugas “penciptaan” dalam rempak  masing-masing, walau sekecil tungau sekali pun. Jasad renik yang terkurung dalam bumi, termasuk pula plankton atau pun cacing yang tak bermata, per detik  menjalani waktu dan masa, tidak dalam kaidah-kaidah menelikung. Keberlanjutan dalam rasa “peri-kehewanan” itu juga, perlu diperhitungkan. Selama ini, keberlanjutan itu, seakan berpihak demi dan untuk kita (manusia). Maka, lingkungan alam dengan segala perkakasnya, diletakkan pada posisi alat (tool) demi dan untuk (berorientasi) pada manusia.


Di pihak lain, keberlanjutan itu sendiri mengalami pembajakan, baik oleh politik, sastra, bisnis, apatah lagi oleh kuasa. Lalu, menjadi alamat bagi konstruksi sosial dalam ranah kehidupan manusia, yang ikut membubuhi perilaku menelikung, agar  lekas sampai ke tujuan, tanpa memperhitungkan “kebersisian” hidup kita dengan majelis kehidupan lain yang juga tengah melangsung kehidupan dalam cara dan rempak sendiri-sendiri.


Politik bersepupu dengan kekuasaan, tak sedikit pula berkerlingan mata dengan bisnis dan peniaga dalam mengumpul “kondisi masa depan” yang ditumpukkan menjadi ‘sesuatu’ di “hari ini”. Ketidak-sabaran dan ketidak-sadaran ini lah yang mendorong seorang penguasa (dalam makna seorang “author” – termasuk pengarang) untuk menjadi seorang “penelikung waktu” ATAU “pemintas waktu”. Sebuah ikhtiar membengkokkan masa depan, membelokkan masa depan dalam kaidah-kaidah serba lekas dan tak sabar. Di sini, orang, terkadang menjadi terkesima dengan istilah revolusi. Nah revolusi kah ini?


Perilaku koruptif oleh penyelenggara negara, politisi atau pun korporasi yang mengindikasi gerak serba cepat, lekas, laten dan tersembunyi, namun berujung untung segunung, apakah ini sebuah upaya pemintasan atau penelikungan yang boleh dinisbahkan sebagai kegiatan revolusi? Apakah setiap revolusi itu baru disebut revolusi ketika dia dihajatkan untuk membawa sesuatu yang baik? Bukan yang buruk dan bejat? Dari mana pula takaran ‘pengalian’ yang mengatakan bahwa ini baik dan itu buruk. Apa parameternya? Di sini, ‘waktu vulgar’ yang diringkus  serba lekas, cepat dan memintas untuk mengumpul sejumlah “sesuatu” (maaf, bukan ‘hal-ihwal’); agar senantiasa berkuasa. Ingat, kuasa itu berpembawaan serba tua, ketuaan dan kerentaan. Sementara dunia hari ini berorientasi pada muda dan kemudaan.


Kekuasaan itu bukan semata kekuasaan politik-birokratis. Ada kekuasaan yang distruktur dalam kaidah korporasi, ada kekuasaan dalam kaidah profesi, termasuk profesi penulis, pengarang, wartawan, manajemen pers dan media. Semuanya bisa tersesat menjadi para pemintas waktu dengan sejumlah alasan menggoda “revolusi”. Revolusi juga pernah terjadi dalam ranah “kebenaran langit”: pertembungan antara gereja dengan kaum sofi. Berujung pemenjaraan dan tak sedikit pula maut. Dalam sejarah Islam, tak sedikit pula menghiasi perjalanan naik-turun: terkadang romantik, namun tak sedikit pula berujung tragis dan komedi.


Para penelikung waktu, tak sekedar mereka yang berada dalam wilayah politik, kekuasaan. Pun terjadi pada pengurus masjid, pengurus organisasi, manajemen pers, media, institusi pendidikan. Dalam kadar tertentu, merasa terdesak demi sebuah perubahan. Sekali lagi, nomenklatur “revolusi” dipinjam, demi memberi hormat dan “syahid” kepada mereka yang bersedia “meringkus waktu” dan membengkokkan masa depan.


Sesuatu yang “bengkok” belum tentu bernilai buruk dan jahat. Bahwa kehidupan itu memerlukan bentuk “lengkung” (arch) yang harus mengalami proses pembengkokan. Misal: bangunan jembatan yang membagi tumpuan massa dan gaya pada dua sisi tebing sungai. Bentuk lengkung kubah masjid, memberi sajian “damai dan tenang” bagi umat yang memandangnya. Demikian pola mangkuk terbalik, yang dalam sejarah “spiritualitas” tergagas menjadi stupa candi, cungkup rumah ibadah. Bengkok hasil pelengkungan tidak sama dengan peristiwa menelikung waktu. Lalu?...

Ads