Pembagian Ricikan Gamelan dan Fenomena di Belakangnya -->
close
Pojok Seni
28 January 2022, 1/28/2022 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-01-28T00:00:00Z
ArtikelMusik

Pembagian Ricikan Gamelan dan Fenomena di Belakangnya

Advertisement
Gamelan di Anjungan ISI Surakarta oleh Yogi Candra/Dokumen Pribadi
Gamelan di Anjungan ISI Surakarta oleh Yogi Candra/Dokumen Pribadi

Oleh: Supriyadi*


Berbicara ihwal gamelan, sungguh terkandung nilai yang tidak habis-habisnya untuk diperbincangkan. Gamelan sudah ada dan hidup sejak silam. Karena perjalanan historikal dari gamelan yang terlampau panjang; bagi kebanyakan orang, gamelan sudah dianggap “mapan”, entah itu dari lini tekstual ataupun kontekstualnya. Dalam perjalanannya, perihal tekstual ataupun kontekstual seringkali bertautan. Patut untuk ditengok ihwal pembagian ricikan yang ada dalam gamelan sebagai salah satu contohnya; pembagiannya begitu rapidan penuh perhitungan.  Menurut Rahayu Supanggah dalam bukunya yang bertajuk “Bothekan Karawitan 1”, berdasarkan peran dan/atau kedudukannya dibagi menjadi tiga: 1) ricikan ngajeng, 2) ricikan tengah, dan 3) ricikan wingking (2002: 71).


Pembagian ini kiranya sudah diperhitungkan oleh pendahulu, sebab atas pembagian ini sekaligus menata visual dari penataan keseluruhan instrument. Tidak mungkin kiranya jika Gong malah ditaruh di depan; tentu akan mengganggu pandangan terhadap instrument yang lain. Kemudian, jika diperhatikan; pembagian ricikan ini sekaligus juga menata komponen bunyi yang ada. Dari ricikian wingking misalnya, bunyi yang dihadirkan cenderung pada frekuensi bunyi yang rendah; dari ricikan tengah cenderung pada frekuensi bunyi sedang; dan pada ricikan ngajeng cenderung didominasi oleh frekuensi bunyi yang tinggi. Tentu, amatan ini hanya dilakukan secara holistik karena urgensi tulisan tidak berada dalam wilayah frekuensi bunyi.


Seperti yang terpapar, pembagian ricikan ini tentu berdasar pada peran dan/atau kedudukannya. Dari ricikan wingking atau sering disebut ricikan structural; ricikan ini mempunyai peran untuk membuat jalinan permainan dengan membentuk struktur berdasarkan bentuk gendhingnya. Selanjutnya ricikan tengah yang didominasi gamelan bilah. Ricikan ini mengampu peran sebagai pemain kerangka gendhing. Terakhir, ricikan ngajeng. Ricikan ini secara parsial mengampu peran sebagai penghias dan pengisi repertoar gendhing.


Bertautan dengan hal tersebut, secara minostik ricikan dibagi lagi dalam pertimbangan garapnya. Menurut Supanggah, ricikan berdasar pertimbangan garap dibagi menjadi tiga, yakni: 1) ricikan balungan, 2) ricikan garap, dan 3) ricikan structural (2002: 71). Tugas dari ketiga ricikan berdasar pertimbangan garap kurang lebih sama dengan ampuan dari pertimbangan berdasar peran dan/atau kedudukan. 


1) Ricikan balungan, terdiri dari ricikan-ricikan yang pada dasarnya memainkan atau permainannya sangat dekat atau mendasarkan pada lagu balungan gendhing. Ricikan yang termasuk pada kelompok ini adalah slenthem, demung, saron barung, saron penerus, dan bonang penembung; 2) Ricikan garap, terdiri dari ricikan yang menggarap gendhing. Ricikan yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah gambang, siter, suling, vokal (sindhen dan gerong); dan 3) Ricikan struktural, terdiri dari ricikan yang permainannya oleh bentuk gendhing. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah ricikan-ricikan kethuk-kempyang, kenong, kempul, gong, engkuk, kemong, kemanak, dan kecer.  (Supanggah, 2002: 71)

Atas tulisan terpapar, kita dapat menerka bahwa pembagian ricikan dalam gamelan saja sudah menyuratkan berbagai nilai, mulai dari penataan visual, penataan frekuensi bunyi, juga peran dan/atau kedudukannya. Kiranya, pembagian ricikan berdasarkan pertimbangan garap tidak hanya bermuara pada garap itu sendiri. Melainkan terdapat perisitiwa lain yang secara kontektual melekat atas pembagian ini.


Fenomena 


Berdasar pengalaman emperik, saya mengamati ihwal pembagian ricikan berdasarkan pertimbangan garap ini. Untuk kepentingan sajian repertoar gendhing, sudah barang tentu pembagian ini didasarkan pada garap itu sendiri. Namun, berdasar pada pengalaman yang saya alami, terdapat setidaknya dua hal yang juga melekat atas pembagian ini: 1) tanggungjawab dan 2) ongkos. Dua hal ini saling bertaut satu dengan lainnya, khususnya pemain.


Tanggungjawab


Permainan karawitan secara parsial memang membutuhkan jumlah pemain yang tidak sedikit. Atas banyaknya jumlah ini, tentu pembagian tugas menjadi penting. Berkat adanya pembagian ricikan berdasar pada pertimbangan garap, tentu menjadi faktor yang membantu dalam membagi tugas para niyaga. Sang komposer/pengrawit tidak akan kebingungan dalam menentukan tanggungjawab niyaga.


Dalam pembagian ricikan berdasar pertimbangan garap; terdapat tiga pembagian yang sudah terpapar sebelumnya. Pembagian ini juga menunjukkan tanggungjawab niyaga. Secara subyektif, tingkat kesulitan dari pola permainan gamelan ditentukan juga dari sudut pembagian ricikan. Mulai dari ricikan structural; dalam ricikan ini kerumitan yang didapat oleh niyaga tidaklah berat. Sebab, tabuhan yang ada pada ricikan structural dapat dikatakan sudah pasti. Sehingga, tingkat pelafalannya pun relatif rendah. 


Selanjutnya, pada ricikan balungan. Sesuai atas tanggungjawabnya, ia akan memainkan lagu yang ada dalam gendhing. Kerumitan yang didapati dalam ricikan ini kiranya sedang. Sebab ia harus melafalkan lagu yang mendasari daripada gendhing. Secara parsial, tabuhan dalam karawitan Jawa tidak begitu cepat (tidak seperti gamelan Bali, Banyumas, ataupun Banyuwangi); sehingga tingkat kerumitannya juga relative dalam jangkauan. Terakhir, ricikan garap


Dilansir dari artikel yang bertajuk “Fungsi intrumen Gamelan dalam Karawitan (Jawa)” karya Saptono, ricikan garap ialah ricikan yang menggarap balungan gendhing dengan cara menafsirkan yang kemudian menerjemahkan lewat vokabuler (konvensi) garapan. (https://isi-dps.ac.id/berita/fungsi-instrumen-gamelan-dalam-karawitan-jawa/)


Atas tanggunjawab tersebut, ricikan garap menjadi ricikan yang mengampu tanggungjawab paling besar. Tingkat kerumitan dalam ricikan garap dapat diartikan tinggi. Niyaga dalam ricikan ini ialah niyaga yang mempunyai skill di instrumennya masing-masing. Belum lagi atas kultur notasi stimulan yang ada di karawitan Jawa. Dalam ricikan structural dan ricikan balungan, para niyaga terbekali oleh notasi yang sudah pasti membantu dalam proses pelafalannya. Berbeda dengan niyaga dalam ricikan garap. Secara parsial, mereka harus bekerja lebih dalam pelafalannya.


Dalam pembagian ini, nampak adanya kelas kerumitan dalam setiap ricikan. Dengan begitu, pembagian ricikan berdasar pertimbangan garap ini dapat diartikan juga membagi kelas kerumitan serta ampuan tanggungjawab bagi niyaga. Barangkali, salah satu sebab yang menjadikan adanya kelas Praktik Instrument Tunggal di beberapa kampus seni adalah faktor kerumitannya. Instrument yang ada dalam ricikan garap menjadi instrument yang cenderung ditawarkan. Jarang ada kelas yang menawarkan pilihan Gong, saron, atau instrument yang ada dalam ricikan structural dan ricikan balungan.


Ongkos 


Dalam dunia karawitan, peristiwa yang sering saya temui ialah tidak adanya transparasi awal mengenai ongkos niyaga. Biasanya, ketika tanggapan sudah usai, akan datang penanggap (dalang, komposer/pengrawit) atau utusannya; yang kemudian memberikan amplop langsung ke saku atau ketika jabat tangan dilakukan. Peristiwa ini tidak sekali ataupun dua kali saya temui. Juga, peristiwa ini tidak hanya berlaku pada saya, melainkan rekan-rekan saya juga mengalaminya. Saya kira, memang iklim dari masyarakat karawitan di daerah saya semacam ini. Jadi, saya juga akan menghormatinya.


Secara emperik, saya pernah menjadi niyaga di beberapa grup karawitan di Klaten, bahkan hingga kini. Di setiap grup, saya mengampu tanggungjawab yang berbeda-beda, mulai dari penabuh kenong untuk ricikan structural di grup A, penabuh saron penerus ataupun demung di ricikan balungan di grup B, juga pemain siter untuk ricikan garap di grup C. Di setiap tanggungjawab dari berbagai ricikan ini, saya mendapatkan “ongkos” yang berbeda-beda.


Setelah saya amati, perbedaan ongkos ini dipengaruhi oleh tanggungjawab ricikan yang dimainkan. Kiranya ihwal kelas ongkosnya bisa diterka sendiri. Poin yang ingin saya tekankan ialah, pembagian ricikan berdasar pada garapnya mempengaruhi atas ongkos yang diterima niyaga. Secara subyektif, peristiwa ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Terdapat sebuah “keadilan” yang secara eksplisit didapatkan oleh niyaga. Selain itu,  dalang-komposer-pengrawit juga tidak akan kebingungan dalam menentukan ongkos terhadap niyaga-nya.


Barangkali, peristiwa inilah yang mendasari adanya ketidak-transparanan dalam iklim karawitan di daerah saya. Patut disadari bahwa masyarakat Jawa memiliki sifat pekewuh-tidak enakkan-takut mengecewakan. Jika pembayaran disamaratakan, tentu akan mengurangi nilai apresiasi dan keadilan dari si niyaga. Namun, jika tidak sama rata, tentu pemberian amplopnya harus tidak transparan di depan semua niyaga. 


Kiwari, peristiwa ini barangkali sudah sedikit menyusut; sebab dalam beberapa kesempatan saya juga menemui transparansi ongkos. Bahkan jika peristiwa ini masih terjadi, saya akan tetap menghormatinya. Sebab, karawitan memanglah permainan komunal: terdapat sisi sosial yang harus tetap dijaga. Selain itu, iklim semacam ini telah diwariskan dan masih dinunaikan oleh sebagian orang, apalagi di desa-desa.


Gamelan kiranya memang bisa dikatakan “mapan”. Ia tidak hanya menyentuh aspek tekstual, namun juga menyentuh aspek kontekstualnya. Gamelan tidak hanya mewujud sebagai sebuah benda, namun mampu menubuh ke dalam masyarakatnya.  Pola semacam inilah yang kiranya menjadikan gamelan tetap lestari, sebab kedudukannya tidak berada di luar diri masyarakat, melainkan menjadi bagian masyarakat.


Penulis ialah mahasiswa Jurusan Etnomusikologi, ISI Surakarta. Penulis bisa dihubungi di email suprismartcroot82@gmail.com atau melalui Instagramnya, @Supriyadi_bas

Ads