Advertisement
Oleh: Supriyadi*
Ketika kita mendengarkan berbagai musik di berbagai daerah di nusantara, kita akan menemui berbagai keunikan di masing-masing musik itu. Misalnya, kita mendengarkan gamelan Bali. Selain rampak tabuhannya, kita juga akan mendengarkan permainan volume tabuhan: peristiwa ini disebut ngumbang-ngisep. Kemudian, ketika kita mendengarkan musik tarling ataupun kecapi dan suling sunda. Kesan yang akan terterima ialah dayu-mendayu.
Di setiap daerah, tentu akan melahirkan estetika bunyi masing-masing seperti yang terpapar. Apalagi, nusantara memiliki berbagai musik tradisional yang beraneka ragam. Hal ini tentu menjadi kebanggaan tersendiri untuk masyarakatnya. Salah satu estetika yang menarik bagi saya ialah mleset dan nggandhul dalam karawitan, khususnya karawitan gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta.
Dalam perjalanannya, terdapat perbedaan gaya bermain antara karawitan Surakarta dan karawitan Yogyakarta. Namun, dalam hal ini; peristiwa mleset dan nggandhul sama-sama ditemukan di dalam ke dua gaya di atas. Mleset dan nggandhul merupakan sebuah tabuhan yang tidak tepat pada beat-nya. Sedangkan, instrument yang melakukannya ialah gong, kempul, dan juga kenong: gong dan kempul yang berperan dalam nggandhul, kenong yang berperan dalam mleset.
Ruang Bunyi
Secara awam, ketika keseluruhan instrumen dalam karawitan ditabuh, tentu suara yang terdengar ialah bunyi ansambel secara holistik. Belum tentu kita dapat mencermati bunyi secara minostik. Misalnya, gamelan pencu; bagi sebagian orang, tentu memilahkan antara bunyi bonang barung, bonang penerus, kenong, dan kethuk-kempyang akan merasa kesulitan. Meskipun, frekuensi bunyi dari setiap instrumen berbeda secara parsial, namun bunyi dalam gamelan cenderung tumpang-tindih (karena banyaknya instrumen yang ditabuh secara bersamaan). Atas dasar itulah kesulitan ini diterka.
Syahdan, peristiwa mleset dan nggandhul menjadi sebuah bunyi yang berbeda dalam karawitan. Tidak presisinya tabuhan, menjadikan bunyi kenong, kempul, dan gong mudah untuk diterka. Ketidak-presisian tabuhan dalam peristiwa mleset dan nggandhul justru menjadi sebuah ruang bunyi bagi kenong, kempul, dan gong untuk menunjukkan keberadaannya.
Selain itu, khususnya pada peristiwa nggandhul; selain menjadi ruang bunyi untuk kempul dan gong, nggandhul juga menjadi sebuah pelebaran bunyi sekaligus “jembatan” bunyi repertoar sajian. Pada saat nggandhul, tabuhan dari kempul atau gong akan terlambat dari ketukan gendhing. Dengan begitu, bunyi yang dihasilkan akan lebih panjang dari bunyi instrumen yang lain.
Lebih panjangnya bunyi gong ini menjadikan kalimat atau gatra dalam gendhing lebih lebar. Meskipun, jumlah ketuknya sama, namun bunyi gong memperlebarkannya. Pasalnya, kempul atau gong merupakan instrumen dengan frekuensi bunyi rendah, sehingga bunyinya mampu “memangku” keseluruhan bunyi yang ada. Dengan begitu, bunyi panjang yang ada dalam gong ini mampu menggema serta mengantarkan ke gatra selanjutnya. Apalagi, ketika gong ditabuh nggandhul tentu gaungnya akan lebih panjang lagi di gatra berikutnya.
Tidak hanya mempu memperlebar, namun juga menjadi penjembatan dari gatra satu ke gatra berikutnya. Dengan adanya jembatan ini, kiranya sajian repertoar menjadi lebih menyatu dan salin terpaut. Meskipun akan tetap terkesan tumpang-tindih frekuensi bunyinya, namun awal bunyi nggandhul menjadi pertanda tersendiri dalam sajian gendhing karawitan. Hal ini menjadi estetika tersendiri dalam karawitan gaya Surakarta maupun Yogyakarta.
Sikap Kultural
Nyalira-nya gamelan tidak hanya terlihat pada peristiwa mleset dan nggandhul, melainkan dapat dilihat dari kebiasaan masyarkatnya sehari-hari. Misalnya sikap kerjasama dan menciptakan keharmonisan. Hal ini dapat dilihat dari permainan gamelan mengenai kerjasamanya juga menciptakan keharmonian bunyi. Namun, di sisi lain juga dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat Jawa dengan sikap gotong-royongnya untuk mewujudkan kerukunan dan keselarasan bersama.
Kemudian, dalam peristiwa mleset dan nggandhul juga didapati aspek kontekstualnya: toleransi. Hal ini didasarkan pada ruang bunyi yang diberikan kepada kenong, kempul, dan gong dalam peristiwa mleset dan nggandhul. Lebih lanjut, Supanggah (2002) berpendapat, “Gamelan Jawa berbeda dengan musik Barat dan musik Bali yang sangat mementingkan kepersisan (ketepatan) dan kepresisian (kecermatan). Ketidak-bersamaan ini dapat dilihat pada istilah garap atau estetika karawitan nggandhul (terlambat untuk memukul). Ketidaktepatan muncul dalam konsep mleset yaitu memukul instrument yang tidak seharusnya dipukul. Mungkin karawitan Jawa mementingkan dialog dan toleransi saling memberi kesempatan untuk muncul” (dalam Hanggar, 2012: 6).
Atas ungkapan tersebut, tautan antara kebiasaan mleset dan nggandhul dengan kebiasaan sikap masyarakat Jawa kiranya tercermin. Masyarakat Jawa mempunyai sikap menghargai satu sama lainnya dalam bersosial. Kita dapat lihat dalam berbagai contoh, misalnya dalam kegiatan kumpul warga di desa. Secara empirik, kegiatan ini menjadi sebuah cawan untuk saling muncul. Selain kesempatan berpendapat ketika sambung rasa atau berdiskusi, setiap warga dituntut untuk menjadi pemimpin diskusi atau moderator. Hal ini digilir sesuai dengan jatahnya (dengan sistem tertentu).
Peristiwa tersebut didasarkan pada kesamarataan sebagai warga. Sehingga, setiap warga mempunyai hak dan kewajiban yang sama juga. Selain itu, kehadiran setiap warga benar-benar dihargai, sehingga tidak ada ketimpangan sosial yang terjadi. Kemudian, peristiwa mleset dan nggandhul juga mengejawantahkan dialog. Hal ini dapat dilihat juga dalam kehidupan bermasyarakat manusia Jawa.
Secara parsial, setiap desa mempunyai waktu berkumpul bulanan, entah itu perkumpulan KK, pemuda-pemudi, ataupun remaja. Dalam hal ini, perkumpulan selain menjadi cawan silaturahmi juga untuk memecahkan berbagai permasalahan yang hadir. Dengan adanya perkumpulan warga, musyawarah menjadi poin penting untuk mencapai kemaslahatan bersama. Sehingga, setiap warga dituntut hadir untuk menyuarakan pendapatnya.
Atas tautan-tautan terpapar, dapat diduga bahwa musik mempunyai benang merah dengan perilaku masyarakatnya. Barangkali, peristiwa inilah yang disebut dengan nyalira secara tekstual dan konteksutal. Tekstual dimaksudkan untuk musikalnya, sedangkan kontekstual dimaksudkan untuk hal di luar musikal, namun masih terdapat ejawantah terkait dengan musikal.
Mleset dan nggandhul menjadi sebuah ruang bunyi sekaligus ruang toleransi untuk muncul dan menunjukkan keberadaannya. Selain itu, juga menjadi ruang dialog antar instrument dalam karawitan, sekaligus mengejawantahkan sikap manusia jawa yang mengutamakan dialog dalam berbagai lini kehidupannya. Dialog dan toleransi kiranya menjadi penting kiwari. Atas tulisan ini, semoga menjadi sebuah nilai untuk kita mampu menghargai satu sama lainnya. Juga, mengutamakan dialog untuk menyelesaikan masalah, agar kerukunan senantiasa terjalin. Amin!
*Penulis ialah mahasiswa Jurusan Etnomusikologi, ISI Surakarta, kelahiran Klaten 10 September 1996. Anda bisa menghubungi penulis lewat akun Instagramnya, @Supriyadi_bas