Definisi Teater Otodidak dan Teater Akademik Menurut Benny Johanes -->
close
Pojok Seni
07 January 2022, 1/07/2022 08:10:00 AM WIB
Terbaru 2022-01-07T01:10:00Z
ArtikelMateri Teaterteater

Definisi Teater Otodidak dan Teater Akademik Menurut Benny Johanes

Advertisement
teater otodidak dan teater akademik

Pojokseni.com - Dalam artikel berjudul Ada Tembok Memisahkan Sekolah Seni dengan Ekosistem Teater di Indonesia yang diterbitkan PojokSeni pada tanggal 27 Desember 2021, ada istilah teater akademik dan teater non akademik (teater otodidak) yang disebut dalam artikel tersebut. Sesuai dengan premis artikel tersebut, bahwa ada tembok yang memisahkan antara kampus seni dengan ekosistem teater yang berada di luar "tembok".


Namun, yang menjadi sorotan di sejumlah forum adalah istilah teater otodidak dan teater akademik. Dikotomi semacam itu dianggap sebagai upaya pemecahbelahan seniman. Mengingat di cabang seni lainnya, jarang ada istilah semacam itu. Anda mungkin belum pernah mendengar istilah "sineas akademik" di dunia film bukan? Atau misalnya "sastrawan akademik dan sastrawan otodidak" bukan?


Meski demikian, menarik melihat bagaimana pembagian "teater otodidak" dengan "teater akademik" ini. PojokSeni mencoba mencari sumber literatur di mana pertama kali dikotomi ini digunakan, serta untuk apa dibedakan. 


Namun, sejak dulu memang sulit menemukan dikotomi ini. Salah satu buku yang membahas sedikit tentang perbedaan keduanya ditemukan di Metode Kritik Teater yang ditulis oleh Benny Johanes atau kerap disapa Benjon. Bagi Benjon, ketika melihat fenomena estetika teater hari ini di Indonesia, bisa juga dibedakan dari latar belakang pegiatnya. Perbedaan latar belakang pegiatnya membedakan pula orientasi estetikanya, yang dalam terminologi Benjon disebutnya sebagai "teater otodidak" dan "teater sekolahan". Bukan untuk bermaksud apapun, namun murni untuk melihat pembeda keduanya berkarya.


Teater Otodidak


Teater otodidak, alias teater yang "belajar sendiri" secara mudahnya merupakan grup teater yang tidak berafliasi dengan institusi formal teater. Ciri khasnya adalah latar belakang pendidikan dan sosial anggotanya terkesan random dan heterogen dalam latar belakang kehidupan urban yang eksplisit. Mulai dari akhir dekade 90-an hingga saat ini, teater jenis ini telah menawarkan banyak cara pengucapan teater yang tidak bertumpu lagi pada realitas naskah lakon.


Grup-grup ini seakan menyebut bahwa pentas teater bukan sebagai duplikasi atau sekedar ekstensi dari sebuah naskah lakon saja. Bukan masalah sistematisasi cerita, tema, dan kemolekan artistik. Tapi bagi grup-grup otodidak ini, teater adalah api perlawanan, pemberontakan yang menggelegak, puisi-puisi yang menawan, spirit yang memberi energi.


Teater bukan sebuah hal yang bisa dikalkulasikan, bukan pula masalah fasih-tak fasih teknik, metode akting, dan seterusnya. Tapi, teater adalah perwujudan dari jati diri para senimannya. Teater merupakan puisi tubuh, yang bergerak mewakili (atau mungkin melawan) dunia yang sudah terkontaminasi ini.


Hasilnya, kadang muncul wacana-wacana yang saling ditabrakkan, pengalaman berbeda yang terus dieksplorasi, interaksi yang metaforis antara tubuh-tubuh aktor, sensasi semiotik dan ungkapan kinetik yang bermunculan sebagai suatu hal yang baru, penuh hasrat dan semangat.


Dalam taraf yang lebih tinggi, seorang sutradara, hingga aktor akan terus bereksplorasi. Mengeksplorasi tubuhnya, pikirannya, benda-benda di sekitarnya, arus di sekitarnya, hingga semuanya keluar dari personifikasi, permainan yang tipikal, serta karakterisasi yang biasa dilakukan pada umumnya. Energi yang kharismatik akan keluar sendiri, karena teater bukan lagi menjadi "membuat sesuatu" tapi "melahirkan sesuatu". Teater akan lahir dalam bentuk-bentuk yang baru, dengan penggalian yang jujur dan penuh invasi sekaligus inovasi. 


Teater-teater ini akan selalu muncul dalam bentuk artistik yang baru, tidak dengan model-model skeneri yang biasa ditemukan di pentas sekolah seni. Semua pikiran berasal dari pertemuan problematis terhadap lingkungan sosial, yang muncul pula menjadi pemikiran yang lebih filosofis. Hal itulah yang membuat pikiran mereka terus bermigrasi, mencari narasi, bentuk artistik, dan konsep yang lebih baru, bahkan lebih "aneh" di setiap waktu.


Terkadang kita akan disuguhkan penampilan yang meditatif, kadang liar. Atau kadang mendebarkan, namun kadang hipnotik. Kadang jorok, menjijikkan, kadang menyilaukan dan mengagumkan. Namun, untuk "melahirkan" teater yang hidup, terus berdenyut, dan segar, maka tak jarang seniman-seniman teater ini akan menghadapi "keperihan", baik keperihan hidup maupun keperihan dalam proses pencariannya. 


Dan kadang pula, ada yang berhasil dan menarik perhatian. Tidak jarang pula, ada yang gagal padahal sudah melewati keperihan yang teramat. Mereka seperti menyodok jalan buntu, terkoyak-koyak, namun teater tetap menjadi spirit dan passion bagi para pegiatnya.


Teater Sekolahan


Sebagai penanda, teater sekolahan adalah teater yang melewati sebuah siklus yang programatis, sistematis, konservatif, berpakem, disiplin, dan "patuh" pada semacam formula tertentu dalam teater. Kelebihannya, pijakan estetis tentunya bertopang pada "mitos" (disebut oleh Benjon sebagai mitos) formula tertentu, sebagaimana matematika dalam kesenian. 


Teater di "sekolahan" berarti teater yang berada di sekolah seni, atau jurusan teater. Akan hadir semacam legitimasi ekslusif, bahwa teater akan ditampilkan di depan penguji, ada "harkat" teater yang dijunjung tinggi, dan penilaiannya harus bertumpu pada objektivitas. Bentuknya rapi, serta akademis.


Meski demikian,Benjon menyebut salah satu kelemahan dari teater "sekolahan" adalah "kempis" dalam pencarian atau eksplorasi. 

Ads