Advertisement
Ilustrasi tata cahaya teater (Sumber: foto pentas Ngaos Art) |
pojokseni.com - Ada sebuah pertanyaan unik yang diajukan ke saya hari ini, "sebelum listrik ada, bagaimana penerangan panggung untuk teater yah?"
Pertanyaan yang unik, tapi perlu dijawab dengan serius. Sejarah mencatat bahwa Thales, seorang cendikiawan asal Yunani bereksperimen dengan sebuah batu amber yang menghasilkan listrik statis dengan cara digosok-gosok dengan kain wol. Kejadian yang terjadi sekitar 600 SM tersebut dianggap sebagai penemuan listrik statis paling pertama dalam sejarah.
Namun, tentunya masih belum cukup untuk menyalakan lampu. Berikutnya, "nama" listrik (electric) ditemukan sekitar 2 milenium kemudian. Tepatnya, ketika William Gilbert melanjutkan penelitian tentang listrik statis Thales. Listrik yang berasal dari batu amber tersebut masih belum punya nama. Saat itu, Gilbert menyebutnya "elektric" atau "electron" yang berarti "batu amber".
Tapi, lagi-lagi, itu masih belum cukup untuk menyalakan sebuah lampu. Sampai nama terkenal dari Italia, Alessandro Volta yang mampu membuat sumber listrik dan membuka pintu penggunaan listrik bagi masyarakat umum. Periode 1800-an adalah saat di mana listrik akhirnya bisa digunakan untuk membantu kehidupan manusia. Tentu, nama yang harus dicatat adalah Michael Faraday yang menemukan listrik yang bisa dialirkan lewat kawat tembaga. Dari penemuan dua maestro inilah, yang berujung pada penggunaan listrik di segala lini, termasuk di pertunjukan teater.
Meski harus dicatat pula bahwa Thomas Alva Edison yang berhasil mengembangkan bola lampu dan memasarkannya di tahun 1879 menjadi titik awal penggunaan lampu di panggung pertunjukan. Tapi, yah itu sudah tahun 1879. Lalu, bagaimana pertunjukan teater yang digelar sebelum tahun itu?
Sebelumnya, juga sempat diulas di artikel berjudul "Sekilas Tentang Tata Cahaya Seni Pertunjukan di Indonesia" bahwa pertunjukan di zaman sebelum lampu dan listrik ditemukan akan mengandalkan dua hal: matahari dan api.
Pertunjukan teater dengan memanfaatkan cahaya matahari sudah dilakukan di era Yunani klasik. Saat itu, semua pertunjukan digelar di siang atau sore hari. Panggungnya berada di ruangan terbuka, sehingga cahaya matahari sangat terang menerangi panggung. Begitu juga yang terjadi di era Teater Romawi, hingga Abad Pertengahan. Pertunjukan digelar di alun-alun, teater terbuka, bahkan di Inggris ada pertunjukan yang digelar di atas kereta yang ditarik kuda. Hingga abad ke-16, rata-rata pertunjukan teater masih digelar di luar ruangan.
Selanjutnya, pertunjukan teater mulai digelar di dalam ruangan. Nama Sabastiano Serlio yang membuat gedung teater serta penciptaan efek cahaya untuk pertunjukan perlu dicatat dalam sejarah tata cahaya teater. Ia membahas konstruksi dan penciptaan efek cahaya teater dalam tulisannya bertahun 1545. Saat itu, Sabastiano Serlio menuliskan cara penempatan lilin dan obor untuk pencahayaan ruangan. Saat itulah, pencahayaan yang mengandalkan "api" dimulai.
Sabastiano Serlio juga merekomendasikan penggunaan botol yang berisi air berwarna untuk mendukung efek tata cahaya. Botol berisi air berwarna biru, kuning, dan merah diletakkan di depan obor (atau lilin) untuk menghadirkan efek tertentu di atas panggung. Berikutnya, nama William Shakespeare juga tercatat sebagai sosok yang menggunakan cahaya dari lilin untuk menerangi pertunjukan dalam ruangan (auditorium).
Masih dengan lilin dan obor, ada nama yang perlu dicatat lagi dalam sejarah tata cahaya panggung pertunjukan. Ia adalah Inigo Jones yang mulai berinovasi dengan sejumlah reflektor untuk menjadikan sumber cahaya lebih intensif dan warna yang lebih menonjol. Cara kerjanya ialah dengan menggunakan lampu minyak di tepi depan panggung tapi tak tersembunyi dari penonton. Lalu, ada juga lampu minyak yang berada di sayap belakang panggung. Dekorasi panggung juga menggunakan warna atau tema yang mampu menangkap sekaligus memantulkan banyak cahaya, seperti warna emas. Lilin lemak diletakkan dalam semacam lingkaran berbahan besi lalu digantung di atas panggung. Lampu gantung ini nyatanya juga memberi kesan mewah pada pertunjukan, meski harus diakui bahwa lilinnya terus menetes ke bawah panggung.
Lampu minyak mulai digunakan sebagai pengganti lilin pada tahun 1783. Sumbunya berbentuk silinder, lalu ada cerobong kaca yang menjadikan nyala api lebih stabil, sekaligus lebih terang dan bersih. Lilin juga tetap digunakan, tapi bukan sebagai pencahayaan utama. Berikutnya, di Inggris, cerobong kaca lampu minyak mulai diberi warna seperti warna hijau. Lalu bisa dinaik-turunkan menggunakan semacam katrol sehingga lebih otomatis.
Dekat dengan penemuan lampu pijar, beberapa grup teater mulai menggunakan gas dari batu bara untuk tata cahaya panggung. Meski ditemukan oleh William Murdock asal Skotlandia, namun penemuan tersebut pertama kali didemonstrasikan untuk pertunjukan di Teater Lyceum, London, Inggris. Umumnya, tidak ada yang berbeda untuk hal penempatan lampu dengan era sebelumnya. Masih tetap di depan panggung, di atas dengan katrol, serta di sisi samping panggung. Perbedaannya adalah, lampu gas ternyata lebih putih dan terang dari lampu minyak. Berikutnya, lampu gas ini juga bisa dinaikkan atau diturunkan intensitas cahayanya dengan semacam katup regulator sekunder yang berfungsi sebagai "dimmer" di era itu.
Pada akhirnya, penggunaan lampu gas dinilai berbahaya karena terlalu mudah menyebabkan kebakaran. Nyaris beberapa teater menjadi korbannya, karena uap yang menyengat dan panas yang membakar. Beruntung, setelah itu penemuan lampu listrik mengubah segalanya. Lampu pertunjukan mulai terus berkembang hingga seperti yang kita lihat di hari ini.