Advertisement
PojokSeni - Beberapa dekade terakhir kita sudah mendengar berbagai filosofi estetika terbaru, seperti contemporery art (seni kontemporer), hingga post-modernisme (pasca-modern) yang keduanya mengikuti tradisi dekonstruksi. Namun, beberapa waktu terakhir, khususnya ketika dunia sedang dilanda pandemi dan memasuki era "post-normal", maka satu tawaran baru muncul dan diberi label "post-contemporery" (sering disingkat PoCo) alias pasca-kontemporer.
Harus diakui bahwa istilah post-kontemporer beberapa hari terakhir menjadi lebih hangat di Indonesia, khususnya di kalangan pegiat sastra. Apalagi kalau bukan karena polemik yang disebabkan redaktur di salah satu rubrik sastra media ternama di Indonesia yang menjawab dengan kasar pertanyaan seorang penulis yang mempertanyakan honor tulisan di media tersebut. Di jawaban panjang sang redaktur yang diketahui lulusan S3 dari luar negeri tersebut, ia menyebut bahwa dirinya (bersama medianya) sedang mencoba memperkenalkan puisi post-kontemporer di Indonesia.
Namun, Pojok Seni tidak menulis artikel ini dalam rangka membicarakan polemik tersebut. Tapi untuk sedikit menjawab pertanyaan yang cukup banyak bersliweran di jagad maya Indonesia tentang apa itu "post-contemporary art"?
Apa itu Estetika Post-Kontemporer?
Definisi sederhana untuk istilah post-kontemporer ini ialah filosofi estetika dengan dasar bahwa pengalaman apriori estetika musti bersifat universal bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Post-kontemporer disebut sebagai filosofi estetika "forward-looking" alias melihat jauh ke depan. Nilai yang diusung utama ialah universalitas. Post-kontemporer bukan hanya 'sekedar' kritik terhadap apa yang sudah ada, melainkan hipotesis baru yang konstruktif. Setidaknya, begitu Wikipedia menulis tentang post-kontemporer. Untuk mewujudkannya, semua hal yang "membatasi" atau "memagari" manusia satu dengan manusia lainnya seperti ras, suku, budaya, agama, dan perbedaan lainnya, harus disamarkan dan dibentuk kembali demi mencapai universalitas tersebut. Maka Post-kontemporer menekankan pada "empati untuk semua", menghargai kualitas artistik, dan pluralitas.
Istilah post-kontemporer ini untuk pertama kali secara spesifik digunakan dalam debat antara Abbas Gharib dengan Bahram Shirdel, dua orang arsitek. Percakapan itu dimuat dalam artikel berjudul "A discussion between two architects" yang dimuat di majalan Sharestan tahun 2007.
Sebuah artikel menarik yang mengantarkan kita tentang apa itu Post-kontemporer, salah satunya berjudul "Post-contemporary: a Speculative Debate" yang ditulis oleh Sabastian Olma, seorang akademisi dan peneliti di Cultural and Creative Industries at the Centre of Applied Research for Art, Design and Technology (Caradt), di Avans University of Applied Sciences. Artikel ini dimuat di majalah Making And Breaking. Bagian awal artikel ini, Olma menyebut bahwa istilah Pasca-kontemporer memang belum sepenuhnya diterima di dunia seni. Alasan pertama ialah kurangnya antusiasme untuk menerima semua denominasi dan label yang bermula dengan embel-embel "post" atau "pasca" di depannya.
Hal itu mengingat nyaris semua gerakan baru memulai bersifat "revolusioner" menggunakan istilah "post" sebagai awalan. Namun bukan itu alasan utama kenapa post-kontemporer tidak diterima sepenuhnya. Masih ada beberapa alasan lain yang membuat "post-kontemporer" tidak begitu diterima hari ini.
Alasan berikutnya ialah, gagasan post-modernisme yang muncul sebelumnya, hingga saat ini masih terus dipertanyakan pencapaiannya sekaligus dampak/efeknya pada masyarakat. Berbeda dengan gelombang sebelumnya (modernisme) yang meski juga dipertanyakan, namun membuat dampak yang signifikan di berbagai segi kehidupan manusia.
Selanjutnya, alasan yang menjadi titik tolak teoritis penolakan terhadap post-kontemporer ialah karena pandangan ini masih dianggap sebagai pandangan atau wawasan yang spekulatif untuk masa depan. Penulis dan kritikus budaya, Mark Fisher menyatakan bahwa membayangkan masa depan secara kualitatif akan jauh berbeda dengan hari ini, ialah hal yang mustahil. Manusia bahkan lebih mudah membayangkan bagaimana akhir dunia alias kiamat, ketimbang membayangkan bagaimana akhir dari kapitalisme neoliberal. Hal inilah yang disebut "realisme kapitalis". Paduan antara teknologi platform dengan bisnis menjadikan proses psikis menjadi jauh lebih otomatis, maka dampaknya terjadi pada kesadaran kolektif dan emansipatif. Hal itu berdampak pada kemiskinan estetika yang terus digeneralisasi.
Kesimpulannya, budaya kontemporer ialah ketika estetika yang miskin semakin digeneralisasi. Budaya kontemporer menjadi hal yang buruk bagi imajinasi budaya dan politik. Temporalitas berputar-putar, begitu-begitu saja dalam lingkaran setan yang tak berakhir. Dalam kondisi seperti itu; bila kontemporer menjadi hukuman bagi imajinasi budaya hari ini, maka seperti apa lagi tawaran post-kontemporer?
Seperti biasa, semua gerakan estetika di setiap kurun waktu terjadi karena suatu kejadian luar biasa. Ditulis oleh Majalah Making and Breaking bahwa gempa bumi di Portugal tahun 1755 memberikan dorongan penting pada era pencerahan. Gerakan-gerakan lain juga hadir sebagai pendobrak dan perlawanan terhadap berbagai hal. Dan tentunya, post-kontemporer yang wacananya dimunculkan lagi pada tahun 2019 hadir karena pandemi Covid-19 yang menyelimuti dunia. Post-kontemporer kemudian disebut hadir sebagai counter dari kehidupan post-pandemi.
Apa yang mesti dilawan dari pasca-pandemi? Atau isu lainnya yang juga kerap disebut dalam gerakan post-kontemporer, seperti post-white-supremacis-insurection, dan sebagainya. Apa gagasan post-kontemporer untuk melawan itu semua? Bisa dibilang bahwa satu-satunya hal yang paling dirindukan umat manusia ialah "kembali seperti dulu", alias kembali seperti sebagaimana kehidupan sebelum pandemi. Kehidupan yang intensif di bumi, sebagaimana sebelum Covid-19 melanda. Untuk membangun kembali kohesi sosial yang emansipatif, tentunya sentuhan estetika akan sangat dibutuhkan. Namun, bila kontemporer telah menjadi rintangan, sekaligus hukuman bagi kebudayaan, maka akan ada apa lagi yang hadir dengan post-kontemporer?
Apakah Anda merasakan bahwa pertanyaannya juga berputar-putar? Yah, sebagaimana hasil "jerih-payah" gerakan kontemporer yang membuat hal yang kemudian disebut "wheel of changeless change" atau lingkaran 'setan" perubahan yang tak memberikan perubahan. Sebelumnya secara bersamaan, hadir seminar-seminar ekonomi untuk menciptakan banyak wirausahawan baru, dorongan-dorongan untuk keluar dari "zona nyaman", gerakan literasi yang berakhir dengan berserakannya "puisi senja", kemudahan mendapatkan sesuatu tanpa berpikir berkat kemajuan teknologi, energi hijau dan perjuangan melawan perusahaan yang mengambil lahan warga, dan sebagainya. Semua dihadirkan dalam "seni kekinian" yang memunculkan dua hal: estetika yang miskin, atau tanda tanya lainnya.
Setidaknya, sebuah esai berjudul "The Great Deflation: Arts and Culture after the Creative Industries" yang ditulis oleh Justin O'Connor masih memberikan dukungan terhadap budaya post-kontemporer. Dukungan tersebut ditujukan untuk ide menghidupkan lagi bidang produksi estetika yang tidak berdekatan dengan industri kreatif. O'Connor menilai industri kreatif yang sudah didirikan sejak tahun 1990-an sebagai buah dari modernisme telah membiarkan kapitalisme secara brutal mengobrak-abrik ide progresif yang biasanya menjadi bahan dasar produksi artistik. Apabila Post-kontemporer mampu merekonstruksi dan membangun kembali produksi estetika di luar pendekatan industri kreatif, maka hal itu akan sangat mendukung kekuatan transformatif dari sektor ini , menjadikan seni dan budaya sebagai elemen dasar serta selaras dengan kebutuhan publik.
Gagasan seorang penulis bernama Naomi Klein lewat bukunya berjudul On Fire juga mesti diapresiasi, ketika ia menggambarkan post-kontemporer dengan kebijakan membangun kembali ruang publik, mengembalikan lagi semua yang privasi ke ruang privasi, merelokasi sebagian besar ekonomi, serta mengurangi konsumsi yang berlebihan. Ada beberapa ide tambahan dari Naomi Klein yang layak diapresiasi (meski bukan termasuk dalam gerakan budaya) seperti memotong pengeluaran militer, menasionalisasi perusahaan di satu negara, mengatur pajak bagi perusahaan, dan mengembalikan rencana jangka panjang pembangunan. Bukan main!
Lalu, bagaimana bentuk post-kontemporer, serta tawarannya? Harus dikatakan, karena "mereka" menawarkan sebuah perbaikan ke depan, maka seharusnya bentuk dari post-kontemporer juga semestinya belum final, serta masih spekulasi. Proyek yang bernama post-kontemporer ini mesti memikirkan ulang dan merekonstruksi praktik estetika serta produksi budaya saat ini, dan dipertimbangkan untuk "dileburkan" lalu dibangun ulang.
Seniman kontemporer seperti Hito Steyerl memberi gagasan bahwa "membangun dunia seni yang berkelanjutan hanya bisa diajukan sebagai tantangan politik", sedangkan seniman kontemporer lainnya Bernard Stiegler menyebut bahwa gerakan seni kontemporer mesti menemukan hubungan mendasar antara politik dan estetika untuk mengatasi "kesengsaraan dan kemiskinan estetika" di era awal 2000-an. Masalah yang dihadapi saat ini, dua dekade berkelang dari gerakan budaya kontemporer itu, juga masih sama. Justru diperparah dengan pandemi dan masalah eksistensial. Maka, post-kontemporer mesti menjadi jawaban yang tepat dengan solusi yang tepat pula, dan tentunya memberikan satu tawaran baru yang solutif.