Advertisement
Salah satu tindakan dalam Sarip Tambak Oso yang disutradarai Nofi Arianto (Foto: Screenshot dari youtube) |
Oleh: Arung Wardhana Ellhafifie
Antitesis dari Teks-Teks Terdahulu
Berbicara Sarip Tambak Oso, kita selalu didekatkan dengan sastra lisan yang ditransformasikan pada cerita sebuah pertunjukan ludruk (khas Jawa Timur). Namun selama ini kita selalu dipertanyakan apakah cerita rakyat ini bagian dari fakta, yang ditandai dengan makamnya Sarip di Tambak Oso (sekalipun banyak pelaku pertunjukan yang pernah memainkan lakon Sarip Tambak Oso) bingung ketika dihadapkan dengan pertanyaan tersebut (lih. Mashuri, Naila Nilofar: Peran Ibu dalam Cerita Saarip Tambak Oso. Surabaya: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa Balai Bahasa Surabaya). Termasuk Nofi Arianto yang menyutradarai bagian foklor masyarakat Sidoarjo ini. Bahkan ketika dikaitkan dengan fakta dan foklor, Nofi Arianto pun juga kelabakan mencari jawaban sehubungan dengan pertanyaan tersebut. Karena sejauh ini saya juga masih bertanya-tanya setiap membaca seri penelitian.
Saya melihat dari sini bahwa Nofi Arianto tidak melacak data secara dasar. Bisa dikatakan antara penting dan tidak, menurutnya. Tetapi hasil yang tampak mengalami problematika dengan tawaran-tawarannya sendiri, di antara theater historian atau materialitas performatif, atau estetika performatif yang digagas Erika Fischer-Lichte (Profesor Sastra Jerman modern, Sastra Perbandingan dan Studi Teater di universitas Frankfurt am Main, Bayreuth dan Mainz, Direktur Pusat Penelitian Internasional “Interweaving Performance Cultures” di Freie Universität Berlin, Jerman); apakah berdasarkan rujukannya? Ia hanya mengurai menurut perspektifnya, sementara visual selayaknya juga akan berkaitan dengan teks-teks pendahulu. Sebelum saya melanjutkan pembacaan ini, pertanyaan mendasar yang tidak bisa dijawab dengan yakin oleh Nofi Arianto (sutradara Teater Racun Tikus, Surabaya), yang biasa dipanggil Nopek, maka kemungkinan teks-teks terhadulunya tidak dapat dilacak, diteliti dan diselidiki, dikurasi secara tepat, dan penuh keyakinan ataupun kepercayaan yang dipegang atas dasar metode penciptaannya, atau memang data-datanya tidak banyak dan sulit didapatkan.
Kami sudah membaca teks terdahulu dari cerita rakyat Sarip Tambak Oso (sebagai pengantar catatan ini) yang menjelaskan bahwa di desa Gedangan, Sidoarjo, Sarip hidup bersama Ibunya di mana sepeninggal Bapaknya, tambak yang selama ini menjadi mata pencaharian keluarganya diambil secara paksa oleh sang paman sehingga Sarip dan Ibunya menderita. Celakanya Belanda menarik pajak dengan semena-mena, padahal mengetahui kalau sang paman yang mengelolanya. Jelas saja Ibunya tak mampu membayar. Hal itu membuat lurah Gedangan merusak perabotan dan rumahnya dibakar. Sarip pun memukulnya hingga mati. Tentara Belanda pun juga dipukuli, pamannya pun digebuki, sehingga paman Sarip melarikan diri, yang mempertemukannya dengan Paidi yang memiliki amarah pada Sarip karena perempuan yang dicintainya lebih memilih Sarip. Paidi bertarung dengan Sarip. Sarip pun tewas dan dibuang ke sungai Sedati. Ibunya yang sedang mencuci melihat hal itu (tanah merah yang dimakan sebagai cara menghidup), menyebabkan Sarip hidup kembali. Dari sana Sarip mulai merampok dan membagikan harta hasil rampokannya ke orang kampung yang miskin. Para pendekar tidak satu pun berhasil membunuhnya. Sarip menuntut balas pada Paidi yang menyebabkan lelaki (musuh dalam selimut) itu mati tak berkutik. Sang paman akhirnya tahu kalau kelemahan Sarip terletak pada sang ibu. Kalau Ibunya masih hidup, Sarip pun tetap hidup. Karena itu Ibunya ditangkap Belanda hingga meninggal. Tak lama kemudian, Sarip ditangkap hingga dimasukkan ke dalam sumur, dan benar-benar dirinya dipastikan meninggal.
Rangkaian peristiwa di atas penting saya catatkan kembali sebagai penghubung dari visual-visual yang ditawarkan Nopek pada dua program yang berbeda; pertama, pada acara Festival Teater Cirebon 2017; kedua, pada Parade Teater Jawa Timur 2018 (sebagai rangkaian pertunjukan work in progress). Secara global bahwa kedua pertunjukan Sarip Tambak Oso (Belanda Buka Mulut) merupakan antitesis dari teks ludruk; yang menitikberatkan pada perspektif Nopek dengan anggapan bahwa Belanda tidak hanya menjadi tokoh yang jahat, justru diakui dirinya sebagai tokoh yang baik dengan membawa satu peradaban yang penting bagi masyarakat Sidoarjo (khususnya). Misalnya banyak pembangunan yang dilakukan oleh Belanda seperti pabrik gula (Candi, Tulangan, Krembung, dan Prambon—masih berfungsi), pabrik tebu, jaringan rel kereta api, bendungan (DAM), saluran air sungai, jembatan, gedung-gedung perkantoran, maupun bangunan lainnya. Nopek dalam perspektifnya Belanda di samping menjajah juga secara tidak langsung memberikan praktik kerja yang modern dan tersistem dari sebelumnya.
Nopek tidak lagi menghadirkan teks terdahulu secara verbal; hubungan sang Ibu dengan Sarip, hubungan paman, lurah dengan keluarga Sarip, maupun hubungan Paidi dengan Sarip dikonstruksi pada beberapa medium material, maupun bahasa melalui tokoh-tokoh lain muncul untuk memperkuat sistem kolonial yang sepatutnya menjadi catatan penting bagi masyarakat Sidoarjo. Bukan serta merta menuding dan menyalahkan Belanda, dengan segala tindak perilakunya yang disebut jahanam. Nopek menghidupkan Sarip dan para pekerja lainnya dengan sistem kerjanya melalui beberapa peformer yang menata batu satu persatu sebagai konstruksi bangunan dianggap warisan penting. Medium lainnya seperti seng yang digantung; dijadikan salah satu konstruksi lainnya untuk menguatkan perspektif sistem modern yang ditinggalkan Belanda.
Lagu De Four Tak-Sonja; Sonja Sonja lieve Sonja, waarom, waarom was dat (Sonya, Sonya sayang, mengapa harus begitu)...Sonja lieve Sonja, morgen treur ik om jou (esok aku akan bersedih karenamu), ikut hadir sekitar dua kali dalam setiap pertunjukan seperti diharapkan Nopek untuk memberikan pernyataan pada Sarip, dan masyarakat Sidoarjo layaknya hubungan seorang kekasih yang ditinggalkan (bukan hubungan penjajah dengan yang dijajah). Seolah-olah ingin mengatakan bahwa Belanda harus pergi meninggalkan Sidoarjo, karena tidak tahu terima kasih. Padahal pada dasarnya Belanda sudah banyak hal yang dilakukannya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat Sidoarjo; sekalipun setiap bangunan yang didirikan memiliki hubungan satu sama lain dalam rangkaian penjajahan. Hanya saja konstruksi medium yang hadir di atas panggung dan menjadi antitesis dengan teks-teks sebelumnya tidak seutuhnya menjadi milik Belanda. Bahkan kurungan besi yang digantung pada pertunjukan kedua pun; hanya sebagai simbol pada umumnya. Bukan menjadi penguat dari antitesis yang diharapkan. Problemnya terletak pada kinerja dramaturgi yang terlihat pada kedua pertunjukan yang akan saya urai di bagian berikutnya.
Teks terhadulu diletakkan sebagai gambaran pertentangan masyarakat Sidoarjo sendiri yang diwakili pertentangan Sarip dan Ibunya dengan sang paman; menjadi awal kebiadaban yang dilakukan oleh Belanda. Lurah yang berpihak kepada Belanda; asas pemanfaatan yang diolah Nopek sebagai satu kesalahan yang fatal sebagai sesama masyarakat Sidoarjo dalam mendudukkan sisi humanisnya. Visual kedua pertunjukan tersebut menggiring pada sikap yang menertawakan teks-teks sebelumnya yang hampir sama dengan banyak cerita di daerah lain. Sekaligus menggarisbawahi di balik antitesis ini, ingin meredefinisi cara berperilaku dalam konteks modern yang bisa dikaji dan dianalisis dari banyak pertanyaan sederhana; kenapa kita tidak berterima kasih kepada Belanda? Kenapa hanya Belanda yang disudutkan? Kenapa bangsa kita sendiri membelot pada Belanda? Lantas kenapa pula secara umum kita tidak pernah mengakui konstruksi sistem yang dilakukan oleh Belanda adalah reproduksi pengetahuan bagi masyarakat Sidoarjo?
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul ini semacam antologi teks antitesis dari sebelumnya yang juga memiliki peluang untuk dikritisi; karena bagaimanapun antitesis dari teks terdahulu juga akan berkaitan dengan data-data hasil penelitian yang valid. Akhirnya menurut saya antitesis Nopek hanya berada pada sisi permukaan, dan hanya sebatas keinginan untuk menginterpretasi foklor dengan perspektif materialitas performatif tanpa penelitian dan penyelidikan yang lebih mendalam sehingga tak tampak informasi-informasi yang ditawarkannya. Belanda buka mulut hanya selesai pada teks performatif yang jika dikaitkan dengan pengetahuan keterhubungan tersebut, tidak jelas praktik kurasi materialnya. Apalagi jika berhubungan dengan dramaturgi bunyi yang ditawarkannya (disadari atau tidak disadari bahwa saya menangkap bunyi-bunyi di kedua medan kerja menjadi media artistik yang signifikan). Tentu saja sangat berkaitan dengan sejarah pembangunan di Sidoarjo; lebih dulu mana Belanda membangun pabrik gula, dan tebu daripada jaringan rel kereta api? Apakah lebih dulu membangun gedung-gedung pemerintahan ketimbang saluran air, bendungan (DAM), maupun jembatan?
Konstruksi Material Performatif dalam Kinerja Dramaturgi
Salah satu tindakan lainnya yang dilakukan oleh performer Teater Racun Tikus, Surabaya, pada Festival Teater Cirebon 2017 (Foto: Screenshot dari youtube) |
Bagian sebelumnya saya menyebutkan nama Fischer-Lichte, yang dicurigai oleh saya menjadi rujukannya Nopek, yang hendak saya mau kaitkan dengan pernyataan Mladen Ovadija (1947-2019, seorang dramaturg, dosen universitas, dan peneliti independen, yang tinggal di Toronto, Kanada), yang juga menyinggung Fischer-Lichte, yang kami kenal dengan estetika performatifnya selama ini, dan sering kali disinggung oleh beberapa Profesor teater lainnya seperti Richard Schechner.
Recognizing the materiality of voice/sound and reaching for the intrinsic performativity of words locked in their oral/aural potential, sound poets paved the way for “performative generation of materiality” (Fischer-Lichte) in theatre. As this extends further toward the understanding of sound’s ability to materialize on stage to participatein “moto-rumorist” scenography, a new theatrical idiom independent of traditional narrative or dramatic text can be considered as evolving from Futurist concepts of poetry and performance (Mladen Ovadija: Mladen. Dramaturgy of Sound in the Avant-Garde and Postdramatic Theatre. 2011, hlm. 76).
Berdasarkan kutipan di atas, Mladen menyebut Fischer-Lichte, bahwa jalan tempuh dalam pertunjukannya dengan materialitas performatif; yang dianggap bisa dilakukan dengan meraih performativitas intrinsik dari banyak bahasa. Misalnya bahasa yang dimaksudnya seperti teks-teks dari seorang penyair yang muncul dari dalam dirinya sebagai suara pengalaman dan sikapnya yang paling riil. Materialitas performatif yang ditawarkan Nopek mencoba suara-suara yang ditimbulkan dari atas panggung sebagai skenografi sekaligus menjadi bahasa puitik untuk menjembatani antara performer dengan penonton. Material yang dipilihnya dibebani dengan gangguan-gangguan yang mampu mengacaukan kedudukan penonton bisa lepas dari kenyamanannya. Semisal seng-seng yang dikonstruksi bunyinya menjadi semacam teror, maupun sirine yang cukup mendominasi sepanjang pertunjukan pada dua platform tersebut benar-benar diinginkan hidup sebagai refleksivitas agar hadir dari fakta yang dihadapinya.
Suara-suara dari burung dalam sangkar pada pertunjukan keduanya diharapkan menjadi bahasa puitik yang dapat dirasakan dan dinikmati bersama antara performer dengan penonton. Akan tetapi jika dihubungkan dengan gagasan Fischer-Lichte maupun dramaturgi bunyi atau suara yang diungkapkan oleh Mladen semacam pertemuan antara kedua gagasan tersebut yang sedang dilacak olehnya. Utamanya saya tidak terlalu melihat dari setiap konstruksi material yang hadir; justru semakin jauh dari keinginannya. Karena material yang hadir tidak sama sekali berhubungan dengan konstruksi bangunan di Sidoarjo. Semuanya seolah-olah menjadi paradoks dengan harapan dan cita-citanya yang bisa dikatakan menarik sebagai antitesis.
Pelacakan kembali bisa dimulai dari pengertian dari performatif dalam kaitan estetika yang diinginkan Fischer-Lichte sebagai peristiwa yang harus dianggap esensial referensi diri dalam melihat satu fakta sosial yang terjadi di lingkungannya. Peristiwa yang dihadirkan ke hadapan publik merupakan hal yang konkret dirasakan dan dilihatnya. Sifat dari performatif berupa pengalaman yang tidak dapat ditafsirkan dan dipahami sebagai simpulan. Maksud saya adalah; kaitannya dengan pertunjukan Sarip Tambak Oso (Belanda Buka Mulut) menjadikan performernya dengan argumentasi yang logis. Hal itu sangat berpeluang dikarenakan karakter-karakter yang tampak bukan sebuah usaha menirukan peran, melainkan reinterpretasi dari teks sebelumnya. Terutama pada pertunjukan kedua, salah satu performer yang mereinterpretasi dari sosok Sarip; menjadikan tubuhnya dengan logika bahwa Belanda, tetaplah Belanda yang jahanam dan keparat. Hanya saja tidak didukung dengan keyakinan nalar berpikirnya agar kita bisa percaya dan memasuki perspektifnya sehingga menciptakan ruang kedudukan yang baru bagi yang melihatnya.
Kita ketahui pula bahwa Fischer-Lichte dalam performatifnya melepaskan diri sebagai pengamat untuk menjadi performer dalam batasan di antara aktif dan pasif. Karena tidak semuanya tindakan diri ditandai dengan keaktifan, melainkan penandaan itu bisa dilakukan dengan cara yang pasif. Akan tetapi diri yang pasif juga bekerja dalam kerangka berpikir dan performer lainnya dapat membaca, serta merasakan itu. Sayangnya dalam pertunjukan yang disutradarai Nopek sangat memberikan keraguan untuk terlibat, sekalipun pasif karena dikonstruksi dengan material-material yang tidak meyakinkan bahwa Belanda tetaplah Belanda. Burung-burung yang terpenjara dalam jeruji maupun kerja paksa menata batu tidak cukup memberikan argumentasi sebuah penindasan (saya sendiri pun masih dalam taraf imajinasi berdasarkan teks-teks tertulis maupun visual, karena saya tidak pernah berperang dengan Belanda).
Pertunjukan dalam estetika performatif membutuhkan orang-orang yang melihat dan merasakan agar diberi posisi baru: dari sekadar pengamat, mereka diaktifkan menjadi performer. Bisa mungkin teks-teks penindasan yang sangat dekat dengan hari ini, jelasnya kita juga mengalami dan performer juga mengalami hal itu sehingga pengalaman menjadi literaturnya sendiri. Sementara di satu sisi, memperlakukan teks-teks dramatis pada pertunjukan pertama maupun kedua menjadi mubazir ketika tidak ditransformasikan sebagai bahasa puitik. Padahal karya ini dalam visualnya akan lebih sederhana, tapi benar-benar materialitas performatifnya akan lebih terasa dan terjaga. Berbicara kesederhanaan karya, Mladen dalam catatannya seperti berikut ini.
The visual, kinetic, and aural elements of the piece are simple, repetitive, and abstract to the point that, if not for the backdrop, one would be hard-pressed to decide exactly what they represented (ibid., hlm. 269).
Berdasarkan kutipan di atas, kedua pertunjukan Teater Racun Tikus dalam Sarip Tambak Oso (Belanda Buka Mulut) memiliki elemen visual, kinetik, maupun auralnya yang lebih sederhana dari apa yang sudah disajikan. Material performatif memiliki kecenderungan yang sifatnya individual. Konstruksi bangunan di Sidoarjo menjadi rangkaian peristiwa yang berkesinambungan sesuai dengan waktu didirikannya. Dan sangat dirasakan oleh kita hari ini dalam peristiwa sehari-hari. Nopek bisa mungkin mewakili sebagai bangunan-bangunan yang masih dinikmati masyarakat Sidoarjo, karena gagasan itu berawal darinya sebagai reinterpretasi. Jika dimainkan oleh orang yang lain dan tidak memiliki perspektif, akan sangat sulit. Tentu mereka dilibatkan sebagai reinterpretasi Sarip yang memandang Belanda tetaplah simbolik kebiadaban yang bisa didekatkan dengan pengalaman-pengalaman kekerasan performer. Material performatif benar-benar lahir dari latar belakangnya yang memungkinkan saya cukup mudah memasuki dengan apa yang ingin dicapainya.
Lagu De Four Tak-Sonja atau lagu-lagu dangdut (populer) yang menggambarkan patah hati karena kebanalan, kesadisan, dan kekurangajaran pasangan bisa jadi lebih dekat dengan setiap orang yang melihatnya. Sementara Nopek yang cenderung dalam karyanya mereinterpretasi, barangkali melakukan repitisi dengan menghadirkan konstruksi-konstruksi keterkaitan suara pabrik tebu, pabrik gula, jaringan lintasan rel kereta api, dikombinasikan dengan bahasa teks-teks puitik yang muncul dari dirinya, maksud dan tujuan penciptaannya, atau mempertanyakan tentang konstruksi-konstruksi di antara batas humanis dan anti-humanis. Kinerja dramaturgi penciptaan pun barangkali sejalan dengan kinerja dramaturgi yang dilakukan oleh Belanda, karena setiap pembangunan sarana dan prasarana saling berkaitan satu sama lainnya. Justru hal itu bisa mungkin lebih mampu mengacaukan pikiran setiap orang yang melihatnya sekaligus memberikan informasi pengetahuan, apalagi didukung dengan arsip-arsip sebagai penguat perspektifnya. Tetapi di sisi lain, kinerja dramaturgi lainnya terus menunjukkan kekerasan hubungan kekasih, hubungan suami istri, hubungan orang tua dan anak yang akan saling terkait satu sama lainnya dalam material performatif.
Dramaturgi Suara dengan Antitesis “Sarip Tambak Oso (Belanda Buka Mulut)”
Ketiga performer Teater Racun Tikus dalam beberapa medium pertunjukan Sarip Tambak Oso (Belanda Buka Mulut) di FTC 2017 (Foto: Screenshot dari youtube) |
Dramaturgi suara berdasarkan hasil penelitian dan penyelidikan Mladen merupakan reproduksi bunyi atau suara-suara yang diolah sebagai medan kerja artistik sekaligus estetik melalui beberapa pilihan material yang digunakan maupun bahasa puitik sebagai idiom untuk menciptakan kinerja auralitas. Suara menjadi gagasan yang utuh dalam satu pertunjukan ataupun performatif yang membentuk peristiwanya dari tatanan teks tradisional, dan juga mendapatkan reaksi dari setiap orang yang melihatnya melalui banyak medium; bisa berupa tubuh, benda-benda, media digital, maupun objek-objek lainnya yang menimbulkan estetika suara. Karenanya suara semakin mengeluarkan hubungan antara semantik dan pragmatis dalam teater avant-garde, yang semakin marak dipraktikkan oleh banyak komunitas teater di Indonesia. Salah satunya Teater Racun Tikus yang disutradarai Nopek.
Suara juga dalam praktik kinerjanya berusaha menggantikan kerja pertunjukan yang mengarah pada hubungan bahasa drama sastra dan idiom pertunjukan teater, tetapi dramaturgi suara dioperasikan untuk membentuk hubungan teks dengan peristiwa di luar pertunjukan sebagai bahasanya sendiri. Dengan rangkaian suara sekalipun, kita bisa memahami dan ikut mengalami apa yang hendak diungkapkannya. Seperti yang diperkuat Mladen dalam catatannya berikut ini.
Russolo’s experiments with intonarumori took place intheearly days of “Art in the Age of Mechanical Reproduction,” as the title of Walter Benjamin’s famed essay reads. With the help of the fast developing technologies of the microphone and the motion picture camera, artists were able to capture the dynamics of an increasingly fragmented world. They would discover the profane, unattended noises, as Cage later put it, or the ready made images and objects with which they could construct radio or film pieces through the art of montage. Still, our contemporary idiom of audio visual montage also owes much to the poetics of assembling the most unlikely word sound analogies explored in parole in libertà and developed in the art of noises (ibid., hlm. 214).
Luigi Russolo yang dimaksud Mladen tak lain seorang komposer avant-garde yang juga seorang pelukis berkebangsaan Italia, yang dikenal sebagai seni kebisingan dengan menghargai suara yang lebih kompleks dan menganggap bahwa musik kebisingan sebagai penggantinya di masa yang akan datang. Jelas berbeda dengan suara-suara yang dikonstruksi Nopek; entah apakah harapannya ingin mencapai kebisingan tersebut dalam bentuk seni, atau hanya sekadar kebisingan sebagai teror biasa yang justru tidak menjadi menarik dan tidak memiliki dampak yang kuat.
Kutipan di atas saya gunakan dalam kerangka untuk menemukan kemungkinan yang bisa digunakan dalam pembacaan ini. Tidak ada maksud untuk catatan kritis, setidaknya gambaran konsep eksperiman Russolo ini dalam catatan Mladen; yang dikenal sebagai manifesto Rossolo dan banyak mempengaruhi banyak seniman pada dekade selanjutnya, kalau Walter Benjamin menulisnya sebagai seni dalam era reproduksi mekanik. Pada sesi penyelidikan saya terhadap Nopek yang tidak menyadari bahwa suara-suara atau bunyi-bunyi yang dimunculkan sebagai praktik kinerja dramaturgi, juga tidak terpikir kalau konstruksi kebisingan dari suara sirine tersebut sebagai estetik. Namun direproduksi hanya sebagai teror. Teror ini juga yang semakin menjadi paradoks ketika dikaitkan dengan harapan dan keinginannya sebagai antitesis.
Berkaitan dengan penggunaan teknologi terbaru yang digunakan oleh Nopek; seperti video yang bisa memberikan historis pembangunan Belanda di Sidoarjo yang masih dirasakan seperti pabrik tebu, gula, maupun jaringan rel kereta api, yang dibantu dengan teknologi mikrofon akan memungkinkan dapat menangkap dinamika dunia yang semakin terfragmentasi seperti yang dibahas Cage dalam Mladen. Seni montase audio-visual yang diungkapkannya juga dalam idiom kontemporer, kemungkinan dapat dilacak kembali dengan memasukkan potongan-potongan suara pembangunan pabrik tebu, gula, maupun jaringan rel kereta api yang didukung potongan-potongan visualnya bisa semakin meyakinkan bahwa masyarakat Sidoarjo (sebagai generasi berikutnya) juga merasakan dan menikmati dalam satu pengalaman yang sama.
Mladen menggarisbawahi bahwa potongan-potongan suara maupun visual dapat dieksplorasi menjadi bahasa puitik dalam menyusun analoginya. Saya kira pertunjukan ini berpeluang dan sangat terbuka kebisingannya yang direproduksi menjadi salah satu seni pertunjukan menggabungkan berbagai macam medium. Syaratnya diperlukan penelitian dan penyelidikan sehingga dalam beberapa pertanyaan yang sebelumnya diungkapkan di bagian atas, Nopek mampu memberikan pengetahuan informasi yang juga bisa dilacak ulang untuk memberikan keyakinan kepada saya pada antitesisnya. Namun sekali lagi, dramaturgi suara yang saya temukan pada pertunjukan ini tetaplah menarik sehingga memerlukan dua bagian lagi untuk dibahas, terutama karakteristik dramaturgi suara dan tindakan performatif dalam hubungan pencarian identitas.
Dramaturgi Suara bukan ‘Sekadar’ Teater Kata atau Teater Mini Kata
Fransisca Putri (kanan, yang merepresentasi dirinya) sebagai Belanda dengan anjing peliharaannya yang merasa kalau Belanda sudah memberikan kemajuan (Foto: TRT, 2018) |
Bagian ini sebagai penguat dramaturgi suara hasil penyelidikan Mladen pada beberapa pertunjukan di Amerika dan Eropa, yang menurut pengamatan saya pertunjukan ini secara konstruksinya memiliki peluang untuk hal itu; sekalipun Nopek memiliki perbedaan karena selama proses penyelidikan, ia lebih banyak membicarakan hubungan makna bangunan warisan Belanda dengan masyarakat Sidoarjo. Barangkali Nopek tidak mau membocorkan praktik dramaturgi maupun penyutradaraannya. Namun saya tetap mencatatnya karena ini cukup penting berkaitan dengan warna, bentuk, suara, eksplorasi sinestetik dalam hubungan antitesis. Salah satu catatan sebagai tambahan berikut ini.
Most importantly for the inquiry into the dramaturgy of sound, many of the theatrical sintesi, especially those subtitled as abstract, included sound as their essential component. They continued the synaesthetic explorations in painting, poetry, and music and evolved into a synthetic dramaturgy announced by the manifesto: “The Futurist theatrical synthesis ... will be autonomous, will resemble nothing but itself. ... Above all, just as the painter and composer discover, scattered through the outside world, a narrower but more intense life, made up of colours, forms, sounds and noises, the same is true for the man gifted with theatrical sensibility, for whom a specialized reality exists that violently assaults his nerves: it consists of what is called the theatrical world.” (ibid., hlm. 266)
Hal yang paling saya catat kutipan di atas dan dipertanyakan kembali; terdiri apa saja yang disebut teater kata dan untuk siapa dipanggungkan? Ini pertanyaan otomatis juga menjadi milik praktik kerja dramaturgi suara yang hendak diterapkan. Mladen tidak merunutkan apa saja yang menjadi kewajiban sebagai struktur ataupun komponen untuk menghasilkan kinerja dramaturgi suara. Namun hal yang paling penting seperti kutipan di atas; diketahui bersama bahwa dramaturgi suara memiliki banyak sintesi teaterikal maupun pengejewantahan ide atau gagasan secara tepat. Kata-kata atau mini kata justru akan menjadi hadir seperti dramaturgi pada praktik tradisional dengan ikatan struktur yang memiliki konvensinya. Justru kerja dramaturgi suara ini menjadi praktik yang bisa dikatakan berbalik karena tidak memiliki konvensi ataupun struktur yang baku, tapi tetap diikat oleh sistem kurasi pada bentuk, warna, dan suara-suara dari objek yang dijadikan sebagai material pertunjukan.
Praktik kerja dramaturgi baru pada umumnya lebih spesifik, yang bisa disebut dengan hal yang lebih sempit pada objek gagasannya dan memiliki sifat otonom. Kekuasaan dari spesifikasi tersebut seperti suara misalnya akan memfokuskan pada setiap komponen yang saling berkaitan. Sama halnya ketika menggunakan praktik kerja arsitektur, arkeologi, etnografi, teknik nuklir, militeristik, dan lain sebagainya, justru lebih intens karena bertumpu pada satu bidang yang dikuasai maupun diteliti dan diselidiki. Termasuk praktik kerja suara yang bisa muncul melalui kata-kata, tetapi bukan hanya sekadar kata atau mini kata dalam satu fase dramatis, melainkan suara-suara dalam satu konstruksi sintesis teaterikal dari objek permasalahan yang ditawarkan.
Kenyataannya, apakah kinerja dramaturgi suara dikonstruksi untuk menjawab dari tradisi drama secara umum? Atau memang dilakukan sebagai bentuk pengembangan kerja lain dari sebuah peradaban dan perkembangan teater, atau diproduksi untuk mengalihkan hasrat dari apa yang dilihat sebelumnya untuk membuat sebuah inovasi, atau kita sedang mengaktifkan kebebasan ekspresif secara terbuka yang munculnya dari dalam diri masing-masing. Sekali lagi saya catat; bahwa suara bisa menjadi kata, bahasa yang akan terstruktur dengan baik sekalipun dalam pengolahannya tidak memiliki rumusan yang baku. Dalam contoh suara-suara yang dihadirkan di atas panggung pertunjukan Sarip Tambak Oso (Buka Mulut) cukup punya ruang dalam sensibilitas teaternya memainkan suara kebisingan dalam kaidah seni, sintesi teaterikal, sistem gagasan agar terwujud ke hadapan publik tidak hanya terdorong karena luapan emosional semata untuk mengungkapkan perbedaan. Namun tetaplah didorong oleh studi analisis, apalagi jika berkaitan dengan historical dan biografical yang tampaknya sangat penting dicatat sehingga tidak terjebak oleh banyaknya temuan-temuan di lapangan nantinya. Mungkin juga akan berbeda catatan ini deskripsinya ketika Nopek membocorkan praktik penciptaan sehingga saya pun tidak terkesan ‘kusut’ dalam pembacaan ini.
Menciptakan Identitas dalam Tindakan Performatif
Dimas (kanan) yang merepresentasi dirinya sebagai Sarip yang tidak menerima dengan antitesisnya Fransisca Putri (kiri, duduk) pada Parade Teater Jawa Timur 2018 (Foto: TRT, 2018) |
Fischer-Lichte seperti kami ketahui dalam beberapa karyanya bertujuan untuk menciptakan identitas melalui repititif, dan secara pengulangan sudah dilakukan oleh Nopek dengan suara-suara seng pada pertunjukan pertama, maupun sirine dan lagu De Four Tak-Sonja. Identitas yang dimaksudnya adalah orientasi pengaruh terhadap penonton yang berdasarkan satu kesamaan pengalaman. Tranformasi fungsi pengamatan saya yang tidak dapat dilakukan kalau perspektifnya sebagai performatif. Karena sejauh ini saya yang sering kali berkunjung di sepanjang beberapa wilayah Sidoarjo, merasakan tidak memiliki satu pengalaman yang sama dengan tindakan yang dihadirkan di atas panggung. Pabrik tebu dan gula masih berdiri kokoh dengan segala macam aktivitas kerjanya, maupun stasiun kereta api yang masih berfungsi. Para performer tidak mampu memberikan spasial antara tindakan yang dipraktikkannya dengan saya sebagai penonton. Mereka tidak mampu memberikan saya kepada ilusi satu pertunjukan adanya bangunan-bangunan Belanda yang masih dinikmati.
Pertanyaan lain dapat dimunculkan pada Fischer-Lichte; dapatkah persepsi dalam tindakan performatif mampu menciptakan identitasnya? Hal ini berhubungan dengan estetika pertunjukan dalam material performatif yang dikemukakannya memosisikan penonton di antara hubungan representasi dan pertunjukan itu sendiri. Sehingga pengalaman saya sebagai penonton, akan terbantu oleh para performer dalam proses pendokumentasian secara teks, visual, proses keterhubungan kerja, keterikatan, dan saling memengaruhi antara satu dengan lainnya.
Performatif akhirnya dengan segala macam tindakan dalam identifikasi memberikan kedudukan yang sama dengan performernya. Tidak ada batasan yang dimaksud dalam tindakan performatif antara pengamatan dari subjektivitas penonton dengan kinerja performer adalah; terjadinya kesamaan sikap. Sayangnya pertunjukan ini selama saya menonton kedua pertunjukannya, berada di antara batasan yang sedang dilacak antara mimesis dan tindakan. Barangkali perspektif dalam materialitas performatif yang dimaksud Nopek; bukan semacam performatif yang digagas oleh Fischer-Lichte. Sekali lagi untuk mengakhiri catatan ini; pentingnya data-data riset pertunjukan Nopek karena karakter performatif akan memengaruhi kerja dramaturgi dan penyutradaraannya, yang kini sedang mempersiapkan ujian tugas akhirnya pada Januari 2022 mendatang di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya untuk memperoleh gelar sarjana seni dengan peminatan sutradara, dan kembali membaca foklor Sarip Tambak Oso, yang difokuskan pada tabir Simbok (Ibunya Sarip).