Advertisement
Ilustrasi: Pementasan Ngaos Art |
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.
Catatan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya dengan judul yang sama. (Baca: Pemuda dan Pemajuan Kebudayaan bagian I) Kendati hal ini berkaitan erat, namun refleksi di sini merupakan hal praktis lain yang perlu ditumbuhkan oleh pemuda dalam lingkup Keuskupan Manado, yang wilayahnya meliputi tiga propinsi di semenanjung Sulawesi Utara. Dalam refleksi sebelumnya, telah diangkat ke permukaan bahwa peran pemuda dalam pemajuan kebudayaan telah dijamin dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, juga karena individu yang merupakan pelaku pemajuan kebudayaan itu menunuuk pada semua insan Indonesia. Namun demikian, hal praktis berikut ini kiranya juga menjadi pemahaman dasar pemuda untuk bisa melanjutkan upaya pemajuan kebudayaan itu.
Hal praktis tersebut antara lain dapat penulis uraikan seperti berikut ini: Pelestarian budaya dengan menghargai budaya asli yang tentu saja tanpa maksud mengeksklusifkan budaya aslinya tersebut. Proses ini tentu dapat dijalankan dengan cara yang berbeda satu individu dengan individu lainnya. Hal itu tampak lewat fakta bahwa ketika kita menghargai budaya asli di tanah rantau atau di perantauan, nilai-nilai kelokalan dirasa sangat kuat untuk dipertahankan.
Kendati begitu kita tidak perlu menjadikan ini sebagai standar berperilaku terhadap budaya lokal karena budaya lokal memang sejatinya harus diberi tempat sejalan dengan tetap mempertahankannya. Di sisi yang sama, pelestarian budaya lokal merupakan kebutuhan kita, agar kita tetap ingat budaya lokal kita serta menghidupi budaya lokal itu. Sejalan dengan itu, kita juga perlu memiliki kesadaran penuh pada fakta adanya multikulturalisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Multikulturalisme menggambarkan adanya beragam etnis yang berbeda, yang ada di Indonesia di mana masing-masing individu tetap mempertahankan identitas budayanya kendati tinggal tidak di tempat kelahiranya. Fakta multikulturalisme ini tentu harus dilihat sebagai peluang untuk menyadari diri dalam keberbedaan, dan dengan begitu, kita bisa saling menopang dalam mendukung pemajuan budaya masing-masing secara bersama-sama.
Maka dari itu, setiap pemuda tentu harus memiliki kesadaran sebagaimana uraian di atas, yang tentu saja akan memperkuat diri mereka dalam upaya untuk menjadi agent of change dalam kebudayaan dan peradaban itu. Maka demikianlah pemuda selalu mengingat bahwa kebudayaan itu sejatinya bisa dipahami dalam tiga lapisan berikut ini:
Pertama, ‘alat-alat’, yaitu segala sesuatu yang diciptakan manusia untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya, termasuk segala bentuk teknologi dari yang sederhana sampai yang canggih, serta ilmu pengetahuan. Kebudayaan dalam lapisan ini dapat dialihkan dari satu masyarakat kepada masyarakat lainnya, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua, ‘etos’ masyarakat, yaitu kompleksitas kebiasaan, sikap-sikap terhadap masa lampau, alam dan pekerjaan. Ketiga, ‘inti’ dari suatu kebudayaan yaitu pemahaman diri masyarakat, cara bagaimana masyarakat menafsirkan dirinya, sejarahnya dan tujuan-tujuannya.
Lapisan-lapisan ini buan merupakan sebuah susunan yang tidak dapat bertukar satu sama lain, dalam arti diantara ketiganya memiliki interaksi satu sama lain satu terhadap yang lainnya. Perubahan pada lapisan pertama teknologi, industry, dll itu, membawa perubahan pada lapisan kedua, yaitu etos budaya. Sebaliknya etos budaya dapat menunjang atau menghambat perubahan pada lapisan pertama.
Maka akhirnya, pemahaman tentang pemajuan kebudayaan, dibarengi dengan konsep kebudayaan yang di dalamnya memiliki lapisan yang saling berkelindan satu sama lain itu, menyiratkan sebuah kedalaman makna dan peran seorang pemuda dalam peradaban. Kiranya poin-poin ini menjadi petunjuk praktis bagi pemuda dalam menjalankan pelestarian, pemajuan dan pengembangan budaya itu. Dengan demikian, langkah selanjutnya adalah bergerak untuk melakukan/mewujudkan pemajuan kebudayaan itu. Tokoh kunci adalah pemuda, pelaku utama adalah pemuda. Pemuda adalha sosok yang bisa dan dipandang mampu mengintegrasikan budaya-kebudayaan, terutama budaya luar dengan budaya yang dimilikinya. Dan karena mereka adalah tokoh kunci, mereka bisa memberi arah kepada diri sendiri untuk kemajuan peradaban.
*Penulis adalah Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Budaya dan Pegiat Filsafat. Baca tulisan lain dari Ambrosius M Loho di sini: Kumpulan Tulisan Ambrosius M Loho