Advertisement
Babur, pendiri Mughal |
Oleh: Prof Yusmar Yusuf
Tak jauh dari Lahore, sejarah seakan direduksi menjadi karakter satu dimensi, demi sebuah stereotipe pasaran. Demikianlah Mughal berlalu dalam tindihan obsesif Hindu-Islam, kemudian Islam-Hindu dan selanjutnya sinkretisme mistik di antara keduanya yang teramat memukau. “Tout passé, tout casse, tout lasse”, begitu adagium Prancis; “semuanya berlalu, semua binasa, semuanya luntur”.
Mughal, sebuah kerajaan besar yang obsesif di tengah samudera Hindu di anak benua itu kian gemilang pada sebuah era dan serangkaian penanda, saling bersulam antara air mata dan darah, antara nyata dan maya. Siapa nyana, bahwa Shah Jahan yang menikahi Mumtaz Mahal dan memiliki 14 orang putera. Di ujung episode itu Shah Jahan yang membangun mosuleum Taj Mahal, dipenjara oleh anaknya sendiri bernama Aurangzeb dan meninggal. Aurangzeb adalah seorang fanatik tipe keras, Islam formal-tekstual (mungkin murid spiritual berikutnya menjelma menjadi Jenderal Zia).
Sebaliknya saudara sedarah Aurangzeb bernama Dara Shikoh yang sedang berkuasa, seorang pejalan spiritual, menyenangi puisi dan syair-syair tinggi berbahasa Parsi. Dara Shikokh yang melodius itu (mungkin pula murid spiritual beratus tahun ke depan bernama Zulfikar Ali Bhutto) mengalami nasib yang sama, dihukum gantung oleh saudaranya sendiri (Aurangzeb).
Islam yang dinamis itu dinyawai oleh tiga batang sungai ranggi; Usmaniah dengan obsesi Kristen-Eropa, Safawi obsesi Sunni. Terakhir sungai Mughal dengan obsesi Hindu. Demikian Akbar S. Ahmed menawan sejarah dalam bingkai segitiga abadi. Mughal, sebuah kekaisaran besar di anak benua India, dan Delhi adalah pusat remote. Delhi adalah denyut dan sejarah jantung itu sendiri bagi Mughal. Dilanjut dengan Aligarh dengan sejumlah gerakan teosofi yang mempertemukan Barat dan Timur. Tarik-menarik antara syariat yang kaku dengan penempuh jalan spiritual yang flamboyan, menghias sejarah Mughal, sekaligus mengoyak.
Di Delhi ada Benteng Merah (Red Fort), dan di sebuah ruang agung (Diwan e-Khaas) terdapat ruang audiensi kerajaan, dipahat kata-kata; “Jika ada surga di bumi, maka di sinilah, di sini, di sini”. Kerajaan ini menjunjung dunia kreatif yang luar biasa. Vitalitas kreatif mendecak. Mereka sadar, bahwa hidup yang satu kali ini, harus meninggalkan monumen yang diingat, dikenang sepanjang zaman. Maka, berpadulah para pangeran, puteri kerajaan, pejuang, pengawal, seniman, penulis dan para penghuni istana, guru dan para cendekia yang gairah dalam gelombang dan ombak kreativitas. Peneraju tertinggi dan pemberi ilham (ekspirasi) dari kumpulan manusia kreatif itu adalah Kaisar. Enam Kaisar barisan utama mengalir darah Babar, sebagai pendiri dinasti ini tahun 1526. Delhi dalam genggaman. Mereka mengaku turunan darah Ghengis Khan dan Timer-Lenk (Taimur). Darah Babar itu sampai ke Aurangzeb yang wafat pada 1707.
Inggris masuk dan mengiris Mughal yang aduhai kreatif. Inggris mengganti Kaisar terakhir dengan figur yang satu selera dengannya. Kaisar terakhir itu adalah Bahadur Shah Zafar yang dibuang ke Yangoon (Ranggoon, Myanmar), lalu meninggal. Dikubur di sana. Dia yang malang adalah seorang Mughal dalam darah puitik dan penutup garis nasab Mughal di India. Mereka memperjumpakan kecerdasan, sajak, keberanian, puisi, kesalehan, cinta yang diungkap lewat tulisan. Kaum ini adalah pencinta buku dan literasi agung. Kado puitik yang ditulis untuk Shah Zafar berbunyi dalam bahasa Parsia; “Kitna hai naseeb Zafar, dafan key ley; do gaz zamin bhi na milli ko-e-yar mein” (Betapa malang Zafar, untuk penguburannya; bahkan dua jengkal tanah dusun yang dicintainya, pun dia tak dapat).
Pada era jaya, Mughal membuktikan bahwa kota-kota dan pasar memihak kaum muda. Kaum muda begitu gairah berkarya, mencari dan menempuh jalan spiritual. Tarik-menarik antara Islam tekstual dan ajaran Vedanta (yang lebih tua di tanah ini) memberi daya baru dalam “laman perenungan” tentang Tuhan, tentang “Yang Maha Satu”. Sebuah klaim masjid pertama di Delhi, bernama Quatul Islam (Daya Islam) adalah catatan sejarah yang saling tindih-bertindih; ketika tiang-tiang masjid itu mengelupas semennya, membayanglah gambar kepala gajah dan kembang teratai yang ada di Kuil. Di sini, secara historis Hindu menahan kejutan Islam (dan hebatnya Hindu dapat bertahan); dan misteri yang menjadi rahasia itu menurut Nehru, bahwa Hindu itu sintesis.
Maka, dalam sejarah Mughal, India, Pakistan atau Afghanistan terpercik sejarah bangsa Arya yang memiliki kekuatan dalam perenungan, permenungan dan radikalitas pemikiran atau pun spiritualisme; di satu sisi Islam formal-tekstual nan kaku, mengusung syariah dengan tegakan tongkat yang sejuk. Di sisi lain, terhidang hamparan saujana pengelanaan spiritualitas yang memukau lewat karya seni dan kecintaan Ilahiah (pertempuran antara Aurangzeb yang kaku tegas dan Dara Shikoh yang dianggap sinkretis). Juluran ke depan, anak benua ini mewariskan pemikiran agung lewat Iqbal. Dan, kenyataan ini dianggap sebagai momen kritis dalam sejarah Islam. Momen ini, terus berulang. Lalu Iqbal menyebutkan bahwa; “Momen kritis sejarah Islamlah yang telah menyelamatkan kaum muslimin dan bukan sebaliknya”.
Noor Jahan, permaisuri Jahangir yang menjadi nenek-buyut dari Aurangzeb dan Dara Shikoh jauh-jauh hari telah mengurai tentang sesuatu yang akan layu di kemudian hari. Noor Jahan yang berada di era puncak kegemilangan Mughal, sadar akan kenyataan di masa depan sebuah sejarah kelam dan hitam yang akan dilalui oleh zuriatnya, dan pudarlah cahaya dan kejayaan Mughal yang dipahat dalam larik dan bait-bait Parsi untuk Mosuleumnya yang sunyi, tak jauh dari Lahore: “Bar mazar ma ghariban ney chiragey ney guley; ney par parwana sozad ney sadaey bulbuley” (Di atas makam kami, yang miskin, tak ada nyala lilin, tak ada kuntum bunga; tak ada ngengat yang membakar sayapnya, dan tak ada nyanyian bulbul).
Mughal yang kokoh-kawi ini, marak gemerincing kehidupan spiritual, sinkretisme, kreativitas membuncah, menjalani fase puncak dan layu; dia berkelana dari sebuah puncak madinat al-tamma (negara ideal) menuju madinat al-naqisa (negara cacat). Kenapa ini terjadi? Obsesi yang menindih dan keinginan ditindih…
*Baca tulisan lain dari Prof Yusmar Yusuf di pranala ini: Kumpulan Tulisan Prof Yusmar Yusuf di Pojok Seni