Daftar Menu Aktor Amatir: Dari Zahir sampai Sir -->
close
Pojok Seni
08 December 2021, 12/08/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-12-08T00:00:00Z
ArtikelteaterUlasan

Daftar Menu Aktor Amatir: Dari Zahir sampai Sir

Advertisement


Oleh: Ridwan Hasyimi


Kata Suyatna Anirun, teater adalah memanusiakan ide-ide. Teater tidak pernah tidak berurusan dengan manusia. Se-kontemporer apa pun, teater tetap berujung tombakan manusia sebagai pengejawantahan gagasan. Dialah aktor, manusia yang “mengorbankan diri, mencoba menghilangkan karakter dirinya untuk menjadi orang lain.” Saking pentingnya aktor dalam ekosistem teater, Arifin C. Noer sampai berujar bahwa sutradara boleh mati, sementara aktor tidak. Bila aktor mati maka teater akan ikut mati. Bila teater mati niscaya masyarakat akan kesepian akan segera menjadi gila.


Karena demikian penting dan vital, menjadi seorang aktor tidak bisa ujug-ujug. Perlu serangkaian latihan demi menjadi seorang aktor yang baik. Ke-aktor-an bahkan telah menjadi salah satu cabang konsentrasi ilmu teater di kampus-kampus seni. Ia dipelajari secara sistematis dan metodis dengan standar ilmiah yang (konon) ketat. Kendati demikian, tidak selamanya mereka yang belajar menjadi aktor secara akademis otomatis menjadi aktor handal. Ada sekian lapisan hal ihwal keaktoran yang tidak cukup ditempuh dengan belajar di kampus. Menjadi aktor pada akhirnya belajar menjadi manusia. Oleh karenanya, ia dipelajari dari buaian hingga liang lahat.


Persoalan keaktoran ini—dan sekian persoalan lainnya—yang diketengahkan Ab Asmarandana dalam pertunjukan Aktor Amatir. Sabtu, 27 November 2021, pertunjukan ini lahir di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya sebagai bagian dari program Kibar Budaya Jilid VI dari Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya.


2 x 1 = ∞




Panggung adalah dimensi keruangan dari realitas teater. Ia bisa di mana saja, bisa berukuran berapa saja sejauh digunakan sebagai arena berlangsungnya pertunjukan. Aktor Amatir berlangsung di atas 2 x 1 meter. Ada lima susun level. Paling atasnya berwarna putih. Sisanya ditutupi kain hitam. Hanya itu dan tidak ada apa pun lagi kecuali itu. Set dibentuk oleh tujuh tubuh aktor: jadi kursi, meja, lampu operasi, sak semen, mayat, layar kapal, dan lain sebagainya. Latar peristiwa berubah seiring fragmen berganti. 


2 x 1 bisa menjadi apa saja, di mana saja. Tujuh aktor berganti-ganti peran, latar tempat dan waktu berganti-ganti, hanya di atas 2 x 1. Mereka tidak sendiri. Ada lampu panggung dan musik membantu mewujudkannya meski tidak selalu tepat. Formula ini mirip dengan apa yang terdapat pada pertunjukan wayang, golek ataupun kulit. Jagat (panggung) wayang golek hanya dua atau tiga batang pisang yang ditancapkan pada dudukan khusus. Jarak antara batang pisang ke dasar ditutupi kain hitam bertuliskan nama kelompok dan dalangnya. Itulah panggungnya. Di sanalah kahyangan tempat singgasana Batara Guru. Di sana pula keraton Hastinapura sekaligus Amarta, lautan tempat Bima menjumpai “dirinya”, hutan tempat para buta, tempat pertapaan, dan lain sebagainya. Ketika dalang murwa, menyebut latar babaknya di A, maka jadilah panggung itu A.


Bila dalang menuturkan latar tempat secara verbal, tidak demikian dengan Aktor Amatir. Aktor membentuk komposisi tertentu, jadilah 2 x 1 itu ambulan, rumah sakit, halaman masjid, gedung pertunjukan penuh jin, kapal, dan lain sebagainya. Sayangnya, beberapa komposisi bentuk nampak mirip meski ruang dan waktunya berganti. Pada titik ini peran efek suara dan musik menjadi vital. Ia bukan sekedar ilustrasi, melainkan penanda ruang dan waktu. 


Tidak semua pemain berada di atas level 2 x 1 meter. Ada seorang lagi aktor yang berada “di luar panggung”. Ruangnya bermain hanya selingkaran cahaya lampu zoom. Seperti posisinya yang di luar panggung, perannya pun seolah di luar cerita. Tokoh yang diperankan Mimi Nuryanti ini jadi semacam pemandu. Ia menerangjelaskan adegan yang baru saja terjadi kepada penonton sementara para aktor mematung. Pada lain kesempatan ia berbicara dengan aktor entah sebagai siapa. Di ujung pertunjukan ia memberi nasihat kepada para aktor: segeralah turun panggung dan ambil cuti peran seumur hidup. Teater itu berat, kelam, dan miskin. 


Katarsis dengan Alienasi 



Aktor Amatir bukan jenis drama yang linier dan kausalistik dari babak awal hingga pungkas. Ia terdiri dari 11 fragmen pendek plus beberapa adegan transisi sebagai jembatan perpindahan dari satu fragmen ke fragmen selanjutnya. Kendati seolah terpisah-pisah, namun terdapat penanda yang sama. Tiap fragmen selalu menyelipkan alienasi yang mematahkan struktur dramatik peristiwa. “Patahan” semacam ini umumnya dikenal dengan alienasi Brechtian: sebuah upaya untuk menjaga agar penonton menyadari bahwa mereka sedang menonton pertunjukan teater alih-alih larut secara emosional.  


Ketika alienasi, aktor menjadi dirinya sendiri. Pada teater tradisional, “alienasi” semacam ini umum ditemukan, bahkan menjadi salah satu ciri teater tradisi. Seorang patih dalam sebuah cerita berlatar kerajaan tiba-tiba pamit permisi sebab istrinya menelepon, misalnya. Seorang nyonya yang sedang bersedih lantaran ditinggal mati suaminya, tiba-tiba menyapa penonton dan bertanya apakah penonton ikut sedih atau tidak. Aktor bisa bolak-balik menjadi tokoh dan dirinya sendiri. 


Kendati nampak sama, apa yang digagas Bertolt Brecht dan yang dimiliki teater tradisi nusantara  adalah dua hal yang berbeda. Alienasi Brecht lahir sebagai “perlawanan” terhadap Aristotelianisme dalam teater yang berupaya menyedot penonton larut secara emosi dalam pertunjukan dengan tujuan mencapai katarsis. Brecht berpandangan bahwa hal demikian mematikan atau sekurang-kurangnya melemahkan nalar kritis penonton atas realitas sosial yang direpresentasikan di atas panggung. Ia ingin menggagas teater yang disadari sebagai “bohongan” oleh penonton. Tujuannya agar penonton berjarak dengan pertunjukan dan dapat memahami pertunjukan dengan nalar kritis. Dengan demikian, penonton secara sadar dan objektif (karena berjarak/asing/alienasi) mempersepsi persoalan dan tema dalam realitas panggung sebagai persoalan di kehidupan nyata (realitas faktual) alih-alih larut. Bentuk semacam ini cocok digunakan sebagai kritik sosial atau upaya dekonstruksi nilai. 


“Alienasi” dalam teater tradisi tidak bekerja dan bermaksud demikian. Bolak-baliknya aktor antara “aku-aktor” dan “aku-tokoh” di sana merupakan pengejawantahan dari konsep kosmologi yang ada di nusantara. Kendati tradisi nusantara menganut pembagian alam, namun tidak ada batas yang benar-benar rigid antar alam-alam tersebut. Ada penghubung—semacam axis mundi—yang memungkinkan terjadinya interaksi, bolak-balik. Tidak ada batas rigid antara realitas dan non-realitas dalam kehidupan. Tradisi nusantara memandang semua hal saling terkoneksi, baik yang tampak maupun yang tak tampak. Akhirnya, semua “ada” adalah satu. Dalam pandangan Barat, segala sesuatu nyaris bersifat dikotomis dan dualistik. Cara pandang ini mensyaratkan oposisi biner. Realitas panggung versus realitas faktual, misalnya. Dalam perwujudan teknisnya, pertunjukan drama realis kerap mengandaikan adanya dinding keempat, pemisah antara panggung dan penonton. Pemisahan ini harus terjaga. Peristiwa panggung berlangsung sebagai sebuah realitas yang terpisah dengan realitas di luar dinding keempat. Tradisi nusantara memandang bahwa realitas adalah kelindan. Saling tumpang tindih dan terkoneksi. Mana yang fakta dan fiksi bisa campur aduk. Realitas panggung dan realitas faktual, pemain dan penonton, bisa saling mengisi dalam waktu bersamaan. Pun demikian tragedi dan komedi, tangis dan tawa, serius dan canda, campur aduk jadi satu dalam sebuah lakon sebagaimana dalam kehidupan. Meski wujudnya nampak sama, alienasi Brechtian dan kelenturan teater tradisi berangkat dari dua hal yang lain sama sekali.


(Sebagian) penonton pertunjukan di Indonesia kerap memahami patahan (alienasi) sebagai trik komedi. Hal ini merupakan pengaruh dari nalar dan kebiasaan dalam teater tradisi yang diplesetkan tayangan lawak di televisi yang menggunakan patahan sebagai trik untuk “sebatas mengundang gelak tawa” tanpa makna mendalam. Namun, apakah gelak tawa otomatis berarti receh dan dangkal?


Abuy, sapaan Ab Asmarandana, meyakini tawa (komedi) bisa berpuncak pada katarsis. Namun, patahan yang dirancangnya tampaknya bukan dimaksudkan sebagai lawakan. Ia berusaha memfungsikan alienasi sebagaimana yang digagas Brecht. Bahkan ingin melampauinya. Bahwa penonton menerimanya sebagai lawakan, demikianlah karya seni. Penonton memiliki hak secara otonom untuk memproduksi makna atas karya seni bagi diri mereka sendiri. 


Makna Berlapis




Abuy menyebut bahwa pertunjukan ini diproyeksikan untuk para pegiat teater. Tema yang diangkat jelas terbaca dari judulnya, Aktor Amatir. Namun, bukan berarti penonton non pegiat teater tak bisa menikmati. Sebagai pertunjukan, Aktor Amatir renyah dan terkesan “ringan” bila istilah itu dimaknai lucu. Pada fragmen pertama saja, penonton sudah terbahak menikmati akting Ikhsan Jimat dan Kahfi Nurul Asror ketika mempersoalkan nama-nama jin penghuni gedung pertunjukan. Pun demikian akting Krismajayanti, Gunawan, Arini, Alfin, Mimi Nuryanti, dan Ridwan pada fragmen-fragmen lain, ada saja yang menggelitik urat tawa penonton.   


Pada lapis lainnya, mereka justru lugas mengetengahkan perdebatan klasik kesenian di Indonesia: karya versus administrasi, konsep versus intuisi, seniman akademis versus seniman alam, idealisme versus dapur ngebul, dan lain sebagainya. Lapisan lain bicaranya filosofis tentang hakikat bermain drama. Lainnya, spiritual-transendental. 


Kendati terdiri dari banyak cerita dan lapis berbeda, axis mundi-nya tetap tentang aktor: dari soal teknik pemeranan yang zahir sampai “buat apa main drama?” yang sir. Rachman Sabur, dosen teater cum sutradara Teater Payung Hitam, berkali-kali bilang bahwa ia serasa ditampar oleh pertunjukan ini. Bukan tamparan murka, melainkan sebentuk cinta. Aktor Amatir adalah otokritik atas kondisi teater di Tasikmalaya atau mungkin di Jawa Barat atau boleh jadi di Indonesia. Di kampus-kampus seni atau kelompok independen. Sekurang-kurangnya atas kondisi Ngaos Art sendiri sebagai sebuah kelompok teater dan para pelakunya. 


Menonton Aktor Amatir tak ubahnya membaca daftar menu di sebuah kafe. Ada sekian pilihan: tawa, tangis, belaian, ajakan, nasihat, refleksi-filosofis, spiritualitas, kritik, sindiran, dan lain-lain. Penonton punya hak penuh memilih menu mana yang hendak disantap. Bahkan bila ingin menyantap semuanya.

Ads