Advertisement
Beberapa waktu terakhir, jagad maya Indonesia dikejutkan dengan kasus bunuh diri seorang perempuan muda berinisial NW di Mojokerto. Kasus bunuh diri yang mencerminkan betapa buruknya penanganan kekerasan seksual pada perempuan di negeri ini. Sekaligus mempertegas betapa dampak dari lingkungan sosial yang katanya bermoral itu bisa membunuh manusia lainnya.
Ada banyak pendapat tentang bunuh diri yang diambil NW setelah berpuluh-puluh tikaman sosial menghujam tubuhnya. Sudah diperkosa, diminta aborsi, dituding sebagai perempuan yang tidak baik, laporannya ke pihak yang berwajib juga tak diapik. Ada jiwa-jiwa yang terlalu baik untuk kehidupan yang buruk, sehingga memiliki alasan untuk pergi. Seperti itu juga yang diambil oleh NW, setelah depresi berkepanjangan.
Seseorang menjadi berani mengambil keputusan untuk menjemput sendiri kematiannya, menimbulkan pertanyaan sejak ribuan tahun silam. Apakah sebenarnya yang mereka inginkan, benarkah mereka ingin meninggalkan dunia yang sudah terlalu kejam pada dirinya?
Untuk itu, kita kembali ke sebuah konsep tentang bunuh diri yang dibuat dan diperkenalkan oleh Albert Camus. Manusia memikirkan apakah hidupnya sudah terlalu tak berharga untuk diteruskan, atau lebih baik diakhiri sebelum terjadi hal lain yang lebih buruk. Tentunya, pertimbangan tersebut bisa saja melibatkan emosi yang sesaat, tapi di sisi lain ada juga yang sudah melakukan pertimbangan yang sangat serius. Karena itu, perkara bunuh diri menurut Albert Camus adalah suatu problem filosofis yang serius.
Bisa jadi bunuh diri tersebut dikarenakan berbagai faktor, namun sejatinya bunuh diri adalah murni keputusan individu. Hal itu bukan terkait dengan persoalan sosial. Bicara masalah sosial, maka kita akan berbicara tentang interaksi manusia dengan lingkungan sekelilingnya. Maka bicara bunuh diri, berarti manusia ingin melepaskan dirinya dari interaksi tersebut. Apakah bisa berarti lingkungan sosial itu yang terlalu buruk? Juga belum tentu.
Kompleksitas manusia menjadikan banyak hal terkaitnya menjadi sangat rumit. Manusia takut mati, juga takut kehilangan pengalaman hidup. Tapi sekaligus, ada banyak juga manusia yang ingin pergi dari kehidupan, dan tidak takut mati. Karena itu, banyak juga manusia yang memilih "bunuh diri dengan sukarela".
Hal itu disebabkan karena manusia sudah terlalu capek berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Sudah merasa dirinya tak berguna, serta mungkin penderitaan yang datang terus menerus tanpa henti. Maka bunuh diri membuat dirinya menjadi "ada", karena sebelumnya lingkungannya tidak merasa apakah dia "ada". Bunuh diri menjadi penegas bahwa selama ini (sebelum bunuh diri), dirinya memang nyata, bukan semacam fatamorgana di tengah lingkungan sosialnya.
Terpenting, penyebab bunuh diri yang paling utama ialah, manusia tersebut sudah tidak memiliki alasan apapun lagi untuk meneruskan kehidupannya. Bunuh diri dianggap sebagai jalan untuk mendapatkan kebebasan. Setidaknya, itu merupakan jalan paling "cepat" untuk bebas dari penderitaan dan pengaruh buruk dari lingkungan sosialnya. Entah apakah seseorang tersebut berpikir ada kehidupan setelah kematian, atau justru hanya jadi debu, terpenting misi pertama mereka adalah kebebasan. Manusia bebas untuk hidup, maka dari itu manusia bebas untuk mati.
Bicara tentang kebebasan, maka kita pada akhirnya bermuara ke pemikiran Jean-paul Satre. Satre yang menegaskan bahwa kebebasan bagi seorang manusia sifatnya mutlak. Tanpa kebebasan, maka manusia tidak akan mendapatkan eksistensinya. Atau, kalaupun ada, maka eksistensinya menjadi absurd.
Karena itu, pemikiran Sartre seakan mempertegas bahwa manusia boleh memilih apapu yang dia mau. Boleh memilih hidup, juga boleh memilih mati. Namun, mati adalah hal yang membekukan eksistensi. Mati adalah sesuatu yang mengakhiri eksistensi manusia. Jadi, seakan-akan tersirat bahwa manusia memang bebas, tapi bukan untuk memilih maut. Karena maut akan mengakhiri kebebasan mereka.
Jadi bagaimana? Kita bebas, tapi tidak bebas untuk mati? Kembali lagi ke Camus, maka jawabannya adalah, yah! Anda bisa melakukan apapun, kecuali bunuh diri. Karena dengan bunuh diri, Anda sudah menegaskan bahwa kehidupan yang berantakan dan absurd ini sudah berhasil menang atas diri Anda.
Seperti Camus katakan, bahwa kita "menerima namun tidak menyerah". Sebagaimana ketika kita berkaca di depan cermin, kita melihat diri kita sendiri. Saat itu, kita menerima diri kita sepenuhnya, latar belakang keluarga kita, dan lingkungan sosial kita. Namun, kita tidak menyerah dengan apa yang sudah "terlanjur" terberi pada diri kita, tanpa kita minta. Kita diberikan nama oleh orang tua, tanpa bisa memilih sendiri nama yang kita inginkan. Kita terima itu, namun kita akan membuat nama tersebut menjadi lebih punya makna.
Kehidupan ini absurd, maka itu penuh dengan jebakan, plot twist, dan penderitaan. Tapi juga penuh dengan kebahagiaan, dan keindahan. Maka kita akan terus memaknai diri kita sendiri. Salah satu caranya adalah dengan tetap menjaga eksistensi diri kita. Ada banyak cara untuk tetap menunjukkan eksistensi diri kita sebagai manusia, tapi yang paling utama adalah, tetaplah hidup.