Membaca Situasi Lampung: Ketika Seniman Memboikot Taman Budaya -->
close
Pojok Seni
29 November 2021, 11/29/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-11-29T00:00:00Z
ArtikelBudaya

Membaca Situasi Lampung: Ketika Seniman Memboikot Taman Budaya

Advertisement

PojokSeni.com - Sejumlah elemen yang terdiri dari seniman, komunitas seni, budayawan, UKM kesenian, hingga organisasi kepemudaan di Lampung bersatu dan membentuk Forum Peduli Pemajuan Kebudayaan Lampung (FPPKL) pada tanggal 25 November 2021 silam. Pertemuan forum tersebut pertama kali diadakan di PKM Universitas Lampung dengan koordinator pertemuan Alexander GB, aktor di Komunitas Berkat Yakin (KOBer) Lampung.


Sejauh yang terlihat, pertemuan dan pembentukan FPPKL tersebut bermula dari gejolak yang terjadi di sosial media, ketika terdengar seruan sejumlah seniman dan budayawan Lampung untuk memboikot Taman Budaya Lampung. Institusi yang (semestinya) mewadahi kegiatan, proses, hingga produk kebudayaan di Lampung tersebut dinilai sudah tidak berpihak, bahkan telah terjadi degradasi pada visi dan misinya.


Koordinator pertemuan dan pembentukan FPPKL, Alexander GB pada hari Minggu (28/11/2021) lalu membalas pesan WA dari penulis. "Kita mulai kembali gerakan moral dari berbagai elemen untuk kemajuan kebudayaan di Provinsi Lampung," kata GB.


Sebelumnya, sutradara dan direktur eksekutif KOBer Lampung, Ari Pahala Hutabarat menyerukan pemboikotan terhadap Taman Budaya Lampung lewat sosial media. Dikatakannya, meski secara personal memiliki hubungan yang baik dengan Taman Budaya, namun ia perlu berbicara tentang ketidakpedulian, ketidak berpihakan, serta tidak adanya dukungan dari Taman Budaya terhadap proses kreatif para seniman di Lampung, khususnya seni teater.


Bagian pertama yang disoroti oleh Ari Pahala adalah sewa Gedung Teater Tertutup (GTT) Taman Budaya yang nilainya sekitar Rp3 jutaan per hari. Bahkan, sambung dia, ada grup teater yang membayar lebih mahal dari itu. 


"Jadi, sebenarnya untuk apa dan untuk siapa gedung itu dibangun? Apakah memang untuk mencari tambahan PAD? Semestinya, produk budaya justru harus difasilitasi, komunitas yang mau pentas, didukung dan dibantu biaya produksi, juga digratiskan menggunakan gedung pertunjukan," kata Ari Pahala.


Bagian kedua adalah tidak adanya kegiatan teater yang benar-benar bermutu digelar oleh Taman Budaya Lampung. Hal itu sangat berlawanan dengan apa yang terjadi di Indonesia, atau setidaknya Sumatera hari ini. "Ada Pekan Teater Sumatera yang ditaja Taman Budaya Sumatera Barat, ada Temu Teater Sumatera oleh Taman Budaya Jambi, sampai teranyar ada Festival Teater Sumatera oleh Taman Budaya Sumsel. Acara tersebut adalah penghargaan untuk penggiat dan pelaku seni teater, sedangkan Lampung belum memiliki kepedulian yang sama," sambung Ari Pahala.


Selain Ari Pahala, seorang Networker Kebudayaan, Halim HD juga menulis artikel berjudul Degradasi Taman Budaya. Dalam artikel tersebut, Halim HD mencoba merunut dan merefleksi kembali sejarah berdirinya Taman Budaya di seluruh Indonesia. Salah satu yang menarik adalah pemilihan kata "Taman" pada Taman Budaya yang ditujukan agar Taman Budaya mampu menjadi "ruang publik" sekaligus "ruang laboratorium" bagi setiap peristiwa kebudayaan.


Maka Taman Budaya didesain sebagai sebuah "art centre" yang bukan sekedar "showroom" bagi karya, tapi juga sebagai laboratorium untuk setiap seniman melakukan eksplorasi, eksperimentasi, kerja kolaboratif antar disiplin, penciptaan karya-karya baru, sampai akhirnya ke tahap evaluasi. Karena itu, "taman" yang dimaksud melibatkan lebih banyak elemen, mulai dari praktisi, publik penikmat, hingga akademisi yang menjadi sebuah ekosistem bernama "pergaulan kreatif".


Dari refleksi itulah, Taman Budaya semestinya menciptakaan jejaring antar seniman, komunitas, lembaga kesenian, dan berbagai elemen lainnya. Halim HD memberi contoh bagaimana Murtijono (Alm) mantan Kepala Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Solo melakukan debirokratisasi, dan membebaskan seniman untuk menggunakan fasilitas Taman Budaya tanpa biaya, karena sudah diberi bantuan dana dari pemerintah.


Namun melihat apa yang terjadi di Lampung, Halim HD miris melihat apa yang menimpa seniman setempat. Tarif sewa GTT yang terlalu mahal membuat banyak grup tak mampu menyajikan produk artistik mereka. "Informasi yang saya baca di media sosial juga menyatakan bahwa penggunaan fasilitas oleh kaum seniman justeru dikenakan biaya yang lumayan tinggi, sehingga grup-grup kesenian tak mampu menyajikan karyanya di TB Lampung," tulis Halim HD.


Padahal, sebenarnya bila merujuk pada visi dan misi Taman Budaya, salah satu poinnya adalah memastikan kualitas dan kuantitas produk artistik di daerah tersebut tetap meningkat dan bertumbuh. Sekarang, boro-boro mau meningkatkan kualitas, sedangkan meningkatkan kuantitas pun juga sulit dilakukan karena biaya sewa yang lumayan tinggi. Halim HD menulis bahwa UU Pemajuan Kebudayaan sudah dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah (dalam hal ini UPT Taman Budaya dan instansi terkait) wajib untuk menyelenggarakan fasilitas kegiatan senibudaya. Maka, bila pengelola TB Lampung meminta biaya yang tinggi pada seniman, itu berarti sudah melanggar UU Pemajuan Kebudayaan. Padahal, UU tersebut diresmikan di Kongres Kebudayaan Nasional yang juga dihadiri oleh perwakilan (kepala dan staff) Taman Budaya dari Aceh sampai Papua.

Ads