Advertisement
Oleh: Prof Yusmar Yusuf
Sebuah dunia yang berisi orang-orang yang tak sabar menanti masa depan. Menukil masa depan dalam sejumlah kecerobohan. Perilaku yang bisa dialamatkan sebagai “memintas” masa depan. Masa kini yang tengah dijalani ini, bak sebuah tong kosong (gentong) yang harus diisi dengan sejumlah muatan kekinian. Setelah terisi dengan kemas, rapi, penuh dengan segala pernak-pernik kebudayaan, maka inilah modal untuk menjalani fase selanjutnya; walau bayangan. Masa depan sebagai kehadiran yang dilaksanakan dalam tabiat-tabiat kekinian. Derrida mengalamatkan kenyataan ini sebagai “dunia yang tunggang langgang” (runaway world). Sebuah dunia yang jauh dari tangkapan kita, melar dari jangkauan. Masa depan yang dihenti, masa depan yang dibengkokkan, berisi carut-marut tak menentu; dunia bak asbak rokok berisi puntung bersilang, bertumpuk, bertindih dan mendebu. Sesak.
Kita dan dunia yang tunggang langgang itu. Kita tak dapat lagi menyimak, menyibak, memilah dan memilih mana intan, gemala, buntat dan mana loyang. Semua tampil bak mustika. Dia dikemas dalam tampilan serba detik, serempak dan menyerbu ke ruang-ruang privat. Bisa dalam bentuk informasi pendek, wacana “kawanan” (band), semisal WA Group, BBM Group dan sejenisnya (social media). Dia tampil bak tradisi literasi, padahal sejatinya tak lebih dari perpanjangan tradisi orality (lisan); tradisi ngoceh, tradisi bual dan ngomel lisan yang ditrans-mutasi seolah-olah literasi. Sebab, dalam keserempakan, segala orang bisa diterpa (exposure) oleh info-info sejenis, info beragam, info yang benar dan tak sedikit pula gunungan hoax.
Kita tengah berdepan dengan bangunan kebudayaan massal yang hormat pada kebingungan, hormat akan agenda massa, penetrasi massa, takjub dengan segala ihwal pembodohan. Dalam sebuah dunia yang tunggang langgang, masyarakatnya memang rentan untuk mengkonstruksi kebohongan yang diulang-ulang, yang lama kelamaan akan menjadi “kebenaran bersama” (kolektif). Maka, timbul pertanyaan berikutnya; apa jadinya sebuah kebudayaan yang berdiri di atas fondasi kebohongan?
Dunia yang tunggang langgang, tak memerlukan orang-orang berprestasi. Dunia jenis ini seolah-olah hanya melayani syahwat dan nafsu “revolusi”. Karena di dalamnya terkandung semangat memintas (turn back); tak sabar menjalani lebuh raya dengan seperangkat aturan demi keselamatan bersama, untuk sampai ke tujuan bersama. Revolusi dengan jalan memintas itu, selalu dibalut sejumlah dusta.
Dari mana ini semua bermuasal? Dari sebuah “rumah” bernama kemiskinan. Rumah ini amat riuh dan bising, berisik oleh bebunyian, tradisi lisan yang hanya melayani puncak nikmat dalam hal berkisah dan bercerita. Capaian masyarakat kebudayaan tinggi, seseorang semakin terhormat, kala dia lebih banyak diam. Orang yang banyak bicara, banyak bual, dalam kebudayaan ini selalu diletakkan pada “kasta” lebih rendah sedikit. Manajemen yang maju dan terukur, bukan dilihat dari banyaknya ucapan dan bual sang manajer. Manajemen maju, diatur oleh seperangkat kode etik dan aturan perilaku (rule of conduct). Di sini, irit bicara, semakin terhormat. Maka, makhluk yang paling banyak bicara dalam dunia nyata tak lain adalah kanak-kanak dan kaum perempuan (uuppps.. maaf, agak bias gender sedikit).
Mentalitas dua kelompok inilah yang paling rentan atas segala info berpembawaan lisan dan kelisanan (atau lelaki yang bermental ini). Sejatinya, kelisanan tak pula berjalan seiring dengan kemiskinan. Namun, kemiskinan selalu dibungkus oleh kelisanan. Kebudayaan tinggi itu, telah menitipkan dirinya dan segala perkakas juga rahasianya kepada tradisi literasi. Lancung nitip pada tradisi literasi. Walau, Plato berujar, bahwa penemuan aksara adalah skandal terbesar peradaban manusia demi menutup kebenaran. Tersebab bawaan manusia itu selalu lupa, maka manusia menitip segala pesan, aturan, hukum dan acuan perilaku ke dalam huruf-huruf, ke dalam aksara yang dijahit-jahit sehingga menjadi teks dan wacana. Dari sinilah bangunan kebenaran itu muncul dan menggergasi. Lebih rancak lagi, peradaban literasi ini, mengenal “banking system” (atau filling system); segala dokumen dan arsip disimpan sebagai notis perjalanan sebuah peradaban dengan segala capaiannya. Kini, tahap penyimpanan itu sudah masuk pada era online (ingat “google drive”).
Tersebab media online ini pula, tradisi kelisanan dan tradisi literasi itu bersua dalam sejumlah pertandingan. Kaum bawah dipermainkan oleh kaum elit dalam sejumlah info hoax dan gunungan ujaran kebencian. Bangunan ini terus memuncak dari hari ke hari. Dia menjadi sesuatu yang menggetarkan. Sebab, segala bentuk hoax itu (tradisi lisan) bisa didepositokan dalam “sistem penyimpan” seumpama “google drive” tadi. Suatu ketika bila diperlukan, dia bisa diundang kembali, sesuai dengan keperluan dan kehendak sebuah zaman (masa depan). Dunia yang tunggang langgang itu bermukim hangat di dalam “rumah kemiskinan”. Bahwa “kemiskian membuat orang meninggalkan kebenaran: kantong kosong sulit ditegakkan”, ujar tokoh Robinson, dalam novel mungil “Vendredi ou la Vie sauvage” dari Michel Tournier.
Di dalam dunia yang tunggang langgang itu, kita seakan didorong menjadi makhluk yang berhutang kepada waktu, kepada detik. Kita membangun hutang ke atas waktu, karena kita ceroboh mengenderai waktu. Kita mudah dihasut untuk melayani nafsu memintas, nafsu memotong jalan lurus dalam format zig zag (sebuah gerakan yang tak diperlukan dalam kondisi yang serba normal). Menjadi sekelompok orang yang membangun mental memintas jalan, tak hormat pada mental antrean. Lebih mengedepankan mental crowding (kerumunan). Kebudayaan, tak akan tinggi dan tak akan kreatif jika dilayani oleh sejumlah mental berprilaku kerumuman. Dalam kerumunan, akal sehat tak berfungsi. Kerumunan, menggemburkan amarah, mudah terpicu, meledak, mengamuk, termasuk desakan untuk berbohong. Tournier menambah satu lagi; “Jika dosa kedua itu adalah berbohong, maka yang pertama itu adalah berhutang, karena dusta disebabkan oleh hutang”. Dalam dunia yang tunggang langgang, kita tak kan mampu mencicil hutang...