Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling Jakarta
Email: pusparudolf@gmail.com
Sanggar Senyawa Curup pada hari ke 25 parade monolog nasional pelaku teater Indonesia tampil di urutan ke 26 tanggal 10 September 2021 membawakan monolog karya Samuel Beckett “ A Piece of monologue” (Sepotong monolog) dengan sutradara Adhyra Irianto dan dimainkan aktor Ikhsan Satria Irianto.
Samuel Beckett seorang penulis sastra postmodernisme dan di kegiatan teater penulis drama absurd yang juga sutradara. Lahir 13 April 1906 di Focrock Dubin Irlandia dan wafat di Paris 22 Desember 1989. Dalam karier berkesenian mendapat penghargaan nobel kesusasteraan 1969. Masih banyak juga menerima penghargaan khusus drama. Kelahiran drama absurdnya mengusung pesimisme kehidupan yang terkesan akut atas hasil renungannya bahwa hidup ini tak memiliki tujuan yang jelas. Maka kehidupan sosial dan individu sebenarnya tak memiliki arti apapun. Dari sanalah kemudian lahir teater absurd. Sebuah perlawanan terhadap teater realisme yang sedang berkembang saat itu. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa sehari-hari yang sederhana yang terkesan anti plot, tidak logis bahkan tanpa konflik. Ia disebut penulis drama yang berani melawan pakem-pakem teater.
Beckett mencoba memperlihatkan kemungkinan dua diri ada secara bersamaan. Bagi aktor tentu ini sebuah tantangan yang menarik untuk bermain kapan menjadi diri dan orang lain. Ia bicara yang datang dan yang pergi dan hal itu diterjemahkan sebagai kelahiran dan kematian. Kelahiran yang datang bersama dengan kematian merupakan satu penderitaan sepanjang masa dalam menunggu ketidak pastian. Perbincangan yang sangat kuat hingga justru pada akhirnya menimbulkan prasangka buruk dari desakkan kekuatan rasa pesimistik. Pemikiran2 absurd inilah yang tak ada habisnya dikunyah dimuntahkan dan berulang sepanjang masa. Berulang dan berulang hingga hanya berputar putar untuk mencoba melawan kenyataan dalam menunggu datangnya yang pergi yakni kematian.
Aktor dari sanggar teater senyawa Ikhsan Satria Irianto yang duduk sepanjang pertunjukkan di kursi sambil minum miras hingga habis sebotol yang menjadi simbol yang pergi telah berusaha menjadikan dirinya dua diri yang ada bersamaan. Lancar dan expresif dalam memainkan karakter sang peran monolog “sepotong monolog”.
Tentu minuman yang membuat peminumnya mabuk sedikit banyak akan menjadikan si peminum semakin lama akan berada dalam keadaan ringan tubuhnya melayang bagai kapas diterbangkan angin yang berputar. Semakin melayang ringan akan mendorong gerak alat2 tubuhnya, warna suara serta lagu bicaranyapun menjadin tidak realistik lagi. Bagi peminum miras pasti tau betul keadaan seperti ini tanpa perlu berlatih karena memang mabuk tidak ada tuntuttan untuk berlatih. Ia datang dan pergi sepanjang keadaan mabuk menguasai tubuh manusia. Dalam hal ini mabuk miras karena mabuk yang lain seperti asmara, misalnya tentu saja akan menjadi beda ujutnya walau dalam hal terbuai sesuatu mimpi bisa menjadi dasar pijakan absurditasnya. Atau mabuk yang lain yang banyak bisa dilihat secara kasat mata yakni “mabuk kekuasaan” yang bisa masuk kategori absurd.
Tantangan bagi aktor dalam memerankan peran sepotong monolog ini dibutuhkan adanya kesadaran penuh hingga expresi dari kemabukkan akan tetap terasa seperti nyata namun secara bersamaan juga berada dalam kesadaran bahwa aktor ditonton. Dalam hal ini sering aktor terjebak sehingga hanya fisik yang diatur seperti mabuk sementara inti dari seni acting yakni rasa menjadi hambar. Terutama tampak jelas ketika berdialog. Semakin kuat mabuknya maka “lagu” dialognya tentu logikanya akan semakin bergoyang menari hingga tampak tidak “waras” yang akan tertampil melalui expresi wajah dan menjalar ke seluruh tubuh aktor. Namun justru dalam keadaan inilah permainan akan tampak berhasil menyampaikan simbol-simbol Beckett yang didendangkan yakni “datang dan pergi”, kelahiran dan kematian yang berlangsung sepanjang hayat hingga terjadilah apa yang disebut hidup yang hanya berputar-putar saja.
Yang kurang tertangkap oleh penglihatanku dan perasaanku adalah suasana dari gradasi mabuk yang logis akan tertuang secara fisik dalam tubuh yang melayang. Akan menjadi banyak keanehan secara fisik dalam menggerakkan tangan, bibir, mata yang membuat berdialogpun juga mewujut bentuk2 aneh yang justru inilah keunikannya yang mengikat dan memikat penonton. Sehebat2nya batin yang marah, protes namun tubuh yang sedang mabuk pastilah tak akan memiliki power yang sekuat orang yang tidak mabuk.Dalam permainan aktor pada peristiwa inilah tampaknya masih perlu lebih banyak berlatih sehingga takaran emosi yang berada di dataran mabuk miras akan menjadi lebih terasa dua keadaan diri yang berbeda berada dalam kebersamaan; seperti apa yang dimaksud Beckett yang absurd.
Kesadaran sutradara dalam mengolah gagasan2 tentang absurditas Beckett sepertinya perlu juga untuk melayang dan menyelami absurditas diri sendiri sehingga menemukan bentuk tontonan teater absurd. Bukan berarti hanya menciptakan kesibukan untuk beraneh aneh namun semua keanehan yang timbul memiliki fondamen yang kuat yakni sutradara sedang menciptakan sebuah tontonan teater. Tidak peduli apakah dipanggung atau secara virtual. Dari segi permainan kamera telah tampak tidak banyak mengatur close up, medium atau full shoot. Pemain yang statis hanya duduk di kursi tanpa pernah beranjak menguntungkan bagi kameramen untuk juga mengikuti alur yang juga statis. Maka setidaknya aku merasakan dan melihat karya anda adalah karya panggung. Lebih menguntungkan lagi dapat jelas menonton expresi wajah pemain yang jika di panggung dari duduk dikursi baris kelima saja sudah kurang jelas acting wajahnya. Oleh karenanya aktor di panggung memiliki daya takar yang penting dalam pembesaran acting2nya agar penonton merasakan apa yang sedang terjadi dalam pergulatan batinnya yang tak tampak dari wajah karena jarak yang jauh.
Salam jabat hormatku kepada teman-teman teater Senyawa Curup yang cukup membanggakan dalam kerja keras kalian membawakan absurditasnya Beckett ke bumi Nusnatara tercinta. Selanjutnya pasti akan bermanfaat bagi kerja menggali mencari hingga menjadi bahan olahan absurditas dalam negeri yang tidak kalah hebatnya. Tahniah.
Di setiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat merdeka berkarya.
Padang 11 September 2021.