Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling Jakarta
Email: pusparudolf@gmail.com
“Zamrud Khatulistiwa” karya Putu Wijaya menjadi pilihan sutradara Igoy KM dengan pemainnya Yogie S Karmas produksi Teater Seba (seni berbagi) Jakarta. Urutan ke 31 hari ke 30 tanggal 15 September 2021 sebagai acara penutup pamonaspati 2021.
Putuwijaya sangat simple menyampaikan pesan bahwa jika untuk mencintai memiliki unsur yang paling cantik. Permasalahannya adalah pembuktian bahwa negeri zamrud khatulistiwa dimana kita dilahirkan dan dibesarkan memang layak mendapatkan cinta karena memiliki kecantikan yang paling. Melalui peran kupu2, matahari, malam kelam, hutan mendapat lemparan pertanyaan siapa yang paling cantik. Semua jawaban mengecewakan sang kupu. Karya yang cukup memantik kejelian sutradara dan aktor untuk memvirtualkan sehingga sampai ke penonton.
Sang sutradara bung Igoy KM memberikan ruang expresi yang kaya bahan untuk membantu sang aktornya melahap dan menjadi ruang imajinasi atas tangkapan isi naskah bersama dengan tafsir sang sutradara. Barangkali pertanyaan kecil saja tentang peletakkan bendera merah putih menjadi kurang menyatu dengan tata ruang yang lebih kuat menampilkan tumbuh2an. Kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan expresi sang peran yang mencintai merah putih tentu perlu lebih ditata yang memiliki alasan kuat kenapa berada disitu. Demikian pula lentera tergantung yang cukup menarik sebagai benda yang paling beda. Secara keseluruhan tak ada salahnya dan hidup matinya tata ruang tentu akan ada pada sang aktor.
Bung Yogie S Karmas memiliki daya tampung yang kuat dari seluruh isi naskah. Terasa tiap kata dan kalimat adalah lahir dari tafsirnya tentang cerita Zamrud Khatulistiwa. Barangkali karena ruang yang sempit membuatnya irit dalam bloking2nya atau memang itu arahan sutradara. Ini menjadi satu tantangan aktor untuk menampilkan expresi yang luas sehingga kesempitan ruang jadi tak terasa. Boleh dikatakan sah saja mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ada bangku termanfaatkan untuk duduk dan lalu berdiri lalu duduk lagi. Pengulangan acting sebaiknya tak lebih dari dua kali karena melemah motifnya.
Sebagai pencerita sudah enak dinikmati hingga meresap jalannya cerita. Gesture tangan yang perlu lebih diperhatikan agar menjadi kaya. Dari awal hingga akhir gerak tangan hanya naik dan turun yang sama. Bahkan ketika berganti peran juga tetap saja gesture tangan sama saja. Sudah umum dalam hal tangan sering aktor justru kesulitan menggunakannya. Padahal dalam hidup sehari2 mengalir saja bebas dan tepat. Salah satu latihannya adalah ketika berdialog coba lihat gerak tangan; dengan dilihat terus menerus maka tangan akan merasa mendapat perhatan sehingga setiap perubahan gerak akan disadari. Jika bicara sambil tangan naik satu atau keduanya lalu kalimat selesai lalu turun seperti selesai tugas maka jika mengucapkan kalimat selanjutnya maka tangan akan naik lagi lalu turun lagi. Aku yakin hal ini pasti tidak disadari telah melakukan hal seperti itu. Cobalah ketika satu kalimat selesai maka tangan jangan turun. Gunakan untuk mendukung kalimat selanjutnya. Begitu seterusnya maka akan kaya sekali gerak tangan.
Kesadaran memainkan beberapa peran sudah bagus. Dengan sedikit mengubah suara, mengubah arah pandangan. Hanya masih saja gesture yang dilakukan serta tempo, timing, emosi masih tak berubah. Itulah kesulitan terbesar dari bermain monolog yakni bagaimana mengubah 36 derajat seluruh acting tubuh yang dilakukan sangat cepat. Kalau pernah memperhatikan dalang wayang kulit atau golek ketika ngomong wao bentuk wajah, leher miring kemana, mendongak, menunduk yang semuanya ditujukan agar warna suara berubah dan mau tidak mau penguasaan tempo dan sebagainyapun terbawa. Minimal bisa empat suara saja sudah hebat; misalnya sopran, alto, tenor dan bas. Kalau ingat dalang berapa ratus anak wayang yang harus dia mainkan berbeda2 karakter dan dilakukan sangat cepat. Pada waktu anda memainkan kelam dengan warna suara dan gaya dialog Bima tokoh wayang pandawa itu sudah bagus; sayang full back sehingga tak tampak expresi wajahnya.
Irama adalah perubahan dari saat ke saat dari awal mulai pertunjukkan hingga selesai. Irama sangat menentukan pertunjukkan memiliki daya pikat sehingga yang menyaksikan hanyut bersama alunan irama yang dibangun pemain. Konflik2 yang terjadi antara kupu dengan matahari, kelam, dan lain2 akan semakin kuat dan memuncak pada kesimpulan bahwa yang tercantik adalah negeri zamrud khatulistiwa. Jika tepat mengatur gradasi irama pasti klimaks ini terasa menjadi satu kejutan yang tak terduga sebelumnya. Sesuatu yang mengejutkan justru yang akan rekat menempel di hati sehingga akan terbawa pulang jadi bahan renungan dan itulah karya seni pada umumnya dan teater pada khususnya.
Selanjutnya ketika problem teknis bisa teratasi maka sejauh mana atau sedalam apa pemain memiliki karakter yang dimainkan. Benarkah pemeran sebagai pemain atau sebagai dirinya memiliki pandangan yang tercantik adalah merah putih? Punyakah rasa cinta pada merah putih? Gelora yang sangat penuh degup derap jantung menguat ketika menyanyikan lagu mars yang berisi tekanan cinta pada tanah air. Segemetar apa tangan dan seluruh tubuhnya ketika mencium merah putih? Semua itu akan terasa jika memang sang aktor memiliki rasa yang kuat dan terexpresikan di panggung. Salam jabat kreatif bung Yogie S Karmas.
Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat merdeka berkarya.
Jakarta 16 September 2021.