Catatan Pamonaspati 2021: Wajan oleh Teater Sendiri Kendari, Sulawesi Tenggara -->
close
Pojok Seni
29 November 2021, 11/29/2021 02:00:00 PM WIB
Terbaru 2021-11-29T07:00:00Z
Resensiteater

Catatan Pamonaspati 2021: Wajan oleh Teater Sendiri Kendari, Sulawesi Tenggara

Advertisement


Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling Jakarta

Email: pusparudolf@gmail.com


“Wajan” karya dan sutradara serta dimainkan sendiri oleh Achmad Zain dari Teater Sendiri Kendari Sulawesi Tenggara telah berlangsung 15 September 2021 dalam kegiatan penutupan pamonaspati urutan ke 33 yang artinya terakhir.


Achmad Zain menulis sekaligus menyutradarai dan sekaligus pula menjadi pemain utama yang memang cuma satu karena ini monolog. Ide gagasan yang cukup menjanjikan sebuah pertunjukkan dari luapan batin atas kekecewaannya terhadap adanya kepalsuan hidup yang terus saja berlangsung seperti tiada akhir yang barangkali hanya Yang Maha Kuasa yang memiliki jawabannya yang mutlak. 


Achmad Zain menuangkan isi batinnya melalui olah gerak tubuhnya yang sudah siap menjadi alat yang lengkap bagi penyampaian kegalauannya, pertanyaan2nya, kepastian2 pikirannya yang sesekali terucap hanya satu kata “kepalsuan”. Bahasa tubuh memang begitu kuat karena tubuh sangat sulit untuk melakukan kebohongan2 publik. Oleh karenanya kepiawaian yang dilatihkan pada seorang intelejen adalah kemampuannya membaca bahasa tubuh. Aku terbawa kealam lika liku gerak tubuhnya yang tertata indah hingga sampai pada penggorengan atau wajan besar dimana Achmad Zain menggoreng dirinya, pikiran2nya dan juga kepalsuan2 yang ada disekitarnya. Sangat enak menangkap pesan2 melalui simbol2 yang telah disiapkan di ruang expresi seperti payung, wajan besar dan kecil yang berisi air dan juga cat warna sehingga dicipratkan hingga diguyur dari kepala keseluruh tubuhnya. Tetap hanya satu kata yang diucapkan “kepalsuan”.


Angin semilir membawa letupan, cubitan, elusan yang menyapa batinku terasa sebuah ketukkan besar mencari jawab tentang “kepalsuan”. Bahwa hidup ini hanya dilingkari, didandani, disuport, didera dan akhirnya dihujani oleh kepalsuan2 dengan berbagai cara menggorengnya agar tidak terlihat atau terasa sebagai kepalsuan. Satu kalimat saja namun sudah mencakup luasnya samudra pergulatan konflik kehidupan yang terus menerus bercocok tanam kepalsuan sehingga menjadi selimut kehidupan tanpa disadari bahwa itulah kepalsuan.


Namun sebagai manusia sering terjebak oleh perasaan kurang puas untuk diam sehingga nafsu bicara pun meluncur begitu renyah yang sebenarnya tak perlu. Terasa hanya untuk menjelas2kan tentang apa yang termasuk kepalsuan. Mata, telinga, mulut, hidung, gigi dan banyak lagi yang justru memperlemah expresi tubuh yang sudah terbangun menuju klimaks. Penulis naskah sekaligus sutradara dan pemain sepertinya kurang percaya bahwa bahasa tubuhnya sudah melaksanakan dengan baik. Sang aktor sudah menuruti arahan sutradara dan tafsir sutradara terhadap naskah sudah tepat. Ide besar sang penulis dapat ditangkap sejak awal bahwa kepalsuan adalah lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. 


Sebagai penonton tentu saja merasa diintervensi imajinasiku oleh serentetan kata kata yang mungkin bagi penulis diperlukan. Permainan sudah mengawang di ruang imajiner yang begitu kaya oleh olah tubuh sang aktor dari kaki hingga ubun2.  Demikian pula dengan adanya close up kaki atau wajah atau tangan kadang menjadi gangguan mata batinku.  Expresi emosi peran melalui bahasa tubuh akan lebih terasa ketika seluruh tubuh pemain tampak. Karena antara gerak jari2 tangan dengan jari2 kaki atau pinggang, kepala dengan paha, dada dengan dengkul dan sebagainya adalah satu kesatuan yang mengalir tiada henti dan bukan sepotong sepotong. Ketika tiba2 melihat close up tangan maka pertanyaan timbul; apa artinya , kenapa dijadikan close up, dan banyak hal timbul yang bisa merusak imajinasi penonton.


Rekaman di ruang luar yang tidak jauh dari kesibukan lalu lintas jadi tak terhindarkan suara kendaraan pun terekam dan terdengar agak ganggu imajinasiku ketika sedang berada dalam suasana rasa sunyi. Barangkali memang jika berproduksi film harus teliti dan seperti umumnya produksi film yang professional hal2 tersebut sangat disadari sehingga ada petugas khusus menjaga lalu lintas. Tapi jika ada respons secara improvisasi tentu akan berbeda hasilnya. Tak apalah next time lebih baik.


Salut kepada Acmad Zain dari teater sendiri yang bermain sendiri dan dengan kesendirian ini akan menemukan jalan bahwa hidup nyata ternyata tidak sendiri. Bahkan kepalsuan pun sudah dilakukan secara berjamaah. Aplaus iklas untuk Achmad Zain.


Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri.  Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.


Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater. 


Selamat merdeka berkarya.

Jakarta 16 September  2021. 

Ads