Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling
Email:pusparudolf@gmail.com
Dili Suwarno menulis monolog yang dimainkan sendiri dengan sutradara Arifin Nur (IPIN TL) dalam judul “Tukang kubur” di hari ke 11 parade monolog nasional PTI urutan penampil yang ke 12. Judul yng sering menggiring penonton ke imajinasi yang serba “serem” mengingat kematian cerita2 kita justru sering menjadi kehidupan yang menakutkan, serem, horror dibanding menerima bahwa nilai kematian memiliki kesakralan yang indah atau justru biasa saja, nyata dan pasti terjadi. Kematian tak perlu ditunggu dan ditolak kehadirannya karena merupakan takdir Ilahi yang sudah pasti. Kali ini penampilan cerita bukan yang “serem” pada umumnya namun membawa pesan moral positif bagi bangsa.
Tentu ada kemudahan tersendiri ketika menyutradarai pemain yang sekaligus penulis naskahnya. Paling tidak apa misi sang penulis tidak akan susah payah harus digali sutradara kecuali jika sutradara memiliki tafsir yang berbeda. Sutradara pastinya memiliki hak tafsir ketika akan menyutradarai sebuah cerita. Tentu saja ini urusan dapur produksi yang sebagai penonton dari jauh tidak dapat mendeteksi. Aku percaya bahwa karya pertunjukkan monolog virtual ini hasil dari kerjasama pemain dengan sutradara dalam menafsirkan cerita sang penulis. Hasil karya teater adalah hasil kerja kolektif dan bukankah seirama dengan gerak adat budaya bangsa yang telah digelorakan sejak kemerdekaan bangsa oleh Bung Karno yang bersama Hatta yang adalah wakil bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Salute kepada bung Arifin Nur sobatku sebagai sesama sutradara teater Indonesia.
Dili Suwarno tak ada kesulitan dalam menggauli naskah dan dengan seluruh power yang dimiliki melantunkan kata demi kata, gerak demi gerak tubuhnya. Ada pesan penting yang ingin beliau sampaikan lewat naskah dan pemeranannya atas tangkapan peristiwa besar yang sedang melanda negerinya yang adalah negeri kita semua. Musibah yang mengakibatkan ribuan nyawa harus berpisah dengan tubuh2 yang selanjutnya para tubuh dikuburkan secepatnya yang sering harus melupakan adat atau tata cara yang umum dilakukan sesuai kepercayaan masing2 yang wafat. Sesuai pesan awal dari penulis dan pemainnya yang tentu diperkuat sutradara bahwa “jangan bertanya siapa aku atau pekerjaanku.” Selanjutnya masih diperkuat bahwa ia bekerja mengikuti peraturan dan tak peduli kata orang selama masih berpikir sehat dan kritis.
Kemudian keluar dari peti mati dan di udara bebas meluapkan segala uneg uneg kritisnya secara tenang yang semakin lama mendaki semakin kuat sehingga sampai di puncak atau klimaksnya bergulingan dan meledak emosinya betapa musibah ini besar sekali penderitaan yang harus diterima bukan hanya keluarga yang mati tapi hampir seluruh penduduk. Bagus susunan anak tangga yang dibuat untuk membentuk irama pertunjukkannya. Yang sering menjadi terasa mengganggu ketika emosi yang meluap2 kehilangan daya takarannya sehingga menutup kejelasan artikulasinya. Satu bahaya dari kelemahan menakar emosi adalah justru ledakan2 yang muncul merupakan ledakan bom mesiu yang bukan dari bom “rasa”. Sementara seni sangat mementingkan penguasaan “rasa”. Daya takar rasa akan menciptakan alunan seruling, jeritan, raungan, igauan, rayuan yang tepat sehingga mengenai sasaran merasuk hingga ke hati . Bukankah seni teater adalah dialog dari hati ke hati antara panggung dan penonton? Sang sutradara punya kewajiban memegang stik komando dimana selalu memberi tanda2 lewat stiknya kapan rem dan pedal gas dimainkan sang pemain.
Aku selalu mempertanyakan kenapa banyak aktor terjebak pada lagu dialog yang memiliki kesamaan hampir banyak terjadi di tanah air? Suku kedua dari belakang tiap kata selalu dinaikkan. Seingat aku hal ini juga tak banyak pelatih atau sutradara punya perhatian bahkan ketika memberi contoh melakukan hal yang sama. Menurutku ada teknik yang disebut “timing” bisa menghilangkan “penyakit nasional” ini. Semua pasti tau apa itu teknik timing. Memilih tiap kata mana yang penting dari tiap kalimat sehingga mendapat tekanan lebih dari yang lain. Bukan suku kata tapi satu kata. Walau tidak tertutup kemungkinan ada satu suku kata yang sengaja dipilih dan diberi tekanan khusus karena ada motif yang dikandungnya. Dengan kekuatan menguasai teknik timing maka pengucapan dialog tidak akan sama iramanya. Disitulah keindahan berdialog akan tercapai. Lagu tiap kalimat tidak selalu hanya do re mi fa sol saja tapi bisa banyak berubah.
Ketika gerak tubuh sudah berani bebas dari bentuk realistik tentu dalam berdialog juga sah saja menciptakan alunan yang tidak realistik. Dengan menyatunya kedua hal tersebut maka seperti halnya wayang orang yang gerak tubuh dan berdialognya bukan sehari2; maka tontonan tetap terasa tak ada jarak dengan penikmatnya. Para pakar Grotowsky dan Stanislavsky akan bisa menerangkan lebih teliti dibanding aku yang hanya berdasar pengalaman hidup dalam teater yang hanya berpikir bagaimana pertunjukkan komunikatif apapun bentuknya. Kadang dikatakan menabrak pakem yang ada dan seperti kata awal situkang kubur jawabnya “biarin”. Boleh kritis asal berpikirnya tetap sehat. Bagiku nggak sehat juga nggak masalah. Tapi kritis itu yang aku rindukan. Mengingat semakin hari aku lihat semakin banyak yang kehilangan daya kritis, daya nalar sehingga hanya adu gulat secara fisik ketika terjadi perbedaan pendapat. Seperti film2 panas Holywood yang menyelesaikan masalah dengan bunuh2an. Tidakkah founding fathers dan mothers kita telah mengajarkan hidup bersila ke empat yang adalah roh yang sudah hidup sejak bumi Indonesia diciptakan dan digali oleh bung Karno?
Aku begitu tersentuh dengan pesan moral monolog ini tentang “gotong royong”. Nilai yang akan membuat kita tegar dalam menghadapi segala musibah; sebagaimana tukang kubur yang dalam imajinasiku tetap tegar dan tidak meronta mengkritisi melalui tangis yang seolah2 tangis adalah senjata untuk mendapat belas kasihan. Kritis dari berpikir sehat justru akan menampilkan wajah2 tegar dan mampu melihat sisi baik buruknya keadaan. Maka nilai keadilan yang juga masuk dalam sila keramat kita akan memperkuat bangsa dalam hidup berdampingan dengan musibah. Bukankah negatif dan positif ketika disatukan menjadikan sinar terang sehingga mengusir kegelapan dirumah hati kita? Maka karya teater menjadi ruang musyawarah burung2 berkicau hingga tercipta paduan suara indah yang bahasa manusianya disebut mufakat. Mufakat menerima musibah kemudian bermufakat menjaga kehiduan kita agar tidak masuk kubangan musibah lagi. Maka hilanglah kesan suka ngrumpi, suka curhat, suka saling menyalahkan dan sebagainya yang buruk2. Adil dalam karya seni adalah yang mampu menyuarakan nilai nilai yang bisa diterima segala lapisan masyarakat yang plural. Segala etnis, budaya, adat, agama, kepercayaan bisa menerima. Ini pekerjaan paling sulit bagi seniman tapi bisa dilakukan ketika seniman menerima dan paham arti keberagaman. Berpikir kritis yang sehat barangkali bisa disebut juga berpikir positif hari ini untuk kedepan. Begitukah bung Dili Suwarno?
Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat berkarya.
Jakarta 28 Agustus 2021