Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling
Email: pusparudolf@gmail.com
Aktor Mahmud Prisot atas arahan sutradara Sigit Prhabu telah membawakan naskah monolog “Pidato” karya Putu Fajar Arcana 6 September 2021 dalam pergelaran parade monolog nasional Pelaku teater Indonesia.
Bagiku pemandu acara adalah bagian tak terpisahkan dari produksi teater. Untuk itu melalui ruang sempit ini aku sampaikan penghargaan kepada Ziana Walidah yang telah mampu meramu teks naskah MC nya dari panitia sehingga terdengar menjadi milikmu.
Satu keberanian yang kuhormati kepada bli Putu Fajar Arcana yang melalui “pidato”nya memberikan angin segar yang menerpa ingatan ku melihat kebelakang tahun 1965 dimana pertikaian politik hingga pelengseran kekuasaan Bung Karno dan selanjutnya atas dukungan kuat dari paman Sam diangkatlah secara aklamasi Suharto menjadi presiden dengan bekal surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno. Sebuah peralihan kekuasaan yang masih kontroversial karena hingga kini belum tuntas diselesaikan sehingga sejarah yang “kabur” ini bisa masuk kurikulum pelajaran sejak tingkat sekolah dasar. Sementara di negeri paman Sam sendiri dokumentasi mengenai sejarah 65 ini sudah dibuka karena memiliki undang undang bahwa sebuah peristiwa setelah 25 tahun harus dibuka untuk umum. Selanjutnya harapan kami Putu Fajar akan melanjutkan membuka sejarah agar menjadi daya dorong siapapun penguasa NKRI berani membuka secara resmi.
Bung Mahmud Prisot yang merupakan aktor yang memiliki daya explorasi tubuh dapat menemukan berbagai simpanan tersembunyi yang melalui monolog “Pidato” diekspresikan ke panggung yang telah disiapkan tata setnya oleh sutradara cukup apik menarik dan terlebih menantang aktor untuk mengeksplorasinya. Prisot telah menunjukkan ketotalannya menghidupi tata ruang kayak ini sehingga cukup terasa memang sedang berada dalam ruang yang melahirkan imajinasi2 meloncat2 ke belakang dan hari ini dimana ia bertemu penontonnya dan bercerita tentang keganasan 1965 ketika ia tertangkap bulan Desember masih umur 20 tahun yang karena kemiskinannya tak mampu bersekolah. Anak keluarga petani yang menderita akibat keganasan partai komunis saat itu menurutnya. Selintas ingin tau bung Prisot saat memainkan ini umur berapakah?
Sesuai arahan sang sutradara sang aktor pun bagai pemain sepak bola yang menguasai lapangan seorang diri, teman2 lainnya berada diluar garis dan sesekali mengeluarkan responnya melalui suara saja yang menjadi dukungan terhadap Prisot menggiring bola. Sebagian lagi ia meneruskan bermain sendiri ketika harus menghadirkan suara sepatu tentara berjalan. Ketika harus memainkan gelandang tengah atau back lawan yang sangat kejam menyerangnya dalam tahanan yang sudah penuh petani2 yang ditangkap dengan tuduhan antek PKI. Ia melawan bahkan mengamuk berontak pada kekuasaan yang besar. Ia memukul menendang segala property di ruang tersebut. Aku teringat film2 Hollywood yang hampir setiap melampiaskan amarah yang sangat besar tak tertahankan maka satu2nya jalan menghancurkan benda apa saja yang ada disekelilingnya. Barangkali ini khas karakter bangsa negeri paman Sam yang mungkin ada bedanya dengan karakter bangsa zamrud khatulistiwa. Tapi siapa tau kalau hadirnya film Holywood mempengaruhi tanpa sadar. Aku tidak menyalahkan karena bagiku seni tak pernah salah. Yang salah jika sang aktor tidak memiliki kesadaran akan lakunya sehingga kehilangan motif. Guyonnya ketika tak terlihat ada motif maka agar tidak terganggu mata hati kita ambil kesimpulan “tidak ada motif” itulah motifnya; barangkali.
Kekayaan gerak tubuh tentu modal besar yang sangat bagus ketika memiliki daya takar yang pas. Sehingga emosi yang meluncur justru tidak memakan power hingga justru semakin kebelakang semakin kehabisan tenaga sehingga tak mampu mendaki dan stagnan berada di tengah jalan pendakian. Yang ditakutkan terjadi adalah merusak tatanan diksi, artikulasi sang aktor sendiri sementara tempo dan irama permainan semakin cepat dan dalam kecepatan sudah terlaksana dengan baik. Sebagai penonton tentu kami butuh mendengar apa yang diucapkan aktor. Terselip lagi pertanyaan; apa ada Lelah fisik selesai pementasan? Jawaban anda bisa jadi bahan diskusi selanjutnya; jika mau.
Tertawa dan menangis memang dua inner action yang banyak mengundang masalah. Dalam keterbatasan waktu dan ruang imajinasi pastilah diperlukan penyiapan mengolah rasa yang cukup bahkan tiada hari tanpa olah rasa. Misalnya sejak bangun tidur terus rasakan saja tubuh sendiri; ketika menguap, jalan ke kamar mandi, mandi, dandan, sarapan, siapkan kebutuhan yang diperlukan jika memang sebagai pegawai kantor dan sebagainya hingga pulang dan tidur. Jika dilakukan terus menerus sebulan dua bulan maka kegiatan ini akan menjadi mekanisme hidup seorang aktor. Bintang lapangan rumput hijau melakukan kegiatan terus menerus tiap hari dengan lari keliling kompleks rumah tinggalnya, olah raga fisik, dan seterusnya untuk menjaga agar fisik tetap fit setiap saat diperlukan. Demikian pula aktor secara pribadi perlu memiliki latihan rutinitas sehingga siap manggung dengan segala macam karakter sedih gembira kapanpun. Sangat setuju mendengar sang pidato menyatakan bahwa tangis, sedih di televisi sudah menjadi palsu. Tentu sang pengucap sudah siapkan diri untuk tidak menjadi aktor televisi yang dikritiknya.
Sutradara perlu memperkuat daya dengar dan penglihatan batinnya terhadap apapun yang dilakukan aktornya. Memberikan titik2 penting yang harus dijadikan satu rangkaian yang menuju klimaks tentang peristiwa kelam 1965 yang sudah disiapkan teksnya dengan kuat dan jujur oleh sang pengarang atau lebih tepat sang penulis sejarah. Dengan demikian rangkaian tasbih ini menjadi pegangan dalam merangkai cerita. Sutradara perlu juga memperkaya dengan bacaan atau diskusi dengan para sejarawan atau pemerhati peristiwa yang akan dipanggungkan. Dengan demikian akan lebih terasa menggigit dan memberikan ultimatum keras bahwa peristiwa kelam 1965 sudah seharusnya diteliti Kembali dan segera menjadi pembuka kotak pandora yang selanjutnya pewaris bangsa nantinya tidak terus menerus mewarisi tradisi menyimpan rahasia sejarah. Sudah waktunya kita tak perlu tabu untuk menyimpan ajaran lama bahwa mengingat orang yang sudah mati sebaiknya yang baik baik saja. Ini sejarah dan sejarah perlu dijaga kehidupan nilai2nya baik atau buruk karena pengalaman sejarah adalah pelajaran terbaik bagi perjalanan sebuah negeri agar tidak selalu jatuh ditangan penipu2 sejarah. Acungan jempol ikhlas bagi Teater Yupa atas kesadaran keberanian dan kemampuan memulai buka sejarah yang ditutup oleh senjata karatan “awas bahaya laten”. Sangat tepat bulan September ini anda mengajak membuka lembaran September 1965 bukan untuk menakuti walaupun barangkali masih ada kelompok yang takut. Salut bung.
Setiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain di panggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat merdeka berkarya.
Jakarta 7 September 2021.