Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling
Email:pusparudolf@gmail.com
Di hari ke 12 pentas monolog urutan ke 13 datang dari Nusatenggara Barat. Bale Solah Agung menyutradarai aktor Lanang Surya memainkan karya Beny Yohanes berjudul BIN. Judul membawa kejutan karena mirip lembaga tinggi negara yang bertugas mengamati seluk beluk keamanan negara melalui kegiatan intelejen. Namun tidak perlu berkelanjutan keterkejutan baca judul sebab memiliki arti dan maksud jauh dari arti yang umum sudah ketahui.
Salah satu daya kejut lewat judul termasuk cara penulis menarik perhatian.Tentu pertama kepada para pelaku teater Indonesia yang mendapat keyakinan akan banyak penonton ketika membaca poster baik yang ditempel di tempat2 umum atau lewat medsos yang lebih efisien masa kini. Dalam hal ini aku selalu suka pada judul2 drama karya Beny yang banyak sudah aku baca. Pengamatan kepada kehidupan sosial politik sangat kental dan mampu menyampaikan dalam bahasa yang jelas dan cepat ditangkap. Istilah kerennya berbahasa yang baik dan benar. Tarji bilang bahasa yang baik dan benar itu yang mudah dipahami orang lain. Terima kasih bung Beny Yohanes.
Bung Bale Solah Agung menyiapkan monolog dalam panggung prosenium yang dibentuk dengan layar hitam. Sederhana dan menguntungkan ketika harus mengatur tata cahaya yang tak perlu warna warni. Kameramen sepertinya juga lebih banyak merekam dengan mempertahankan pentas teater panggungnya. Maka penciptaan pertunjukkan monolog terasa lebih dekat menonton pentas panggung. Set prop kasur sprei hijau dan bantal serta selimut di ruang kanan atas dan meja kayu yang diatasnya ada cangkir, diktat, buku2, teko plastik di tengah kiri. Terkesan kamar kos mahasiswa yang rapi. Mungkin tempat penyimpanan pakaian di ruang lain karena di ruang sempit ini tak ada almari pakaian. Jika mengikuti garis prosenium yang berbentuk trapesium dimana depan lebar dan belakang lebih kecil maka teaorinya mengatakan kasur dan meja ditata agak miring. Kasur menjadi kearah diagonal ke pojok kiri depan dan meja kearah pojok kanan depan. Dengan demikian maka penonton dari kiri dan kanan panggung akan mendapat porsi yang kuat dalam melihat wajah aktor. Sebab otomatis ketika duduk di bangku dan kasur akan mengarah diagonal. Namun karena ini virtual maka barangkali sutradara punya konsep lain. Istilah panggungnya posisi tiga perempat. Garis merah dibagian depan bisa dipahami adalah dinding dan ada satu pintu. Taktik yang pandai setidak2nya untuk menjaga agar pemain tidak melewati dinding yang abstrak. Garapan yang apik ini akan menjadil lebih “meledak” ketika ada klimaks yang mengejutkan bahwa BIN adalah nama seorang mahasiswa. Mahasiswa yang bicara tentang sejarah yang mengingatkan aku kepada teriakan Albert Camus melalui Caligula di akhir pertunjukkannya :”masuki sejarah”. Salam jabat sadar sejarah bung Bale Solah Agung.
Lanang Surya mahasiswa yang tampak tenang sehingga tidak memerlukan tenaga lebih untuk menjadi stress lalu meledak2 berbicara. Walau banyak sinisme tentang diktat, tentang joki ujian, foto copy skripsi teman, yang tentu semuanya adalah karakter keluarga korup dilingkungan kampus yang semestinya tempat pendidikan menjadi intelektual. Barangkali juga termasuk aktivis yang punya kegiatan untuk melawan, memberontak terhadap hal-hal yang menurutnya beserta kelompoknya tidak seide di kampusnya. Memang kurang terasa apa si BIN ini aktivis atau bukan. Yang terasa adalah ia akan menghadapi ujian dan harus siap walau kesal karena apa gunanya kerja keras menyiapkan ilmu sementara beli saja gampang? Potret lama yang sering sudah bukan rahasia umum lagi walau benakku bertanya apa masa kini masih berlangsung? Kadang perlu juga ada tanda2 tentang kapan kejadian ini berlangsung.
Ruang yang abstrak dengan pintu abstrak menantang sang aktor untuk menjadi teliti sehingga akan menguasai secara betul setinggi, lebar daun pintu, gagang pintu, seret atau tidak, pakai kunci atau tidak sehingga ketika acting membuka dan menutup aku bisa melihat pintu dan merasakan sedang menarik dan mendorong pintu. Ada baiknya sering2 ketika buka tutup pintu beneran disadari diperhatikan sehingga lama2 akan hafal betul geraknya. Bisa juga belajar lewat pantomim dan tetap ingat tidak sedang bermain pantomim yang segala gerakkannya memang terkesan dilebihkan. Phrasing kalau dalam istilah dialog. Harus tetap dijaga wajar dan indah. Percayalah segala bisa asal mau dan anda kuyakin punya kemauan untuk menciptakan seni acting yang wajar dan indah walau dilakukan secara abstrak. Terlalu sering ketika berdialog menengadah sehingga berakibat mata menjadi sipit. Mungkin tidak disadari karena barangkali sudah pembawaan sehari-hari? Hal ini perlu diingat dan diperhatikan karena mata sangat berarti sebagai alat penyampaian suasana emosi dibalik dialog yang diucapkan. Akan membantu irama suara sang aktor dalam berdialog. Dalam menakar emosi anda cukup teliti sehingga lonjakan emosi dari awal hingga mencapai klimaks dapat terukur. Walau dijalan datar perlu dicari kerikil atau batu tajam yang membuat sang aktor menampilkan gerak yang tidak datar saja seolah2 tak terjadi apa2. Penajaman emosi, diksi, phrasing, timing, tempo tentu akan menjadi pengikat hati yang tersentuh hingga ikut merasakan suasana yang sedang terjadi dihadapan kita yakni aktor yang sedang berperan. “Sejarah” dalam imajinasi BIN yang merupakan klimaks dari apa yang dicita2kan perlu lebih merupakan ledakkan besar untuk menjawab kekecewaannya terhadap kampus lebih dahulu meledak. Cari terus kesempatan manggung dimanapun sehingga berada di panggung terasa “at home”. Berada dirumah akan mengenal hingga sedetail2nya tata ruang seisinya sehingga berada di titik manapun tidak canggung atau kaku. Selamat berlayar mengarungi gelombang yang tak berkesudahan. Merdeka berkarya.
Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat berkarya.
Jakarta 29 Agustus 2021