Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling Jakarta
Email: pusparudolf@gmail.com
Komunitas teater Kakanna dari Sulawesi Barat memainkan monolog “Massaula” karya & sutradara Muhammad Adil Tambono dimainkan aktris muda Jasma Noviana. Karya yang memotret suasana batin bangsa setidak2nya sang penulis dalam menghadapi pandemik Covid19.
Massaula merupakan mistisime atau ritual masyarakat Mandar didalam pembersihan diri dari segala yang kotor dan penyakit jahanam, Ia menjadi tawaran alternatif dalam situasi dan kondisi hari ini. Covid 19 telah merenggut dan menyedot perhatian segala lini bahkan penghuni alam lainpun merasa terusik dengan covid ini sehingga mereka datang melihat kita dan melihat langsung pergulatan manusia.
Salut pada bung Muh Adil Tambono atas penglihatan yang tajam terhadap kearifan lokal yang masih hidup dimasa teknologi modern yang semakin menunjukkan kecanggihannya sehingga banyak melampaui kearifan lokal di berbagai daerah khusunya di tanah air Indonesia yang keberagaman kearifan lokalnya sangat banyak dan kuat bahkan masih banyak yang menjadi kekuatan lokal. Di tengah berkecamuknya pendapat yang mengatakan bahwa covid19 datang tanpa hirau kehebatan pakar virus, pakar obat anti virus, negara adidaya teknologi, adat, budaya bahkan agama dan kepercayaan serta kearifan lokal. Semua mendapat perlakukan yang sama dari covid19 sehingga membongkar aturan2 lama dan mau tidak mau mengikuti aturan baru dari sang covid19. Bahkan kadang meragukan apakah aturan baru datang dari sang covid19 atau terjemahan para pakar virus?
Tawaran sang penulis untuk kembali melihat kekuatan kearifan lokal dapat diterima. Pertanyaannya adalah bagaimana cara mudah menggabungkan daya iman dan daya imun sehingga diyakini bisa berdamai dengan covid19? Sementara rumah2 ibadatpun harus tutup dan ketika dibuka masih harus pakai masker dan jaga jarak serta tidak berkerumun? Justru rumah sakit yang tidak boleh tutup bahkan memperluas sehingga gedung2 lain pun disulap menjadi rumah sakit dadakan. Sayang kita belum bisa membangun rumah sakit bertingkat dalam 15 hari seperti di negeri tirai bambu sehingga tidak terjadi penolakkan pasien covid19.
Melalui “Massaula” yang hadir melihat carut marut menangani wabah sehingga terjadi debat atau saling menyalahkan bahkan korupsi yang merupakan karakter bangsa yang sudah lama terlatih dan menjadi membludak tanpa kendali sejak era pergantian kekuasaan 1998. “Massaula” menyuarakan melalui kebeningan hatinya mengajak kita semua mawas diri dan menyatu dalam satu kesatuan keberagaman hidup berdamai dengan covid19.
Optimistik sang penulis dengan pesan terakhir cerita Massaula adalah “merdeka” dan diperkuat dengan alunan musik lagu Indonesia pusaka yang cukup jarang kita dengar sejak era orde baru berkuasa. Aku sungguh terbawa arus salah satu lagu ciptaan komponis Ismail Marzuki. Bila ternyata bukan lagu tersebut aku mohon maaf. Aku sadar dan bertanya-tanya kenapa lagu2 seperti ini selama 32 tahun era orde baru pelan2 menghilang; untuk tidak ingin curiga dengan kata dihilangkan? Okelah itu soal lain dan di ruang pembahasan yang berbeda.
Membuka tontonan monolog dengan cahaya biru tepat arahnya menuju kursi roda dan velbet menyiapkan tontonan akan bicara tentang rumah sakit. Awal yang buatku tepat dan mempermudah untuk mengarahkan mata turun kehati melingkar ke rumah sakit. Tata cahaya disiapkan dengan baik sehingga kuat mendukung irama kehidupan batin dari cerita “Massaula”. Tahniah untuk bung Andi Aco Nursamsi. Tata panggung dan juga bloking serta acting pemain diatur sang sutradara cukup terperinci sehingga menarik untuk disaksikan lewat virtual. Sutradara cukup mengenal kemampuan pemainnya sehingga mempersiapkan dengan baik. Kerjasama dengan aktris muda berbakat Jasma Noviana yang sesuai namanya sepertinya kelahiran bulan November; sudah dapat terpuji. Sang aktrispun disiplin dan mampu menangkap apa yang diberikan sutradara sehingga mampu melakukan dengan tepat sesuai arahan sang sutradara.
Tontonan teater adalah sebuah karya yang bukan sekedar kuat dan benar teknik actingnya namun juga berkali-kali aku ingatkan ada yang bahkan lebih dari sekedar teknik namun apa yang disebut “rasa” atau “emosi” yang memang abstrak. Bagian yang sulit menerangkan ke pemain karena sulit memberi contoh bagaimana rasa yang benar. Ini satu kekuatan yang tidak kasat mata namun harus dimiliki aktor aktris. Dengan kekuatan tersebut akan terasa aktris tertawa memang tertawa, marah bukan sekedar teriak kuat2, apalagi teriak di akhir cerita tentu sebuah jawaban sang penulis yang perlu kita bisa merasakan apa maksud teriakan panjang tersebut. Karena teriak kurang rasa jadinya berhentinya ya mendadak seperti mesin yang dimatikan. Artikulasi sepertinya juga sangat perlu diperhatikan karena monolog itu bicara sendiri sepanjang pertunjukkan yang harus terdengar jelas kata2 yang diucapkan sang aktris. Tonton kembali pertunjukkannya dan perhatikan betul soal2 artikulasi.
Sang sutradara yang di Indonesia kebanyakan merangkap pelatih acting tentu perlu mencari siasat agar sang pemainnya menemukan cara melatih dirinya agar daya rasa dimiliki sehingga apa yang sudah berkwalitas dalam hal teknik acting menjadi lengkap dan itulah seni acting yang sebenarnya. Aku optimis bung Adil punya kemampuan sebagaimana jiwa optimistik yang dimiliki. Salam jabat gembira berkarya kepada seluruh awak pendukung monolog “Massaula” karya & sutradara Muhammad Andi Tambono yang diperankan Jasma Novina.
Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat merdeka berkarya.
Jakarta 1 September 2021