Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling Jakarta
Email: pusparudolf@gmail.com
Respati Galang menulis monolog “Kidung Panggung” yang dimainkan Gigok Anurogo dengan sutradara Yogiswara M.A. Produksi teater Akar Surakarta merupakan urutan pentas ke 32 yang meramaikan acara penutupan pamonaspti 2021.
Penulisan naskah yang kaya akan data atau pengalaman langsung melihat kehidupan seni panggung tradisonal yang ada disekitar daerah dimana Respati Galang tinggal. Dengan begitu uneg-uneg yang jika ada tentang keresahan dan pahit getirnya seni tradisonal lebih merupakan narasi lokal. Bahkan aku merasakan ini cerita tentang kehidupan Gigok sebagai aktor ketoprak dan modern. Maaf bila salah. Diluar Jawa Tengah seperti Lenong, Randai, teater Bangsawan Sumatera utara juga teater rakyat Kalimantan selatan, Riau lautan jika menjadi tambahan bahan barangkali akan lebih kaya dalam pelebaran uneg unegnya. Namun pilihan penelitian tentu terpulang pada sang penulis. Tidak ada salahnya dan bahkan menambah perbendaharaan data tentang kehidupan teater tradisional. Akan lebih kaya jika pertanyaan apa yang dilakukan para seniman tradisional dalam kancah pergulatan seni panggung di era modern ini? Perubahan akan terus bergulir bahkan semakin cepat dengan munculnya teknologi yang semakin canggih dan canggih. Harus segera dibuang keluhan atau kerinduan tentang masa lalu. Sumonggo.
Dimas Gigok Anurogo sangat kuat memiliki warna pemain teater tradisional ketoprak. Lingkungan ketoprak telah mentahbiskan dirinya menjadi seorang pemain yang mumpuni. Dalam hal ini tidak bisa dipungkiri dimas Gigok punya talenta sehingga perjalanannya dalam dunia teater tradisi hingga modern tampak hasil dari ilmu teater lokal. Namun nyata tak kalah dilihat dari sudut teori2 yang dibawa dari barat yang oleh sebagian seniman diagung-agungkan. Sangat mendalam cintanya pada ketoprak dan memiliki kebanggaan tersendiri yang barangkali melebihi pemain2 ketoprak yang sudah almarhum yang sering minder bergaul dengan seniman2 modern. Dengan begitu aku semakin yakin bahwa ilmu teater tradisi kita sangat kaya dan memiliki kekuatan yang tidak hangus untuk melahirkan pemain2 teater modern. Rendrapun ketika Kembali dari Amerika telah berteriak “Kembali ke tradisi”.
Dimas Gigok tak kehilangan gaya “njawani”; tidak hilang Jawanya karena memang kultur Jawa melekat erat dan mempersemangat art nya. Namun perlu dimas Gigok ingat bahwa tontonan yang masuk Youtube adalah mengudara hingga ke internasional yang tentu saja berhadapan dengan beribu kultur. Yang sering menjadi kendala komunikasi adalah bahasa. Misalnya “nggetih” tentu sukar dipahami bahkan oleh etnis dalam negeri yang tidak berbahasa Jawa. Mungkin juga sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia yang tepat. Padahal istilah ini sangat penting dalam monolog Kidung Panggung. Jangan-jangan anak milenial Surakarta juga sudah tidak kenal istilah dahsyat ini. Jadi yang aku ingatkan adalah perlu menyadari bahwa tontonan dimas harus mendunia. Tidak mesti harus berbahasa orang luar, namun lebih memperkuat bahasa “rasa” yang pasti muncul disetiap gang batin dan jiwa. Pengalamanku keliling dalam negeri saja mengatakan kami harus selalu mengenal kultur daerah yang akan kami datangi. Mau tidak mau mengenal dan merasakan kultur daerah setempat dimana kami akan manggung. Menggunakan bahasa Indonesia yang adalah bahasa nasional kita saja bukan mudah ditangkap oleh setiap etnis yang jumlahnya ribuan di tanah air udara Indonesia. Apalagi benua2 lain yang juga memiliki kultur2 yang bebeda beda. Segala bisa dimas, asal mau. Hehehehehe….
Aktor yang menggunakan klip on perlu menyadari bahwa klip on sangat sensitif, desah nafas saja terdengar. Oleh karenanya aktor perlu melatih diri dalam teknik vokalnya terutama volume. Dimas Gigok yang lantang suaranya akan sering pecah terdengar karena klip on jadi bergetar bagai gelas kepenuhan diisi air hingga tumpah. Celakanya bagi aktor panggung jika melakukan pengecilan volume maka terasa kurang marem. Juga tidak mudah bervolume rendah namun kekuatan expresi vokal tetap kuat. Misalnya marah yang luar biasa hebatnya tentu tidak mudah melakukannya dalam volume suara rendah. Inilah hal2 yang juga perlu ada perdamaian antara mindset panggung dengan virtual, apalagi khusus klip on. Seperti dimas Gigok yang kabel klip onnya tampak melewati perut terus kebawah. Kadang aku merasa ngiri positif kepada bintang film yang terbiasa dengan klip on sehingga tak perlu “teriak” dalam berdialog.
Terima kasih kepada bung Respati Gilang yang telah membuatku semakin kenal seorang yang bernama Gigok Anurogo yang telah memainkan sebagian biografi keaktorannya yakni maestro ketoprak. Itulah ketoprak dan itulah Gigok yang untuk kedua kalinya melihat dimas main teater modern setelah Panembahan Reso. Salam jabat riang gembira seluruh sobat teater Akar Surakarta.
Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat merdeka berkarya.
Jakarta 16 September 2021.