Advertisement
Oleh : Rudolf Puspa, Teater Keliling Jakarta
Email: pusparudolf@gmail.com
Tanggal 13 September 2021 Dewan kesenian Belitung menghadirkan monolog karya Iqbal H Saputra berjudul “Isolasi” yang dimainkan sendiri serta sutradara Suhardi Wiranata.
Bagai seorang pelukis menggambar di kanvasnya maka bung Iqbal melukiskan seorang warganegara sedang bercerita tentang dirinya yang melawan dinyatakan positif yang saat tulisan ini dibuat sedang berkecamuk virus covid 19 yang oleh WHO dinyatakan sebagai pandemi. Peristiwa yang merupakan catatan hitam bahwa bukan hanya satu namun cukup banyak yang tidak percaya adanya wabah ini. Bahkan walau masih belum ada bukti materiil sehingga bisa masuk perkara pidana bagi yang menyebarkan berita ini namun selentingan mengatakan bahwa peristiwa penolakan adanya wabah covid19 justru menjadi alat politik dari yang berseberangan dengan pemerintah yang sah. Namun ini butuh pembahasan dilain waktu.
Lukisan tentang seorang yang merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Ia merasa tidak positif sehingga marah kenapa dikejar2 untuk ditangkap sepert layaknya maling. Kenapa tidak diajak saja dialog atau dikirimi surat resmi atau lewat wa? Maka ia memilih sembunyi di gudang yang justru merasa dihargai oleh binatang2 kecil seperti jangkrik bahkan ular. Binatang2 itu tidak marah, tidak menghardik sehingga ia menyatakan para pengejar itu lebih binatang daripada binatang. Jika dikatakan lebih dari binatang berarti binatang tersebut juga bernilai buruk. Begitulah kegalauan seseorang manusia yang sedang melawan kabar burung yang belum tentu benar. Aneh juga disebut kabar burung; padahal kicauan burung selalu dikatakan indah bahkan dilombakan dengan hadiah bisa ratusan juta.
Sebuah cerita walau monolog tentunya tidak hanya harus bicara satu arah saja. Jika ini yang dilakukan maka yang terdengar hanya bagai nyinyiran satu arah hingga berkesimpulan suaranya tidak didengar. Jadinya seperti kebanyakan protes2 yang merasa hak mengemukakan pendapat yang dijamin undang undang. Atau semacam warta berita atas pengamatan wartawan dari lapangan kejadian. Dalam hal ini sah saja dan tidak ada yang salah. Sebuah pemberitaan tentu sangat penting ada sehingga diketahui banyak orang. Namun jika bisa dalam waktu bersamaan juga memberitakan dari pihak seberangnya tentu akan terjadi perimbangan. Bukankah dewi keadilan selalu tertutup mata dan membawa timbangan?
Sering kita dengar bahwa sebuah ungkapan kesenian memerlukan adanya totalitas dalam arti kemampuan berkomunikasi dua arah. Seniman menangkap sebuah peristiwa tidak hanya dari stau arah namun juga arah sebaliknya. Justru itulah kehebatan seorang seniman. Menghindari keberpihakan hanya pada satu arah sehingga akan terlihat sebuah lukisan yang memiliki daya sentuh yang menyeluruh. Jika tak memberikan usulan solusi atau pendapat maka bisa diserahkan kepada pembacanya. Kadang justru cara ini terasa mengggelitik kecerdasan pemirsa, pembaca, pendengar atau penonton. Apalagi sebuah warta yang sudah lama berlangsung yang barangkali sudah mendapat perhatian ataupun tindakan untuk membantu secara nyata.
Bravo sutradara Suhardi Wiranata yang telah menciptakan tata ruang yang menarik sesuai dengan peristiwa dimana sedang terjadi. Barangkali perlu sedikit menggeser mindset keteaterawanan anda bahwa selain berkarya teater juga ada segi virtualnya. Mau tidak mau hubungannya erat dengan perfileman. Salah satu yang aku perhatikan mengenai gambar penjara dengan symbol jeruji besi. Tepat bila ini pentas di panggung. Namun ketika film bicara kamera maka jeruji besi akan lebih realistik jika tidak sekedar nempel di kanan depan ruang. Kamera punya kemampuan yang luas untuk menjangkau dan menggambarkan sebuah ruang tahanan berjeruji besi. Atau barangkali jeruji itu hanya pintunya dan yang selanjutnya adalah dinding tembok yang kokoh. Jika di panggung tentu bisa ada sedikit tembok tanpa harus sepenuhnya. Film tentu berbeda dan bisa ambil angel dari sudut manapun sehingga tampak apa yang ada didalam tembok. Demikian pula wardrobe tahanan apa memang benar tanpa baju tahanan yang ada nomer dan warna tertentu? Juga tempat tidur apa berkasur atau hanya tikar dan barang apa saja yang ada di ruang tahanan tersebut. Tentunya perlu ketelitian karena semua itu akan menyangkut segi artistik yang menggambarkan ruang sel tahanan yang benar ada dan akan lebih kuat bila diketahui tahunnya. Walau kita sama2 memahami bicara virus corona tentu terjadi pada tahun 2019 hingga kini yang belum selesai.
Umumnya dalam sel tahanan hukuman apalagi hukuman mati akan tidak mungkin tahanan mendapat benda2 yang memungkinkan bunuh diri. Jika terjadi pasti ada usaha mencari dan tidak aneh jika petugas penjara ikut andil. Dengan demikian aku agak kurang sreg melihat tahanan bunuh diri menggunakan sarung untuk mencekik lehernya. Bahkan apa mungkin itu bisa berhasil dilakukan sebab proses kematian dari cekikkan di leher butuh waktu dan jika tangan masih memegang alat untuk mencekik apa masuk akal? Beda dengan gantung diri dimana usaha membuka ikatan di leher tidak mungkin. Cekikkan yang makin kuat akibat goyangan tubuh dan kaki yang tergantung dan tentu tangan sukar untuk membuka tali. Dalam tontonan seperti ini perlu ketelitian dengan logika2 yang terjawab. Beda jika memang teater simbolik atau abstrak, absurd yang sering mementingkan imajinasi2 yang ketika didekati secara logika kasat mata tak akan terjawab.
Sering terdengar aktor memiliki kemampuan untuk berdialog dalam nada yang tinggi apalagi jika menunjukkan sedang marah perannya. Namun aku ingatkan bahwa yang harus disadari bahwa “rasa” marahnya yang utama bukan teriak2nya. Bagaimanapun teater adalah sebuah karya seni yang membutuhkan kesadaran artistik dalam beracting. Akan sangat indah ketika tertawa atau menangis dapat terhindarkan dari teknik yang sama dalam melakukannya. Bukankah tiap acting ada motif dibalik tangis atau tawa aktor yang memainkan peran? Berani melawan “arus” kebiasaan umum justru melahirkan karya yang unik. Misalnya marah pada umumnya teriak sehebat2nya diganti dengan berdesis saja, atau suara rendah namun diksi kuat atau tertawa hanya gerak tubuh dan bibir serta mimiknya tapi suara tak ada dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa aktor memiliki daya kreatifitas yang kaya. Aku bertanya kepada Rudy Hartono maestro bulutangkis juara All England 7 kali yang menceritakan ia tiap pagi selalu melakukan kegiatan menggerakkan pergelangan tangannya. Lama kelamaan menemukan berbagai gerakkan bahkan yang tidak umum dilakukan orang lain. Nah kenapa aktor tidak meniru taktik Rudy Hartono? Sekali lagi aktor perlu terus mencari hingga menemukan keunikan2 dari acting. Percayalah itu akan melahirkan seni acting yang tidak manarism karena lahirkan kejutan2 yang tak terdeteksi oleh penonton.
Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat merdeka berkarya.
Bandara Minangkabau Pariaman Sumatera Barat 14 September 2021. Pukul 06.25 pagi.