Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling
Email: pusparudolf@gmail.com
“Hula hoop hole” karya Conie Sema dimainkan oleh RR Kristian Padmasari dengan sutradara Hasan. Diproduksi oleh South Sumatra Theatre Project dengan studio produksinya teater potlot. Pada poster disebutkan sebagai Monolog Panggung Virtual. Perlu dicatat dalam sejarah teater Indonesia pernah ada tontonan dengan sebutan seperti itu. Salute bro and sis.
Aku merasa perlu ucapkan tahniah kepada Megah Ayu Cahyati (maaf di 23 Agustus tertulisnya Cahayati), pembawa acara dari Surabaya yang hari ini full non teks. Duduk rileks dan ucapan2nya terasa memang hasil olahan dirinya sendiri. Semakin tampak makin kreatif. Terucap kata “luar biasa” kali ini yang memang sesuai dengan apa yang baru saja dia tonton. Nonton atau belum hanya dia yang tau. Tentu sudah mulai ada yang mengikuti jejaknya dan sangat kuhormati kemauan untuk belajar dari pengalaman orang lain. Pinjam istilah mbak Yudi “pandai memandaikan”. Ingat bukan “memandikan” ya.
Sebagaimana dunia persilatan selain memiliki jurus utama maka sering terdengar kata2 “Kembangan”. Tujuannya untuk memberikan aksentuasi yang mendukung kehebatan dari jurus utamanya. Di dunia pewayangan tak asing lagi dihadirkan “buto cakil” yang melawan Arjuna ditengah hutan yang kutangkap juga merupakan kembangan untuk menunjukkan kedigdayaan sang kesatria. Demikianlah adanya dengan karya Conie Sema yang memulai dengan cerita sejarah tahun 541 Masehi di Konstantinopel. Ia tarik kemasa kini di negeri sendiri yang sedang menghadapi wabah besar hingga WHO menyatakan sebagai pandemi. Begitu mengerikan hingga Conie menyatakan melalui perannya bahwa merasa dunia akan berakhir.Ia katakan bagai pelayaran expedisi kematian.
Indonesia tidak mengenal empat musim sehingga lebih cepat untuk melihat sinar matahari yang panas yang diharapkan mampu menjawab pandemi yang telah merenggut nyawa anak bangsa. Conie berpesan bahwa semua ini memang bagai hula hoop yang berputar di pinggang seperti bola dunia memutari matahari. Maka semua kejadian haru birunya wabah menjadi tontonan yang direkam dan diputar berulang kali. Ungkapan yang cukup menggelitik sehingga mata hatiku melihat lebih mendalam tentang hidup menghadapi pandemi yang tak perlu lagi dibicarakan tentang warna gelapnya. Conie tepat dalam memotret warna2 kehidupan akibat datangnya wabah yang kembali lagi sekian ratus tahun kemudian.
Jika melihat jauh ke belakang misalnya wabah sampar, cacar, flu burung, malaria dan seterusnya dimana memerlukan lima sampai sepuluh tahun kemudian baru ketemu vaksinnya sehingga kini bayi lahir langsung secara bertahap mendapat imunisasi hingga umur sekolah dasar untuk menangkal segala penyakit yang mohon maaf masih belum ketemu obatnya yang manjur. Yang disadari bahwa untuk menghadapinya yang utama adalah memperkuat daya imun. Daya imun bisa dilakukan melalui pola makan dan hidup sehat. Jika sudah paham hal ini maka kritik Conie Sema menjadi tepat menurutku yakni hindarilah mengulang2 rekaman yang sebenarnya itu bukan jawaban untuk menghadapi virus baru yang bernama Corona. Beruntung kini zaman teknologi semakin canggih sehingga sangat cepat menemukan virus apa yang datang dan juga cepat menemukan vaksinnya sehingga imunisasi penduduk dunia bisa berjalan cepat. Seperti misal obat flu yang sampai hari ini belum ditemukan dan yang ada hanya pereda atau penghilang “rasa” sakitnya saja, maka yang bisa dilakukan oleh para perekam peristiwa hanya mengulang2 saja. Pesan yang bisa disampaikan juga hanya berulang itu ke itu saja. Semua bisa dipahami karena memang itu yang terjadi sementara sangat jarang yang mampu menembus peristiwa apa yang sedang terjadi pada otak2 para dokter atau ahli2 virus bekerja sejak ratusan tahun lalu?
Seniman Pun akhirnya sering terjebak untuk sadar atau tidak turut serta melakukan hal yang sama seperti yang dikatakan Conie Sema yakni mengulang rekaman yang dibuat oleh orang lain keatas panggung seni dengan bumbu keindahan seni. Barangkali terlalu sulit untuk bisa masuk ke ruang bedah dimana berpakaiannya pun sudah bagai astronot ditambah perijinan untuk bisa melihat dengan dekat peristiwa2 yang terjadi juga tidak gampang. Semua atas nama kesehatan yakni agar tidak tertular virus. Agak utopis untuk mengharapkan gambar nyata hasil jepretan pengamatan sang seniman yang cukup jauh berjarak dari sepak terjang virus yang tidak kasat mata. Kadang aku jadi bertanya2 bagaimana bisa ambil kesimpulan dunia akan berakhir misalnya. Kalau secara umum ya memang akan berakhir; tapi karena corona?
Melalui filosofi hula hoop sutradara cukup bisa gambarkan “berputar-putarnya” kehidupan yang hari ini sedang melanda dan ratusan tahun lalu yang ada kemiripan. Berputarnya hula hoop melingkari pinggang sementara bila roda keatas kebawah. Sepertinya lebih terasa bergerak mundur atau maju karena dia menggelinding dan nasibpun kadang diatas kadang dibawah. Beda dengan hula hoop yang datar saja berputar selalu berdiri jongkok tidur tetap saja akan sama berputarnya. Sutradara didukung aktris yang tentu punya kemampuan menerjemahkan gagasan sang sutradara akan menghasilkan tontonan yang memikat. Aku hilangkan mindset tentang apa itu monolog di panggung agar bisa menikmati film monolog atau monolog virtual atau entah apa namanya dari garapan bung Hasan. Kameramen dan editornya terasa memiliki daya menerjemahkan gagasan sutradara sehingga kekayaan teknik digital bisa dipakai menghasilkan tontonan film pendek yang menarik. Imajinasi peran atau bayang2 sang peran bukan perkara sulit untuk digambarkan lewat layar kaca. Editor sudah disediakan peralatannya yang semakin hari semakin canggih. Dalam hal ini tontonan film pendek Hula Hoop hole jadi menarik. Untuk mengkritisi hal2 teknis perfilman mohon maaf aku masih terbata2.
Selanjutnya sutradara yang biasanya merangkap sebagai pelatih acting aku sarankan melihat kembali film garapannya yang tertuju pada teknik pengucapan aktrisnya. Menurutku ada hal yang janggal walau sebagian besar pekerja teater Indonesia kurang menyadari. Hal yang sering aku katakan sebagai wabah nasional yakni selalu suku kedua dari belakang tiap kata diberi tekanan kuat dan naik. Kalau sepanjang bermain selalu begitu bukannya ini jadi monoton irama warna pengucapan dialog? Yang paling terasa bila kalimat tersebut bertanya. Cobalah perhatikan dan tengok apa hidup sehari2 begitu kalau bertanya? Aku mohon maaf bila tidak bosan2nya menanyakan hal ini agar disadari saja. Selanjutnya pilihan terpulang kepada anda masing2. Teknik akting Kristian sudah cukup meyakinkan sehingga akan mudah untuk naik ke kelas mengolah “rasa”. Kristian tampak siap untuk itu agar kita bisa merasakan ada bedanya orang marah, kesal, protes, sedih, tua, muda dan berbagai karakter. Perbedaan warna ini akan menjadi kekuatan utama menciptakan irama pertunjukkan yang tidak monoton bahkan jika tidak disadari akan menjadi manarism bagi seorang aktris kedepannya.
Salam jabat erat dalam berkarya melalui studio produksi teater Potlot Palembang yang sudah aku kenal sejak tahun 85 dan anggotanya pun kemudian ikut keliling hingga 1993 yang berhasil menjadi aktris yang seperti ucapan mantap pembawa acara hari ini yakni “luar biasa”. Salam jabat hormatku kepada Conie Sema, Hasan dan RR Kristian Padmasari yang sudah bekerja habis-habisan untuk film pendek monolog Hula Hoop Hole. Puji Tuhan memberkati selalu. Amin.
Setiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain di panggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya setiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat merdeka berkarya.
Jakarta 5 September 2021.