Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling
Email: pusparudolf@gmail.com
Sahabatku Zaeni Boli telah menulis dan sekaligus memainkan monolognya yang berjudul “Garam kehidupan” dengan sutradara Honey Balun. Komunitas teater dari Nusa Tenggara Timur telah hadir di Youtube tanggal 5 September 2021 pukul 19.30 wib.
Bung Zaeni Boli telah menebarkan “garam” kehidupan dalam wujud semangat menulis dan memerankan dirinya sebagai salah seorang warga kebudayaan khususnya seniman teater dalam menanggapi munculnya wabah Corona yang sudah menjadi pandemi dunia. Aku turut gembira atas kepeduliannya terhadap akibat2 yang harus dialami manusia Indonesia, setidaknya di lingkungan hidupnya di Nusa Tenggara Timur. Secara gamblang seperti umumnya banyak seniman yang juga telah menyuarakan keadaan bangsa yang tentu melalui perhatiannya masing2.
Pertanyaan religinya menggodaku untuk turut menukik lebih jauh mencari jawabnya yakni “Tuhan Engkau kemana?” Kegelisahan seorang Zaeni Boli merupakan gangguan bagi dirinya dalam mencari jalan keluar dari peristiwa pertemuannya dengan ketidakpastian dari hidup yang melahirkan kecemasan-kecemasan. Namun Zaeni Boli menyadari bahwa hidup boleh optimis dan ia pun menggeram memilih untuk melawan bahkan menyerukan kepada budayawan untuk hadir menjadi garda depan. Zaeni merasa bahwa senimanlah yang harus berada di garis depan untuk melawan situasi kehidupan yang menurutnya telah menimbulkan gangguan yang membuat menderita. Lalu apa jawaban dari pertanyaan “Tuhan Engkau kemana?” Aku takut bertanya kepada penyanyi senior kita Ebiet karena sudah tau jawabnya yakni “tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Padahal banyak daerah NTT yang tak mudah mencari rumput namun penghasil sapi dan kuda yang sehat bahkan bernilai ekspor.
Singkat padat Zaeni menyampaikan pesan kemanusiaan melalui monolog. Selanjutnya yang perlu direnungkan adalah kepastian yang bagaimana untuk melawan ketidak pastian yang bung Zaeni rasakan. Apakah perasaan yang kuat tersebut juga dirasakan semua orang? Bahwa pandemi telah menjadi problem kemanusiaan seluruh dunia adalah nyata ada. Bahwa sebagian besar sudah selalu meneriakkan penderitaan, hingga terasa nyinyir juga sudah dilakukan. Dunia sudah memilih untuk bangkit dengan caranya sendiri karena memang sama-sama belum pernah mengalami. Tanpa ada yang menyerukan untuk bangkit masing2 pakar atau ilmuwan yang berpikir realistik sudah berada di garis depan hingga menghasilkan vaksin dan sebagainya. Yang tinggal sedikit adalah kesabaran menunggu ajakan Zaeni Boli kepada seniman untuk bangkit; itupun jika masih ada seniman yang belum bangkit untuk melawan. Pertanyaannya seperti yang banyak ditanyakan dan belum terjawab cara apa untuk melawannya jika sudah berada di garis depan?
Sutradara bekerja cukup matang dalam mendesain ruang yang hampir sejak awal hingga akhir lebih tampak taram temaram. Sesekali wajah aktor mendapat sorot lampu sebatas wajah. Dua obor menjadi penerang walau tentu saja seperti Zaeni mengatakan “bagai lilin2 kecil”. Mungkin sutradara ingin memberikan aksentuasi betapa suramnya kehidupan dalam menghadapi bencana nasional. Menurutku perlu juga menyadari bahwa tontonan teater walau bercerita tentang kesuraman, kegelapan rasanya bukan sekedar disajikan melalui tata ruang yang suram atau gelap. Expresi aktor lah yang terpenting untuk bisa memberikan rasa suram atau gelap tersebut. Sutradara telah tampak berusaha menjawab hal tersebut dengan menggunakan lampu sorot ke arah wajah aktor. Cuma sayang kurang kuat daya terangnya sehingga lebih sering tak tampak expresi wajah sedang merasakan apa? Mungkin terasa kurang daya rasa atau inner actionnya sehingga teriakan atau raungan kurang menjawab persoalan rasa ini. Inner action memang tak butuh penerang tata cahaya karena ia bekerja secara misterius dalam menyentuh hati penonton.
Olah tubuh aktor nampak aktor yang terlatih sehingga lentur dalam melahirkan gerak2 tari mengikuti suara musik tradisional NTT yang dinamis sehingga merangsang sang aktor meluapkan apa yang sedang terjadi yakni kecemasan2 sehingga bebas bergerak hingga pada puncaknya melahirkan pilihan yakni “melawan”. Teriakannya terdengar jelas mengakhiri monolog singkat padat jelas ini. Selanjutnya terpulang para penonton untuk merasa perlu merenungkan hingga mendapat rangsangan baru untuk in action atau tidak.
Yang menarik menyaksikan parade monolog hingga hari ini adalah munculnya seniman teater dari berbagai daerah yang rindu untuk tampil. Maka tidak heran jika banyak yang menulis sendiri lalu memainkan sendiri dengan sutradara lain orang. Padahal sekaligus saja menjadi sutradara mungkin justru akan mengurangi adanya perbedaan tafsir atas naskah. Kadang terpikir olehku apa memang sangat minim aktor dan aktris yang mumpuni atau memang masih ingin tampil dan begitu ada kesempatan terbuka maka langsung diambil. Keduanya sah sah saja. Seperti halnya menulis naskah juga sah memilih bicara tentang peristiwa yang sedang terjadi. Yang sering menjadi pertanyaan adalah kemampuan menggali potensi problem kemanusiaan yang ketika ditampilkan memang tidak sama dengan yang ditampilkan orang lain. Dengan begitu akan berbeda dengan warta berita di televisi atau koran. Dalam hal ini “keberagaman” dalam berkarya merupakan bukti adanya daya kreatifitas yang tajam dalam membelah, membedah, mengorek tiap peristiwa yang sedang terjadi.
Salam hormatku kepada bung Zaeni Boli dan bung Honey Balun serta seluruh crew pendukung “garam kehidupan”. Masing2 melalui kapasitas dan porsinya telah bersama menebar garam yang memang diperlukan kehidupan. Puji Tuhan Yang Maha segalanya agar selalu menabur berkah rahmatNya sehingga para seniman sahabatku dari Nusa Tenggara Timur bukan menebar garam yang diambil dari luar dirinya namun dirinya memang garam kehidupan sehingga kehadirannya dimanapun membuat hidup ini terasa “sejahtera”. Bukankah tujuan kemerdekaan bangsa yang diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta salah satunya adalah mensejahterakan bangsa; selain mencerdaskan bangsa dan turut menjaga perdamaian dunia? Mari kita sambut seruan bung Zaeni bahwa seniman adalah garda depan bangsa bukan hanya menghadapi pandemi kali ini tapi juga endemik yang akan terus bermunculan.
Setiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain di panggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya setiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat merdeka berkarya.
Jakarta 6 September 2021.