Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling Jakarta
Email: pusparudolf@gmail.com
“Dosa yang tersisa” karya dan dimainkan oleh Didin Siroz dengan sutradara Salira Ayatusyifa telah hadir di hari ke 18 dengan urutan ke 19. Judul yang membuat penasaran untuk mendapatkan gambar yang nyata tentang apa itu dosa yang tersisa yang menurut sang peran terinspirasi dari ucapan anaknya. Cerita yang bicara tentang Corona19 sudah banyak dibuat sehingga makin memberikan keyakinan bahwa wabah tersebut memang ada dan sedang terjadi. Hari ini tanggal 3 September 2021 lewat Pamonaspati 2021 kembali aku mendengar kembali dan terima kasih atas peringatannya.
Begitu banyak catatan2 atas hasil pengamatan para pakar virus, para dokter umum hingga yang spesialis, dari yang muda hingga yang tua bahkan yang sudah tidak praktek lagi bicara tentang virus corona yang sedang membumi. Karena memang keahliannya dibidang kesehatan yang menghabiskan waktu kuliah, praktek kedokteran hingga meluangkan waktu menjadi peneliti khusus sehingga tentu penjelasan2nya sangat teratur dan terarah. Walau kadang bagi orang kebanyakan sering kurang memahami. Yang dirasakan adalah akibat dari serangan virus yang sampai kuburpun tak pernah bisa melihat karena sangat kecil. Akibatnya ada yang percaya ada yang tidak, setelah mengalami baru percaya namun juga masih ada yang tetap menolak. Inilah sekilas catatan tentang bencana wabah yang sudah menjadi pandemik.
Seniman sering diyakini memiliki kepekaan yang berada selangkah dua langkah didepan masyarakatnya. Berarti ia punya kelebihan dalam menggauli kehidupan dan punya kemampuan menterjemahkan setiap kejadian yang umum hingga yang tidak dipahami orang kebanyakan. Begitulah yang terjadi ketika wabah covid sedang melanda negeri kita. Seniman bidang apapun bicara melalui bidangnya. Pelukis lewat kanvasnya, penyair lewat puisi2nya, sastrawan lewat karya cerpen atau novel, musik lewat lagu atau aransemen musiknya dan tak kalah juga para seniman teater dan tari. Designer busana mungkin yang belum.Bermacam judul disampaikan walau pokok persoalannya hampir sama saja yakni tentang bahaya corona dan anjuran untuk selalu disiplin prokes.
Karena aku percaya seniman memiliki kepekaan yang melebihi lingkungannya tentu diharap akan menemukan problem apa yang tidak menjadi omongan yang katakanlah jadi latah, bahkan berkesudahan hanya nyinyir belaka. Inilah hal yang sering dikatakan bahwa karya seni yang ditunggu adalah expresi apa yang diluar dugaan umum, sesuatu yang nyata ada namun tidak terlihat oleh umum. Bahwa warna merah yang dilihat seniman tentu sangat spesifik sehingga karya tersebut menginspirasi penonton karena mendapat rangsangan nilai2 katakanlah nilai kemanusiaan yang tentu banyak, ambilah misalnya nilai gotong royong, nilai musyawarah untuk mufakat, nilai kesatuan dan persatuan, nilai keadilan sosial dan banyak lagi. Semua disampaikan dalam bahasa keindahan yang jauh dari rasa hebat, benar, kuat sendiri yang harus diikui orang lain. Oleh karenanya aku berusaha menemukan jawaban dari “dosa yang tersisa” itu apa yang mampu membangkitkan daya optimis yang baru karena corona yang menurut sang pengarang telah memporak porandakan kehidupan. Namun melalui perenenungan panjang tentu akan ketemu juga.
Menyaksikan drama “dosa yang tersisa” ketika menuju klimaks telah merasakan perubahan yang dramatis dari sebuah monolog ke drama pada umumnya. Kehadiran pemeran lain walau ditujukan untuk menggambarkan perdebatan Siroz dengan dirinya maka menurutku nilai ke monologannya menjadi cair. Telah ada ilmu yang secara umum diterima selama ini bahwa monolog itu pertunjukkan teater yang dimainkan oleh satu aktor saja. Namun bung Didin “berani” mendobrak menggunakan kekuatan teknologi perfileman menghadirkan bayang2 hingga dua tokoh. Teknologi digital memang memungkinkan untuk itu. Namun jika kembali kepada esensi monolog maka hilanglah kehebatan monologer yakni kemampuan melalui dirinya sendiri baik tubuh dan emosinya memainkan banyak peran. Justru disitulah aktor monolog mendapat tantangan terberat dan jika berhasil maka apa yang dikatakan pembawa acara bisa terwujut :”pementasan yang luar biasa”. Selalu MC pamonaspati ucapkan kata tersebut dengan diksi yang kadang berlebihan. Sampai hari ke 18 ini baru satu yang tidak kudengar mengucapkannya yakni saudari Megah Ayu dari Surabaya.
Barangkali bila pertunjukkan ini dilakukan diluar sebuah acara yang sudah ada sebutannya parade monolog tentu bagiku tidak menjadi soal. Itu kebebasan dan hak seniman untuk melawan pakem atau apapun namanya. Tapi barangkali bisa juga menjadi bahan diskusi yang menarik membincangkan karya “monolog (?)” dari teater Tonggak Jambi yang siapa tau bisa menjadi tonggak lahirnya monolog baru. Barangkali inilah salah satu hasil dari gebrakkan sang covid19 untuk berani keluar dari tatanan umum kehidupan dan muncul the new normal dalam bidang monolog. Jadi yang awalnya telah dituduh memporak porandakan kehidupan ternyata justru membawa perubahan kehidupan baru.
Menata irama pertunjukkan memang masih perlu perhatian sang sutradara sehingga para aktor atau satu aktor memainkan tiga peran misalnya tidak terjebak pada pola berdialog yang lagunya mirip semua. Yag paling terasa adalah tiap suku kedua dari belakang sebuah kata selalu diberi tekanan kuat dan dinaikkan. Ini memang gejala umum bagai wabah covid yang belum melahirkan perubahan baru. Atau belum pernah memperhatikan itu sebuah wabah? Barangkali jika hal ini disadari, apalagi kini teknologi sudah canggih sehingga bisa mendengar kembali lewat rekaman audio visual; maka minimal bisa menyadari bahwa apa yang aku katakan memang nyata. Selanjutnya bebaslah, bukan bebas dong; menentukan pilihan. Mau tetap seperti itu atau mencoba yang beda. Aku sampai hari ini tidak bisa menemukan siapa sih dulu yang mengajari seperti itu. Aku juga dulu zaman sma tahun 1962 melakukan hal yang sama. Baru setelah ketemu Aricin C Noer ditegur kenapa selalu seperti itu? Dia tidak meyalahkan hanya menganjurkan dengar kembali lalu sadari. Jika memang dilakukan lewat kesadaran pasti akan menimbulkan oto kritik dan bertanya “iya ya kenapa mesti begitu?”. Kelemahan dengan teknik seperti itu adalah mengaburkan irama yang dibangun.
Namanya bermain drama ya beranilah bermain atau biar lebih ringan sedikit jadi bermain-main. Perhatikan anak kecil balita ketika memainkan sepatu jadi mobil. Seluruh aktifitas tubuh dan suaranya satu konsentrasi yakni mobil. Kita akan terbawa arus keyakinan sang balita hingga merasakan bahwa benda itu mobil bukan sepatu. Nah bermain-main ala balita ternyata bisa menjadi teknik kita melatih diri untuk mampu bermain-main dan selanjutnya menjadi bermain drama. Bermain-main dalam konotasi “sersan”, serius santai. Salam jabat kreatif sobat2ku dari Jambi.
Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat merdeka berkarya.
Jakarta 4 September 2021