Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling Jakarta
“Cik Indun” karya & sutradara Ziara Walidah telah dimainkan oleh aktris Nova Anjelita Nasution di produksi Teater Iqra’ Medan tanggal 11 September 2021.
Pembawa acara Citra telah mengantar dan menutup pertunjukkan ini semakin menunjukkan dirinya belajar dari kegiatan yang sama sebelumnya sehingga mampu berkomunikasi dengan indahnya.
Cerita Cik Indun yang menggambarkan kehidupan sehari2 yang sepertinya telah menjadi satu peristiwa yang tak menjadi problem berat yang penuh penderitaan manusia. Peristiwa pedagang kaki lima yang nasibnya sering tidak beruntung karena harus berhadapan dengan satpol pp yang atas nama ketertiban memainkan perannya mengusir pedagang kaki lima karena melanggar aturan yakni larangan berdagang di kaki lima.
Penulis yang merangkap menyutradarai karyanya sendiri terasa telah memberikan gambar yang enak dilihat bahkan tak perlu meraung membabi buta menuding penguasa telah berlaku tidak adil. Bahwa laku dagang di kaki lima memang sebuah kesalahan; namun bahwa kesalahan tersebut tanpa takut terus saja dilakukan. Jikapun ada rasa kesal, marah bukan menjadi alasan kuat untuk mendapat perlindungan. Dengan demikian terjadilah tontonan yang justru terasa sentuhan tragik komediknya.
Peralatan dagang sepeti gerobak, meja, bangku, wajan yang dipakai menggoreng makanan yang dijual terlihat tertata seperti ruang kaki lima yang biasa kita lihat sehri-hari. Barangkali jika lebih dikesankan tidak sendirian berdagang akan terasa betapa kesesakkan kaki lima oleh kehadirannya memang sesuatu kesalahan kolektif yang telah berumur panjang. Awal mulanya memang tak menjadi masalah namun ketika kota mulai menata keindahan kaki lima maka mulailah terjadi “drama2” kehidupan kaki lima. Lebih jauh menyangkut adanya pajak perdagangan yang memang merupakan pemasukkan pemerintah daerah sehingga wajaib ditertibkan bila dilanggar. Menyampaikann kritik tidak perlu dengan sorotan kebencian.
Bagai rentetan mitraliur yang melesat dari senapan laras panjang berhamburan keberbagai arah telah dilakonkan oleh aktris muda Nova Anjelita Nasution. Bahasa sehari2 warga masyarakat Medan telah termanfaatkan dengan tepat dan menarik sehingga tontonan monolog Cik Indun memang tokoh yang sedang diperankan. Meluncur meruang bahkan mampu memainkan beberapa peran. Menarik ketika harus ucapkan dialog pengumuman melalui pengeras dan Cik Indun sedang sibuk dengan kegiatan menggoreng atau jalan kesana kemari. Dalam hal ini Nova punya kemampuan yang layak mendapat acungan jempol.
Jika bicara teknik acting yang telah ditulis banyak pakar teori teater baik yang dari mancanegara maupun dalam negri bagiku yang terasa Nova tidak ada masalah; bahkan ada kemungkinan justru tidak memahami atau mempelajari. Ia mengalir dengan acting2nya yang natural saja. Acting panggung yang barangkali tidak jauh dari gaya kehidupannya sehari2 yakni gadis Medan. Hal ini bagiku membuktikan bahwa justru keberanian melihat dirinya dan lingkungan sehari-hari maka aktor/aktris akan memiliki senjata yang sangat kaya warna dan bentuknya. Vokal orang Sumatera Utara yang umumnya kuat justru menguntungkan dalam berbicara di panggung.
Bahasa Indonesia daerah justru menjadikan seni acting menemukan dirinya sehingga dengan mudah dan menarik hadir sebagai karya seni teater. Tentu tak ada gading yang tak retak memberikan ingatan bahwa sebagai aktris masih memerlukan banyak berlatih tentang irama pertunjukkan sehingga tidak terjebak pada irama yang mendatar. Do re mi fa yang benar namun jika terus diulang-ulang akan menjadi monoton juga. Artinya perjalanan lakon di panggung merupakan sebuah perjalanan pendakian. Sudah tepat sasarannya sehingga ada langkah menuju sasaran. Bagai mitraliur yang deras mengarah menuju titik target dari segala arah namun masih kurang kuat ledakkan mesiunya sehingga berakibat peluru2 tersebut berjatuhan tepat didepan target. Ada beberapa yang mengena namun tidak menembus bersarang ke jantung lawan. Bagaikan permainan sepak bola yang tendangannya membuat sang bola mengenai tiang gawang atau bahkan melesat diluar gawang.
Nova perlu lebih kuat mengasah kepekaan komedinya sehingga monolog ini memiliki ruang2 dialog dan gerak tubuh atau gesture yang mengundang tawa paling tidak bagiku. Perhatikan bagaimana tawa ria sering mewarnai peristiwa warga masyarakat Medan ketika berkumpul ngobrol. Ini sebuah kearifan lokal yang menjadi sebuah warna teater Indonesia yang kaya dan menjadikan kebanggaan sebagai bangsa yang sadar akan kekuatan budaya sendiri.
Bagaimanapun tahniah aku ucapkan kepada penulis dan sutradara serta aktris beserta seluruh crew pendukung produksi monolog Cik Indun.
Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat merdeka berkarya.
Padang 12 September 2021.