Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling Jakarta
Dari Yogyakarta tampil teater Lantip dengan monolog karya & sutradara Joko Lisandono berjudul “Borgol aku” dimainkan oleh Udik Supriyanta. Sesuai dengan nama propinsinya yakni daerah istimewa maka kebagian dua grup yang mengisi parade monolog nasional pelaku teater Indonesia 2021 ini. Namun itu hanya pikiran sesaatku saja karena penyelenggara pasti memiliki alasan yang baik sesuai aturan yang dibuat tentunya. Bravo teater Lantip soko ngaYogjokarto.
Monolog Sampakan alon-alon waton ora seseg. Tertulis di credit title di akhir pertunjukkan teater melalui virtual yang secara kasat mata aku masih merasakan ini sebuah pentas teater. Tahniah untuk kerja para seniman teater yang terkena musim pandemik corona dan harus banting stir dalam menggarap teater. Senang karena terasa keseriusan penggarapan sehingga tidak waton ada. Sebuah karya hanya ada dua jawaban penikmat yakni bagus atau buruk. Tidak boleh beralasan karena waktu sempit atau tidak ada dana. Kalau memang itu alasan yang membuat buruk ya tolak. Aku teringat ketika sedang ngobrol dengan mas Kayam di TIM tiba2 aku dipanggilasisten Arifin C Noer untuk Latihan eh mas Kayam ketawa ngakak sambil bertanya :”Aktor seperti kamu masih butuh latihan?”. Kini aku bisa memahami karena aktor memang seharusnya siap tiap saat berkarya. Untuk itu yang Namanya berlatih ya tiap hari selalu ada apa yang diolah raga disebut pemanasan. Okelah itu soal lain untuk lain kali dibicarakan lebih lanjut.
Kebetulan aku lahir dan dibesarkan di Solo tetangga Yogya sehingga masih mengenal apa yang disbeut “sampakan”. Syukurlah pesan ini muncul di akhir pertunjukkan sehingga dalam menonton aku tidak tergiring imajinasiku ke alam sampakan khas Yogya yang selama percaturan teater sangat kental menjadi warna teater Gandrik yang juga dari Yogya. Ketika mereka pentas diluar Yogya orang terkesimak dengan gaya yang beda. Tapi kalau di Yogya maka yang muncul “lha yo ngono kuwi wong Yogya ”. Aku masih merasa bebas berkelana mengikuti monolog Udik Supriyanta yang juga lama aku mengenal walau tidak lewat tatap muka. Proficiat mas Udik yang tetap setia berada di panggung dalam situasi negeri yang tiap lima tahun terjadi perubahan dalam berbagai warna kehidupan sehingga ada efek pada kegiatan keaktoran Indonesia. Namun melalui catatan ini aku tak berminat membahas tentang perubahan apa lima tahunan negeri kita. Toh sesama seniman mempunyai perhatian pada poleksosbud walau tak perlu ikut kegiatan partai politik. Tetap berjalan di rel teater yang sama sama kita rasakan alon-alon asal kelakon namun tetap mengandung ketukan2 yang halus dan kadang tajam. Salamku untuk mas Udik.
Teringat Kembali setiap nonton wayang, ketoprak, alunan musik keroncong, gamelan, mocopatan, dagelan Basiyo yang hidup di Solo Yogya . Selalu pulang membawa perasaan yang gembira telah mendapatkan suntikan yang halus namun mesiunya mengalir merasuk lewat darah keseluruh tubuh rohaniku. Irama berdialog, menyanyi, gerak, bloking tetap terasa bagai aliran sungai yang memiliki gradasi gerak dan suara aliran air yang sangat kaya sesuai dengan halangan2 yang harus dilewati. Batu besar, kerikil, pasir, sampah, anak2 berenang yang mau tidak mau harus dihadapi untuk selanjutnya dilalui hingga mencapai klimaks perjalanan dan bila perlu ada penyelesaiannya ataupun tidak.
Kenapa mereka para aktor wayang, ketoprak, pesinden, dalang, penyanyi kroncong, pelawak, sandiwara Jawa membuat ketagihan penontonnya hingga selalu merindu dan mencarinya? Seperti halnya adab budaya Jawa yang bisa masuk kategori “alon-alon waton ora seseg” namun ternyata masalah gradasi yang tergarap dengan sangat tepat. Gamelan wayang yang di awal terasa lambat akan terus berubah semakin cepat hingga sangat cepat pada klimaksnya. Demikian pula para anak wayang ketika berlakon. Jika adegan2 awal setiap ganti maka sang dalang menghentikan gamelan dan melakukan “suluk” baru anak wayang berdialog maka makin lama suluk itu hilang dan hanya suara ketukan sang dalang memukul kotak wayangnya yang juga makin cepat.
Diluar kegiatan seni tradisional tersebut jika kita memperhatikan suasana kehidupan di Jawa tengah pada umumnya memang dalam berbincang selalu lambat, ucapan2nya mantep, las lasan (apa ya bhs indonesianya?), namun ternyata tidak sepanjang dialog begitu. Sesuai dengan problem yang dihadapi atau dirasakan maka tekanan kata, kecepatan pengucapan juga meningkat sehingga emosipun semakin tergambar perubahan2nya lewat mimik, gesture dan juga tubuh beserta movement2nya. Berarti ilmu para aktor sandiwara tradisional tersebut juga memiliki kemampuan menangapi kehidupan sehari2ya sehingga terbawa keatas panggung.
Memang ada kesulitan tersendiri yang seharusnya bisa diatasi sang aktor ketika tetap nuansa kejawaan kuat yang serba lamban mantep perkata bahkan perhurufnya namun semestinya tempo iramanya bisa dipercepat sesuai suasana emosi perannya. Dengan demikian monolog yang hanya dimainkan satu orang ini akan terasa memiliki gradasi dan warna yang begitu kaya dan menjadi tidak terjebak pada “lamban yang monoton” tapi “lamban yang bergradasi”. Banyak menolong jika menampilkan tata bentuk seperti misalnya sang polisi dan lik Panut dimainkan dengan perubahan bukan saja mimik namun juga tubuh. Misal sang polisi gemuk kekar dan lik Panut ceking tua dengan wajah memelas misalnya. Dengan ketrampilan berubah memainkan dua tokoh dalam cerita akan banyak menolong terbentuknya irama pertunjukkan yang tidak lamban monoton tapi lamban bergradasi.
Dari kacamata pribadiku dua menit awal nonton tergelitik oleh sense of humorku jauh melayang layang senyum dan makin kebelakang banyak adegan atau dialog2 yang justru makin menggelitikku. Terjadilah aku nonton dua pertunjukkan yakni yang ada di imajinasiku dan yang ada di depan layar laptop. Apalagi aku jadi ngakak ketika membaca di credit title akhir “monolog sampakan”. Wah benar aku melihat naskah ini naskahnya wong Jowo yang kaya sekali cletukkan atau gelitikan yang muncul melalui apa yang tersirat. Maka alon-alon waton ora seseg yang dimaksud penulis atau sutradaranya; eh sama ya orangnya tentu akan tercapai. Guyonnya wong Yogya sehari2 bener bener alon alon dan ora seseg sehingga lingkungan senyum hingga meledak tawa namun tetap tak kehilangan perihnya rasa cubitan yang diberikan peran yang dimainkan. Perbedaan umur dan karakter sang polisi dengan lik Panut pasti akan membawa suasana kebatinan yang menohok kiri kanan namun tidak bikin seseg sehingga usai nonton pulang membawa besek berisi berkat dari perhelatan agung yang bernama monolog sampakan alon-alon waton ora seseg.
Tokoh Panut mengingatkanku pada Panut di Mega Mega karya Arifin C Noer yang ketika menulis juga sedang kuliah di Yogya sehingga warna Yogyanya kental. Kebetulan ratusan kali aku main jadi Panut hingga ada kalimat Panut yang tak bisa lupa ialah : “Mencopet adalah seni hidup yang paling tinggi. Dasarnya adalah untung2an. Tapi untung2an itu sudah sifatnya dunia. Sifatnya adalah………..” Kemudian Hamung menjawab :”tutup moncongmu bocah” Jika Ken Arok yang mencuri untuk menolong orang miskin kemudian ia beruntung jadi raja maka Lik Panut beruntung mendapat kebebasan. Selanjutnya keberuntungan sang Polisi masih harus menunggu pengadilan akhir sesuai nilai2 relegius sang penulis yang menutup cerita “Borgol aku”. Padahal aku menunggu apa jawaban penulis untuk ditawarkan kepada penonton. Tentu akan mengundang perbincangan selanjutnya. Kalau diserahkan kepada Gusti Allah ya selesai. Amin.
Aku masih jauh dari penguasaan ilmu perfileman, bahkan mungkin tidak akan sampai mengingat umurku yang makin mendekat maka lebih memilih bergelut di teater sehingga ketika melihat ada adegan yang tiba2 close up, medium atau longshot, lampu terang lalu agak temaram, close up yang wajahnya melihat ke pojok kiri bawah atau dialog terdengar tapi mulut diam aku tak bisa komentar. Tentu ini urusan sutradara filmnya, kameramen dan editornya. Yang pasti pengalaman adanya musibah yang menyita waktu kita untuk berkarya cukup panjang ini memang perlu makin kuat kerjasama saling bagi ilmu orang film dan teater. Sebuah media baru perlu adanya perubahan sikap berpikir semua senimannya. Entahlah sebutannya apakah teater film atau film teater monggo saja. Namun sebagai seniman teater pastilah punya nafas keteaterannya. Salah satu isi nafas adalah kemampuan saling menerima dan memberi. Keren deh istilahnya.
Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Selamat berkarya.
Jakarta 23 Agustus 2021