Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling Jakarta
Email: pusparudolf@gmail.com
“Balada Sumarah” karya Tentram Lestari dimainkan Sri Rahayu dengan sutradara Alaliza Nurriazah telah hadir di youtube Pelaku teater Indonesia di hari ke sembilan penampil ke 10.
Kalau membaca nama ketiga tokoh utama produksi ini sepertinya wanita semua. Maaf bila salah. Tahniah benar atau salah. Trio pelaku teater Indonesia yang mengaum indah.
Penulis cerita pasti memiliki segerobak data nyata dari sebuah kejadian. Selanjutnya sah saja ketika dalam penulisannya mendapat bumbu2 yang merupakan bahan olahan untuk menjadi sebuah pemanggungan yang membawa pesan2 kemanusiaan. Banyak moral yang disinggung melalui “balada Sumarah” yang bukan hanya untuk para pemegang kekuasaan yang ada di negeri kejadian tersebut berlangsung namun juga menyentuh yang ada didalam negeri asal si Sumarah. Memang tidak dijelaskan Sumarah berada di sidang dalam negeri atau di luar atau barngakali dalam imajinasi penulis. Dalam hal ini aku sangat setuju dan begitulah memang selayaknya sebuah cerita ditulis. Lebih bersyukur bila mampu memilki daya sentuh bagi manusia dimanapun berada. Melihat cerita ini imajinasiku meloncat kebelakang di zaman orde baru dimana kejadian seperti Sumarah sangat banyak namun hanya bisa didengar dari mulut kemulut karena waktu itu kendali negara sangat represif untuk membuka aib sendiri. Tumpukkan peristiwa yang menggunung es mencair deras ketika rejim berganti dan tahun 1998 yang oleh presiden Habibi kran demokrasi dibuka bahkan sangat lebar membukanya sehingga kadang kebablasan.
Melihat sejarah tentu sangat penting terlebih yang menyangkut nasib ribuan anak bangsa yang mengalami penderitaan yang tak kalah hebatnya dengan perjuangan kemerdekaan 1945. Pertanyaannya adalah nilai2 apa yang terjadi masa lalu bisa diambil dan diolah sehingga masih relevan dengan masa dimana cerita tersebut dipanggungkan. Ini jika kita seiyo sakato bahwa karya seni bicara tentang zamannya. Di era reformasi dengan sudah 6 kali pergantian presiden memilki tanggung jawab yang sama terhadap sebagian anak bangsa yang bergulat menjadi TKW dinegeri seberang dekat maupun jauh. Bukan tidak mungkin peristiwa Sumarah masih terjadi. Terlebih bukan mengenai penderitaannya namun keberaniannya bicara didepan hakim menyampaikan isi hatinya yang dia nyatakan bukan sebagai pembelaan sehingga tidak butuh pembela. Bangga melihat wanita bangsaku memiliki keberanian seperti itu. Srikandi bukan hanya cerita pewayangan di Jawa saja namun nyata ada di zaman modern canggih digitalis masa kini. Kebetulan Sumarah tidak dijelaskan suku atau etnis dari mana. Kurang terdengar ada tkw yang jadi babu berasal bukan dari Jawa. Rasanya jadi pengin tau kapan dan dimana hal itu nyata terjadi? Sementara yang terdengar kini pembelaan dari negara cukup berani hingga bicara langsung dengan pemimpin negara luar sehingga banyak juga hasilnya hukuman mati ditangguhkan bahkan dibebaskan. Lepas dari semua ini aku menangkap nilai yang jadi angan2ku bahwa sudah saatnya wanita hadir untuk bicara tentang segala hal yang tidak adil masa lalu hingga hari ini dengan penyelesaian secara musyawarah. Musyawarah yang salah satu sendi kehidupan Minangkabau yang terpateri jadi sila keempat telah lama agak menghilang. Harus diperjuangkan seperti pesan Sumarah. Salut buat penulis.
Sri Rahayu hadir dengan kapasitas seorang aktris yang punya kemampuan meramu ide sutradara hingga menjadi ramuannya ketika memulai adegan hingga akhir. Irama permainannya teratur sehingga tak terasa pertunjukkan berakhir begitu cepat. Pesan utama cerita tertangkap yakni luapan “pemberontakkan” seorang wanita atas hilangnya kebebasan hidup karena kerangkeng majikan dimana ia menjadi seorang tkw. Kecewa yang dimulai sejak lulus sekolah ternyata ijazah tak selalu memudahkan mencari kerja yang sesuai. Dengan terpaksa menjadi babu dinegeri luar pula. Klimaks deritanya membuat berani nekat membunuh majikan dan dia dihukum mati. Walaupun tidak mempengaruhi emosi pertunjukkan namun perlu juga melihat kembali apa yang sudah dilakonkan. Kini serba canggih sehingga bisa buka rekaman kembali. Beberapa kelemahan “kecil” akan bisa diperbaiki untuk berlakon di hari esok. Misalnya artikulasi yang ketika ketemu huruf mati sering hilang. Huruf mati diawal kata seperti “s” dan ketemu huruf hidup “a” maka huruf s hanya terdengar desisnya saja. Jika ditengah seperti “berkelit”, “struktural”, dan banyak lagi maka huruf “k” sering hilang kekuatannya. Dari r atau u sambung ke k sepertinya ada kesulitan apalagi jika temponya cepat. Karena bentuk bibir bagi kedua huruf itu berbeda maka perlu latihan2 senam bibir agar dari bibir monyong lalu lebar lalu menyempit dan sebagainya menjadi elastik. Bisa juga mendobelkan huruf mati ketika berlatih. Misal “ketika” diucapkan “ket….. tika” jadi huruf t dobel. Kalau sudah lancar makin cepat akan terasa t sangat kuat. Sering tertawa pada adegan terlihat sulit sehingga yang terdengar bukan tertawa beneran tapi tertawa yang dibuat2 karena dalam naskah tertulis harus tertawa. Sudah jamak kok banyak pemain kita sangat sulit dalam acting tertawa. Namun bagi Sri sepertinya tidak jadi soal berat karena memiliki kerendahan hati untuk selalu menerima kritik untuk kemudian memperbaiki. Dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang. Ajaran turun temurun tanpa tertulis yang sangat hebat dalam menghormati lingkungan dimanapun berada. Itulah kekuatan orang Minang yang perantau. Merantau adalah belajar dari tempat dimana berada. Untuk itulah aku sangat yakin kawan2 akan terus “merantau” ilmu teater dimanapun berada dan dari siapapun.
“Apik” ungkapan yang tepat bagi hasil penyutradaraan “Balada Sumarah”. Untuk menjadikan garapan teater bisa seiya sekata antara sutradara dengan pemain tentu tak mudah. Perlu adanya kemampuan dan kemauan saling dengar untuk mencapai hasil paling prima. Bahkan tidak selalu mufakat dicapai dengan seiya sekato tapi lewat silang pendapat. Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik, begitu pepatah Minangkabau berkata.
Catatan sedikit aku berikan ketika memainkan dua peran bahkan sampai tiga perlu dipercepat tempo perubahan perannya. Sehingga benar2 kita melihat dua atau tiga peran masih ada disitu walau secara imajinatif. Juga perlu diperkuat motifnya ketika harus full back dalam memainkan dua peran. Penggunaan kotak di tiga tempat warna putih cukup baik; walau tentu saja bentuk permainan kotak atau level sepertinya sudah begitu banyak digunakan pada produksi2 teater di seluruh tanah air tercinta sehingga tiap gedung teater selau menyediakan level. Barangkali karena minimnya catatan atau foto2 yang terdokumentasi dan diterbitkan menjadi buku sejarah tentang dekor atau set dari produksi pementasan teater di Indonesia sejak merdeka hingga sekarang maka kita memang kurang wawasan yang kaya sehingga setiap menciptakan karya panggung terbebas dari mengulang yang sudah dibuat teman walau tidak pernah melihat atau kenal. Dengan adanya kemajuan teknologi digital yang melahirkan youtube kita akan bisa mencari pertunjukkan teater bukan hanya di negeri sendiri namun di negeri manapun apalagi yang kegiatan teater sudah merupakan kebutuhan sehari2. Semua bisa dilihat tanpa perlu kegedung bioskop atau repot buka laptop namun bisa tersedia dengan cepat di hp yang ada digenggaman setiap kita. Pelajaran yang mesti diambil dari melihat berbagai pertunjukkan adalah meminimalkan ketidak sadaran untuk terpengaruh. Walau saling terpengaruh adalah salah satu sifat manusia pada umumnya. Tak apa asal disadari sehingga dengan kesadaran tersebut akan membuka mata hati untuk melebarkan sayap dan menemukan pohon baru yang belum pernah dilihat siapapun sehingga bisa bertengger dan menyelami hingga dengan bahan yang serba baru akan tercipta sarang yang baru. Salam jabat kreatif.
Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Jika ada akan menjadi bahan sangat kuat yang sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya. Jadi mari ingat selalu bahwa penonton adalah bagian dari kerja seniman teater.
Sampai jumpa di Sumatera barat teman2 dan kita berkiprah bersama. Minangkabau tanah air keduaku.
Selamat berkarya.
Jakarta 26 Agustus 2021