Towards a Newer Laocoon: Pemberontakan Seni Terhadap "Penjajahan Sastra" -->
close
Pojok Seni
21 October 2021, 10/21/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-10-21T00:00:00Z
ArtikelEstetikaevent

Towards a Newer Laocoon: Pemberontakan Seni Terhadap "Penjajahan Sastra"

Advertisement


Oleh: Adhyra Irianto


Pojokseni.com - Hidup adalah puisi, puisi adalah hidup. Begitu kira-kira ketika penyair diminta mendefinisikan apa itu puisi. Karya sastra, atau narasi sastrawi tertentu akan dihiasi oleh ilustrasi yang indah. Sejak dulu, kita terbiasa melihat buku puisi, atau buku sastra akan bersampul lukisan yang indah.


Hal itu rupanya mengganggu pikiran Clement Greenberg, seorang kritikus seni yang cukup berpengaruh di tahun 1950-an hingga 1960-an. Ia adalah kritikus yang juga editor sebuah urnal kebudayaan bernama Partisan Review. Sebagai kritikus, nama Greenberg sangat berpengaruh. Bahkan, ada seniman yang karirnya melesat seperti roket karena tulisannya. Juga ada seniman yang karirnya anjlok dan hancur berkeping-keping, juga karena tulisannya.


Terlepas dari tulisan kritiknya terhadap karya, Greenberg menjadi fenomenal karena mengkritik "seni sastra" secara gamblang dalam artikelnya berjudul "Towards a Newer Laocoon". Lewat tulisan itu, ia mengiring seni rupa untuk "memberontak" terhadap sastra. Apa dan bagaimana pemberontakan tersebut?


Seperti sedikit diulas di awal, bahwa karya sastra kerap dihiasi oleh sebuah lukisan, atau ilustrasi tertentu. Kadang, mutu artistik lukisan tersebut justru melampaui mutu artisik buku yang dimaksud. Namun, kadang karya lukis, terutama sebelum abad ke-20, memerlukan narasi sastrawi untuk penyampaian makna atau pesannya. 


Hal itulah yang dianggap Clement Greenberg sebagai tirani pokok ihwal. Alias, penjajahan terhadap subject matter-nya. Lukisan menjadi semacam ilustrasi terhadap sebuah narasi sastrawi tertentu. Atau, bila bukan ilustrasi dari narasi sastrawi tertentu, maka lukisan akan dianggap sebagai visualisasi dari pesan tertentu.


Dalam hal ini, Greenberg menganggap lukisan sebagai karya seni tidak berdiri sendiri. Sebelumnya, karya musik sudah lama memberontak terhadap sastra. Musik harus dinikmati secara "abstrak", karena penikmatnya akan mendengar alunan musik, not, tempo, nada, hingga "bunyi" tanpa perlu pendekatan sastrawi, apalagi mimetik. Musik bukan sebuah ilustrasi dari narasi sastrawi tertentu, juga bukan bentuk audio dari pesan tertentu. 


Sebagaimana musik memberikan kesan pada pemirsanya lewat bunyi dan pendengaran, maka menurut Greenberg, karya seni lain seperti seni rupa misalnya, juga harus dinikmati lewat kesan yang dihadirkan citra dan penglihatan. 


Greenberg menegaskan, bahwa karya seni punya wahananya sendiri-sendiri. Musik memiliki basis indrawi di pendengaran dan bunyi, seni rupa memiliki basis indrawi di penglihatan dan citra. Teater medianya adalah tubuh dan panggung, sedangkan sastra medianya adalah bahasa. Maka setiap cabang seni tersebut, menurut  Greenberg, harus dikembalikan ke wahananya sendiri-sendiri.


"Mereka harus diisolasi, dikonsentrasikan, dan didefinisikan di wahananya sendiri-sendiri," tegas Greenberg.


Karena terisolasi dan terkonsentrasi, maka karya seni akan punya batasannya sendiri-sendiri. Teater punya aturan sendiri, yang berbeda dengan aturan musik. Seni rupa dengan wahana gambar bidang dua dimensi juga punya aturan sendiri yang berbeda dengan aturan seni tari. Seni tari dan teater yang sama-sama di atas panggung, dan juga mengandalkan "tubuh" dari pemainnya, bahkan punya aturan sendiri, dan keduanya berbeda. 


Dengan kata lain, seorang kritikus tidak bisa menilai karya seni rupa dengan perspektif sastra. Begitu juga sastra tidak bisa dinilai dengan perspektif musik, misalnya. Seorang seniman tidak perlu memelajari teknik akting Stanislavsky misalnya, bila ia ingin membaca puisi. Seorang pelukis juga tidak perlu berlajar bernyanyi dengan tempo yang baik, bila ia ingin melukis.


Nyatanya, kekhasan media/wahana, serta basis indrawi dari setiap karya seni yang dipaparkan oleh Greenberg berhasil mengubah wajah dunia. Setelah itu, muncul gerakan seni avant-garde yang membongkar habis semua metode seni yang ada selama ini. Maka muncul hal-hal yang baru, dalam gelombang avant-garde ini, yang menolak karya seni berada di bawah "jajahan" karya sastra. Kesetiaan pada wahana tersebut membuat tidak ada beban naratif dan beban mimetik pada karya seni.

Ads