Advertisement
Oleh: Prof Yusmar Yusuf
Pergi, tidak dengan begitu saja. Dia meluncur bak komet, melintas diagonal dalam kecepatan tinggi di ruang gulita. Menjinjing cahaya dan benderang. Dia makhluk besar bagi buana abad ini. Seorang pengagumnya mendatangi cucu Mandela dan berujar: “Atokmu adalah komet yang berpijar dengan benderang yang melesat di atas sana”. Ya, tentang kehidupan dan pergi selamanya. Mandela menjalaninya dengan tidak begitu saja. Dia pernah mendekam di Robben Island yang senyap di ujung tanduk Cape of Good Hope.
Pagi, di sebatang hari yang menghampar wajah tua di tubuh Table Mountain dan Lion Head, saya tiba dan menjejakkan kaki di sebuah kota romantik bernama Cape Town atau Kapstad. Di penghujung 1996, sebelum saya berpidato dalam bahasa Belanda di sebuah ruang di Gedung Parlemen yang gagah sekaligus menjadi gerbang kota yang sejuk ini, saya mendatangi sebuah gerai buku di jalan protokol Cape Town. Di sebelahnya ada sekolah anak-anak kulit putih dan riang berloncatan. Kedai buku nan resik, bersih dan tertata. Fassad gerai ini dihiasi sejumlah buku tentang tokoh besar dari benua Hajar ini: Mandela, Mandela dan Mandela… Beragam edisi, sejak soft cover, hard cover sampai luxury edition. Wajah Mandela yang baru keluar dari penjara Robben Island membelai ruang-ruang kaca dan jatuh menjadi bayang-bayang di atas kepingan lantai marmar: Keabadian.
Di Johannesburg. Empat hari kemudian saya bertandang ke metropolitan ini. Saya membayangkan Mandela sebagai sosok dengan sejumlah keabadian. Sejumlah elemen yang tak membuat dia mati dan didatangi maut. Sebelum mencapai Bay False untuk ziarah ke Kampong Makassar, saya berhenti beberapa jenak di titik pertemuan dua lautan (Atlantik dan Hindia). Di ujung serba samar, saya menyaksikan sebuah pulau yang diliput tirai kabut, berwana keabu-abuan berkelambu awan. Seakan melayang, arkian berada di atas cakrawala, saya menemukan sebuah titik. Inilah Alcatraznya Afrika Selatan. Saya berkelana ke negeri-negeri minor pada era itu. Afrika Selatan , satu di antara minor yang saya datangi. Zaman itu, hanya beberapa diplomat saja yang berani dan masuk ke Afrika Selatan.
Mandela dan kematian, seakan menyunting keabadian. Dia menoreh nama besar ketika hadir sebagai anak muda penuh azam pembebasan dalam sebuah konferensi di Bandung tahun 1955. Berdegub jantung mengikuti pidato sang pembebas bernama Soekarno di gedung itu. Dia hanya seorang pemuda hitam yang dimata-matai. Pun, bertandang selaku Presiden Afrika Selatan, dia mendatangi gedung itu kembali. Lalu, dia bertanya: “Mana gambar Soekarno?”. Karena di daras dinding gedung berjejer gambar para tokoh yang terlibat dalam konferensi yang menjadi sumber ilham pembebasan negeri-negeri bawah angin di Asia dan Afrika. Dia tak menemukan paras Soekarno. Sebuah “kehilangan” dalam map sejarah.
Mandela begitu dekat dengan negeri rantau Melayu ini. Dia faham betul bagaimana segelombang bangsa Melayu yang ikut menyibak pekatnya tirai embun yang membungkus benua hitam. Sebutlah gelombang pertama Syekh Yusuf Al Makassari sebagai tuan guru spiritual yang menjadi bapak bangsa dan ilham pembebasan. Pun, Mandela menyediakan setangkai tubuhnya laksana “manikin” yang menjajakan sejumlah ruas dan corak batik sembari menurunkan sakralitas pakaian jas, dasi lengkap sebagai adi busana seorang kepala Negara dan kepala pemerintahan. Dia melenggang sebagai manusia biasa saja, tapi memerankan watak peran yang tak biasa-biasa.
Lalu, kematian datang. Dunia terpegun, saya pun terhenyak. Kenapa mati? Kenapa harus maut mengungkai dan mengurai juluran ihlam ini? Adakah cara lain untuk menghenti ungkaian ilham? Tidak kreatifkah Tuhan dalam “wilayah” ini? Dan ketika pertanyaan-pertanyaan ini dijulur dan dilanjutkan terus, pada ketika itu kita tengah mengalami existensial neurosis: ketakbahagiaan yang disebabkan oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai makna.
Arkian raja, membangun sebuah menara yang amat tinggi. Tinggi menjilat awan. Di pucuk menara, dibuat ruang jendela kiri dan kanan. Saban malam, sang raja menaiki menara itu. Di atas sana, dia hanya berkawan dengan kegelapan. Ditolehnya jendela sebelah kiri, di luar sana hanya ada kegelapan. Lalu tolehan jendela sebelah kanan, juga kegelapan. Sejenak, ada seekor burung masuk dari jendela kiri lalu menggelepar-lepar di atas kepala sang raja. Sejurus, burung itu pun raib dari jendela sebelah kanan dan masuk dalam kegelapan. Ha ha hi hi hoo hoooo… sang raja lalu berfikir: “kita berasal dari kegelapan abadi menuju kegelapan abadi dan hanya berhenti sejenak seraya menggelepar-lepar di sebuah ruang yang seakan-akan bercahaya”. Mandela pergi selamanya, bersimpuh di kegelapan abadi, seraya pernah meninggal seberkas cahaya komet.
Berat hati meningggalkan kota nan molek Cape Town, saya melintas Mozambik, Lesoto, menuju sebuah pulau surga di tengah Lautan Hindia: Mauritius. Di sebuah ujung tahun yang jua membungkus diri di dalam kegelapan memori. Mandela, pergi dengan tak begitu saja…
Baca tulisan lain dari Prof Yusmar Yusuf di tautan ini: Tulisan Prof Yusmar Yusuf