Seni Tanpa Titik Tengah -->
close
Pojok Seni
20 October 2021, 10/20/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-10-20T00:00:00Z
ArtikelEstetika

Seni Tanpa Titik Tengah

Advertisement
lukisan karya Francis Bacon
Lukisan karya Francis Bacon


Oleh: Mardohar B.B. Simanjuntak* 


Virtus in Medio. Latin, keutamaan ada di titik tengah. Seperti pendulum yang berayun ke kiri dan ke kanan, kenyamanan nafas kita sering berada di tengah-tengah. Kita merasa nyaman berkendara saat mobil yang sedang kita tumpangi tidak secepat teriak ketakutan, dan tidak sepelan helaan angin segar yang membuat daun berayun anggun. Titik tengah adalah titik keseimbangan – yang membuat kita tidak akan terjatuh dari sepeda yang membawa kita pulang ke rumah, sirat Albert Einstein. Sayangnya, kesederhanaan sebuah keselarasan mulai terasa hampa mengganggu, terutama untuk wilayah seni.


Seni abad ke-20 ditandai dengan gugatan ketidaknyamanan yang mengepul dari hawa kegelisahan. Seni akhirnya menjadi bagian dari siapapun, ungkap Joseph Beuys. Seni terdemokratisasi; ruang pamer dimulai dari jalan-jalan setapak pinggiran kampung dan tidak berakhir di istana. Titik tengah paling mutakhir dari abad ke-20 ada pada tafsir tentang makna. Kritikus ada di mana-mana, sesubur seniman yang rapat mengisi celah ruang dan waktu.  Yang menjadi titik tengah adalah kebebasan untuk tampil mengemuka. Namun gugatan abad ini menjadi penggugat dirinya sendiri. 


Menutup milenium ketiga, forma – bentuk – menjadi hamba substantia – isi. Formalisme digugat habis oleh kenyamanan interpretasi kritikus, yang siap menemani kita di dalam sebuah galeri untuk membuat kita berada di garis keselarasan pemahaman. Elitisme istana pindah ke pewacanaan akademik. Makna menjadi sangat teritorial – dan semua upaya deteritorialisasi akan kembali ke wilayah yang ke pagar yang itu-itu juga. Kebebasan kita untuk mensubjugasi makna tak ubah bagai diskon belanja yang katanya berakhir di hari Senin dan berulang setiap minggu. 


Seni abad ke-21 selalu membuat kita, sebaliknya, mementahkan distorsi titik tengah itu. Noël Carroll, filsuf seni, menggagas pemetaan ulang struktur seni rupa yang relevan dengan pementahan semacam itu, dalam Philosophy of Art, A Contemporary Introduction mengatakan bahwa seni sudah terlalu penat dengan beban sisipan dan pesanan definisi. Lacakan balik jejak historis dan analisis struktur akan mampu mengembalikan konsep seni dan semua derivatifnya kembali ke pohon klasifikasi yang segar. Untuk memahami alur berpikir Carroll, marilah kita melihat bagaimana fotografi dibedah dengan pisau Carrollian.


Seturut Carroll, fotografi tidak pernah bukan seni – fotografi sudah selalu seni. Reaksi spontan atas status kebersenian fotografi menjadi bermasalah saat medium ini dianggap sebagai subordinasi dan sekaligus subversi dari supremasi rasionalitas manusia. Fotografi pun menjadi orang-orangan sawah yang selalu dihantam setiap saat. Seorang pelukis butuh waktu puluhan tahun untuk bisa masuk galeri dan balai lelang kelas wahid. Seorang fotografer hanya perlu beberapa bulan untuk menghasilkan sebuah lukisan dari sebuah foto dengan tongkat Ajaib “kamar terangnya” – pengganti kamar gelap dengan segala kekurangan dan kelebihannya yang tinggal kenangan. Fotografer adalah sebuah kecurangan peradaban yang tidak perlu diragukan lagi. Namun tidak menurut Carroll.


Fotografi hanyalah, dalam terang Carrolian, lanjutan dari kuas. Sama seperti ketikan komputer adalah lanjutan dari mesin ketik yang merupakan lanjutan dari perkamen dan bulu angsa. Instrumentasi boleh berubah, namun secara garis besar pengalaman yang hendak diwariskan sama: sebuah pengalaman visual. Lebih lanjut sejalan dengan Carroll kita dapat mengatakan bahwa dalam setiap instrumen kita dapat menemukan kekhasan desain. Pasir merah yang ditumbuk dan melekat di dinding gua sebagai lukisan primitif berbeda dengan kuas abad pertengahan dan juga pena tablet abad 21. Singkatnya, lupakan debat kusir tentang sah tidaknya fotografi sebagai seni; sekarang waktu memberi apresiasi terhadap kekhasan instrumen itu.


Menariknya, kekhasan fotografi adalah ciri dari abad pertama di milenium ketiga ini. Ia adalah jarak yang tidak pernah hilang. Sebuah foto adalah sebuah jarak pisah waktu. Selalu ada sekat antara saya dan representasi di dalam foto. Sebuah foto tanpa bingkai pun sudah selalu terbingkai, sementara lukisan dengan bingkai setebal apapun selalu transparan tanpa penghalang apapun. Fotografi menunda kehadiran kita di dalamnya; lukisan justru mengundang kita untuk menjadi bagian darinya. Fotografi membuat saya selalu menjadi oposisi dari realitas yang tidak mungkin bertemu. Waktu akhirnya membuat titik tengah bagi fotografi menjadi semakin absurd. 


Kekhasan inilah, dalam garis pemikiran Carroll, yang membuat fotografi relevan dengan abad ke-21. Upaya mencari -atau mungkin lebih tepatnya – memaksakan titik tengah – yang berakhir dengan penyelewengan terhadap virtus in medio membuat sentralitas keseimbangan menjadi sesuatu yang absurd. Akibatnya, distansi – jarak – dan distansiasi – penjarakkan – menjadi sebuah keharusan. Bagai air dan minyak yang selalu berusaha menyatu dan selalu gagal, demikian pula dengan seni abad baru ini. Virtus in medio kalah relevan dengan “virtus in extrema” – bahwa keutamaan ada saat dua titik ekstrim berjalan paralel seperti roda kiri dan kanan sebuah gerobak.


Saat virtus in extrema dibacakan dalam karya seni, maka titik keseimbangan ada sebagai dampak dan bukan sebagai elemen. Biarkan di satu ekstrim seni tradisi memejal memadat, dan di ekstrim lain ekspresi personal yang ditubuhi oleh modernitas meraih kepekatannya. Melebur karya seni berarti, dalam bahasa Carroll, menghilangkan apresiasi kita terhadap keunikan desain. Hybrid bukan blended. Dari geologi kita tahu  bahwa Gurun Sahara yang kaya mineral menghidupi hutan amazon yang miskin nutrisi dengan menerbangkan debu-debunya melewati Samudra Atlantik; Sahara tetap ekstrim gersang dan Amazon masih ekstrim subur. Titik tengah menjadi tidak relevan – leburan menjadi bauran dan berakhir sebagai kerancuan. Abad ini menuntut seni untuk melepaskan beban kerancuan titik tengahnya, dan berlari bebas dengan dua kaki.


*Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Pegiat Seni Selasar Sunaryo Art Space Bandung

Ads