Advertisement
Oleh: Prof Yusmar Yusuf
Granit memerlu waktu yang lama untuk menjelma jadi rubi. Ditimpa hujan, diterpa panas, diganggang sejuk malam, lembab hutan, deru dan milir angin. Granit pun berubah perlahan jadi rubi. Rubi bukan mengada, tapi menjelma, mengaku akan kehadiran waktu dan proses. Dan… manusia adalah rubi, ujar Rumi; “kita adalah batu rubi di tengah-tengah granit”.
Kita diilhami keagungan gemilang, tapi bersikeras untuk mengingsut dan layu di penjara berdebu. Kenapa kita tak menjadi segar dari kelembutan mata air hati? Mengapa tak tertawa layak mawar? Mengapa tak menebarkan wangi? Tanya Rumi menggugah.
Di musim batu akik, orang berlomba-lomba menjelaskan sejarah. Sejarah tentang batu, hakikat batu, karamah sampai fadilat batu. Ada induk batu, ada mahkota batu, semua dengan penjelasan sejarahnya sendiri-sendiri, keunggulannya masing-masing. Hampir tiada sejarah rendah yang membingkai batu. Semua meninggi dan tinggi, hingga tak terengkuh akal sehat. Mereka yang terlibat pembicaraan itu, tetaplah sekumpulan manusia sehat. Ketika menyentuh wilayah rubi, orang seakan terdiam. Tiada penjelasan yang super lengkap untuk didadarkan mengenai “mahkota” batu ini. Hari ini, entah ditabrak asap dan Covid-19, demam batu akik, jengah, mereda.
Rubi yang ada dalam diri manusia, itu adalah “mawar” spiritual yang ditiupkan Tuhan sebagai ruh yang mewakili citra Tuhan di muka bumi di antara sekian makhluk lainnya. Dan rubi dalam diri itu, ujar Suhrawardi laksana pelaku, media dan destinasi. “Kau adalah pelancong; kau adalah jalan; kau adalah tujuan. Hati-hati! Jangan pernah kehilangan menuju diri mu sendiri”. Ya, diri yang harum, diri nan wangi semerbak. Ibadah, dzikir dan daya-daya yang dilakukan oleh manusia untuk senantiasa mendekat di pusaran “Matahari” adalah kebun tempat tumbuh sang mawar. Maka, menjadilah diri sendiri di tengah keinginan menjadi bagian dari diri awam nan banyak, kaum nan datar, selera yang seragam, kehendak menyatu dalam kebekuan. Dan mawar-mawar harum itu senantiasa hadir dengan warna yang ragam, wangi yang tak sama.
Agama datang tidak dengan sekali terjunan dari langit. Dia menyempurna secara berangsur-angsur. Bak rubi yang mengurai bentuk secara perlahan dari granit nan kaku. Dia datang dengan waktu, dengan proses dan menghargai anak tangga proses. Demikianlah waktu dan proses adalah sejarah mengenai “jalan”, mengenai jalur hendak menuju.
Yang dituju amat jauh, sekaligus amat dekat dan bahkan terlalu dekat (di dalam diri). Berpuasa, melayani hamba, berbuat bajik, ibadah jeluk dan khusyuk, menahan diri dari segala godaan, segala larangan, adalah bagian dari upaya penyerbukan silang terhadap mawar, sekaligus menyuburkan media tanah kebun tempat mawar tumbuh dan mekar. Di sini, diperkenalkan bagaimana memetik kemenangan, yang harus dilakukan melalui sebuah peristiwa pahit dan melelahkan (dalam bentuk latihan atau riyadhah). Lalu, tercapailah kemenangan dimensi spiritual.
Nilai kemenangan itu menjadi demikian bergeliga ketika sebelumnya diperkenalkan lewat peristiwa memanjat. Dengan kondisi yang amat lelah, kita mencapai puncak dakian. Di sana terhampar jenis bebungaan yang tak terceritakan peri dan ihwalnya. Sebab bebungaan yang terhampar itu sama sekali tak ada di daratan sana atau pun di lereng sana. Dia hanya ada di atas puncak.
Puncak dakian itu adalah diri sendiri. Setangkai tubuh fikisal manusia itu laksana sebidang kebun yang kaya dengan hamparan “geografi” yang tak terduga; ada lembah, ada bukit, ada lereng, ada ngarai, ada curam, ada sungai, lautan, palung dan puncak gunung. Semuanya berada dalam kilas serba ibarat.
Tubuh fisikal manusia itu adalah bidang kertas, tempat karya sastra digores lalu dibaca, digurat dan diwariskan dalam waktu. Dia menjadi penjelasan sejarah yang tak terperi mengenai perjalanan nan jauh, padahal dekat. Perjalanan nan panjang, padahal pendek. Perjalanan nan sayup, padahal jenak. Rupanya, jenak-sayup; pendek-panjang; dekat-jauh bukanlah jarak metrik. Dia bukan ukuran fisikal, tapi ukuran serba tembus; tembus cahaya, tembus waktu, tembus bidang, tembus ruang dan tembus garis. Jauh dan dekat, sayup dan jenak itu adalah persoalan “cita spiritual”, “cita moral”, “cita ruh” yang tak kenal mistar serba metrical. Di sini, waktu dan ruang digulung dalam lembar kertas. Ketika kertas yang berisi garis-garis, maka segala ujung garis bisa mendekat dan bisa pula menjauh. Demikian pula penjelasan mengenai rubi yang mengungkai diri atau yang mengurai diri dari kebekuan bongkah granit di tengah sejarah nan senyap.
Granit tak kenal walau, namun menyimpan “kalau”. Sebaliknya, rubi adalah alam serba “walau”, bukan “kalau”. Granit berkata; “Kalaulah daku sesosok rubi, maka…”. Sebaliknya rubi berujar; “Walau daku sebongkah rubi, tapi…”. Demikianlah kisah mereka yang mendaki, yang mendekati, yang menyatu (manunggaling). Sebaliknya granit adalah mereka yang menjauh, menjarak dan menetap. Rubi menjadi dirinya, ketika berkelana dalam peristiwa “nomaden”; ada savage nomade, ada pula urban nomade. Para pencari atau pencahari kebenaran nan luas dan satu itu, senantiasa memelihara rubi di dalam diri. Senantiasa pula merawat “walau”…