Eksplorasi Seni Ala Dwiki Dharmawan -->
close
Pojok Seni
22 October 2021, 10/22/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-10-22T00:00:00Z
ArtikelBeritaMusik

Eksplorasi Seni Ala Dwiki Dharmawan

Advertisement
Duo kulintang Dwiki Dharmawan dan Ferdinand Soputan


Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil. 



Sekira sebulan yang lalu, saya dikontak sahabat nalar saya Ferdinand Soputan, yang dalam pandangan saya, adalah anak muda yang sangat concerned pada musik tradisional kolintang dari Minahasa, yang juga master kajian seni Institut Kesenian Jakarta, memberitahu tentang project music beliau bersama maestro piano Indonesia Dwiki Dharmawan. Sontak penulis kaget mengapa harus saya yang me-menej/mengatur semua, dari akomodasi juga berbagai hal terkait dengan proses recording nanti. 


Kendati demikian, karena rasa ingin tahu dan rasa penasaran untuk melihat cara bermusik sang maestro, penulis pun mulai meladeni setiap hal yang diingini sang maestro, terutama tentang alat musik yang akan digunakan saat rekaman, tempat yang direkomendasikan secara tunggal oleh beliau, serta berbagai hal yang khas Minahasa yang bagi penulis harus menjadi suguhan bagi dia di saat proses yang dimaksud berlangsung. 


Demi mendalami bagaimana pola pikir serta cara pandang sang maestro terhadap musik, penulis mencari beberapa catatan beliau di website. Selain itu, penulis yang pada akhirnya akan menarasikan proses perjalanan recording mereka, diberikan salah satu draft paper yang pernah dibawakan oleh sang maestro dalam forum seminar musik. Dalam paparannya, Dwiki Dharmawan, mengemukakan beberapa poin yang menarik untuk ditelaah. Poin-poin ini akhirnya menjadi fokus penulis dalam refleksi singkat ini. 


Pertama penulis menemukan bahwa sang maestro adalah orang yang sangat matang dengan musik berbasis tradisi yakni gamelan sunda. Bahkan dalam pengakuannya, musik tradisi ini adalah musik yang telah lebih dahulu dia kenal sebelum mengenal dan merambah dunia musik jazz. Sejak usia 3 tahun bahkan beliau telah memperdalam musik berbasis tradisi ini. Selang beberapa tahun, akhirnya beliau mulai mendalami musik lain, dengan aliran yang berbeda dengan musik tradisi yang dia kenal. 


Beliau menuturkan bahwa: Saat mendalami musik blues terasa sekali atmosfir kebebasan berekspresi, sebuah keinginan merdeka yang terarah dalam relung jiwa hati yang terbelenggu. Pengalaman beliau dalam mempelajari musik jazz juga pada akhirnya menyadarkan tentang tiga hal yang merupakan juga tiga semangat yakni: freedom (kemerdekaan), change (perubahan) dan paradox (berlawanan). Dari sini, beliau meyakini bahwa tanpa ada perubahan temasuk di dalam musik, maka tidak akan ada pembaruan, sehingga karena itulah tidak berlebihan jika musik jazz disebut sebagai musik revolusi.


Dalam konteks ini, penulis menemukan bahwa di dalam bermusik juga kita harus membawa pembaharuan, termasuk memberi kebaruan dalam sebuah musik termasuk musik tradisional seni-seni berbasis tradisi. Layaknya musik jazz yang membawa kapasitas bermusik sang maestro menyadari sebuah perubahan di dalam musik, tentu tak bisa dielakkan bahwa konsep berpikir seorang seniman pun tidak bisa diabaikan, dalam arti pembaruan yang akan dibangun haruslah berakar pada konsep berpikir yang ingin merubah sesuatu. 


11 Oktober 2021, penulis yang dipercayakan oleh manajeman Duo Kolintang Dwiki Dharmawan dan Ferdinand Soputan, memulai sebuah petualangan bermusik dalam tajuk rekaman kolintang battle kolintang di beberapa spot di Minahasa. Ketika melangkahi dan mendampingi proses ini, muncul beberapa pertanyaan dalam benak penulis: Pertanyaan pertama adakah sesuatu yang baru yang bisa saya temukan dalam project music yang sangat menantang ini? Kedua, apakah akan ada perubahan dalam cara pandang tentang musik kolintang yang secara jelas dan nyata bisa berkolaborasi dengan berbagai genre dan alat musik lain? Kemudian yang ketiga, mengapa seorang maestro Dwiki Dharmawan suka dengan musik kolintang untuk dikolaborasikan dengan musik piano, yang membesarkan serta menjadi keahlian utamanya?


Jawaban atas pertanyaan ini, tentu tidaklah segampang membolakbalik telapak tangan. Jika kita melihat, pertanyaan pertama di atas, bahwa sesuatu yang baru benar terjadi dalam project music yang dijalankan ini. Bahwa sang maestro adalah orang pertama dengan latar piano jazz berkolaborasi dengan kolintang (melodi) dan direkam di puncak Pulisan Likupang Minahasa Utara, yang merupakan salah satu Destinasi Super Prioritas dalam pengembangan pariwisata di Indonesia. Hal ini adalah sesuatu yang baru, karena sebelum ini, belum terjadi di tengah eksisnya musik kolintang itu.


Jawaban atas pertanyaan kedua adalah demikian, perubahan yang akan terjadi ketika kolaborasi itu terjadi adalah pengetahuan banyak orang, termasuk orang-orang yang tidak sejalan dengan konsep pengembangan kolaboratif musik kolintang dengan musik apa saja dan genre apa saja. Kini, dengan project music Dwiki Dharmawan bersama Ferdinand Soputan hal itu menjadi sangat terbuka dan nyata. Perubahan pola pikir atas musik kolintang yang sangat kolaboratif itu, sangat mendesak untuk ditanamkan. Demikian pun, keyakinan penuh yang harus ditumbuhkan oleh setiap pelaku kolintang adalah kesadaran bahwa musik kolintang adalah musik yang terbuka, musik yang kaya, dan musik yang mengandung nilai filosofis-estetis yang dalam. Dengan keyakinan ini, justru kebaruan yang disasar adalah adanya kesadaran yang semakin tegas bahwa musik kolintang bisa berkolaborasi dengan piano yang bukan kebetulan diperankan oleh sang maestro. 


Sejurus dengan itu, pertanyaan ketiga pun tidak kalah penting untuk dibahas. Menjadi penting karena fakta nya adalah kebesaran dan kehebatan seorang maestro Dwiki Dharmawan, tentu tidak mudah membuka diri pada kolaborasi dengan musik apapun. Namun hal itu tidak berlaku untuk musik kolintang. Beliau dengan penuh keterbukaan sangat ingin untuk berkarya bersama musik kolintang, agar musik kolintang it uterus bergaung dan semakin dikenal banyak orang. Kematangan beliau dalam musik gamelan Sunda yang nota bene berbasis tradisi, tentu menjadi modal untuk beliau bisa menyatu dengan musik berbasis tradisi, dari daerah lain, dalam konteks project music ini, musik kolintang.


Kembali kepada judul tulisan ini, penulis melihat bahwa aktor intelektual dibalik project music ini adalah sang maestro sendiri, Dwiki Dharmawan. Sang maestro dalam beberapa kesempatan diskusi selalu mengawali pembicaraan dengan sebuah fakta bahwa beliau lebih dahulu mengenal musik berbasis tradisi dibandingkan musik klasik, termasuk alat musik yang dia kuasai, maka tidaklah mengherankan bagi para pelaku musik tradisional seorang sosok Dwiki Dharmawan mau untuk terlibat dalam musik kolintang, tentu dengan cara dan model beliau sendiri. Bahkan beliau mengatakan, musik sebagai ekspresi bebas seorang subjek menjadi semakin komplit dan lengkap jika dikolaborasikan. 


Akhirnya, project music yang dilakukan oleh sang maestro ini merupakan bagian dari eksplorasi beliau dalam dunia musik. Beliau yang telah lebih dari 30 tahun terjun di dunia musik dan tentu saja industri musik, tentu merasa bahwa musik kolintang pun bisa bergaung seperti musik-musik berbasis tradisi lainnya, sehingga kita sebagai pelaku musik kolintang harus pula memiliki keyakinan yang sama bahwa musik kolintang harus berkolaborasi, karena kolaborasi adalah juga berakar pada pola pikir untuk mengatur model dan cara pengembangan ke depannya. Salam Musik, Thanks to Maestro.


(Penulis adalah Dosen Filsafat Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Filsafat-Pegiat Seni) 

Ads