Catatan Pamonaspati: Pulanglah oleh Teater Embrio Yogyakarta -->
close
Pojok Seni
31 October 2021, 10/31/2021 04:00:00 PM WIB
Terbaru 2021-10-31T09:00:00Z
Resensiteater

Catatan Pamonaspati: Pulanglah oleh Teater Embrio Yogyakarta

Advertisement


Oleh: Rudolf Puspa, Teater Keliling Jakarta


Monolog di hari ke empat parade monolog nasional yang diselenggarakan Pelaku Teater Indonesia menampilkan karya & sutradara Luwi Darto berjudul “Pulanglah”. 


Baru beberapa kali menyaksikan karya2 Luwi lewat virtual terasa terguncang ke Jawaanku. Semakin yakin aku bahwa karya teater menjadi terasa penuh daya sentuh ketika mampu menghidupi budaya yang melekat didalam diri sang penggarap. Bagaimanapun seniman tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Justru ini merupakan kekuatan yang merupakan fondasi dalam membangun sebuah karya. Apakah berujut rumah dinding papan, bambu, bata, bertingkat, ataupun kandang kerbau dan sebagainya. Yang pasti bangunan memerlukan fondasi yang akan menopang sebuah karya bangunan.


Garapan ini menampilkan set yang boleh dikatakan realis walau hanya menampilkan simbol2nya saja. Ada gantungan pakaian dan kuda kepang, ada kompor gas dan juga menjadi ruang makan. Di ruang yang terbatas inilah aktris perlu memiliki kekuatan daya imajinasi dimana melalui kata dan kalimat yang didukung gerak akan menjadikan ruang tersebut jadi kamar tidur, dapur, ruang makan dan sebagainya. Bagi saya set yang dibangun sangat menantang aktrisnya yang akan membuktikan bahwa salah satu kekuatan aktor adalah daya imajinasinya. Bahkan tanpa set prop atau handprop atau wardrobe atau tata cahaya dan musik harus mampu memunculkan sebuah ruang dimana sedang berada atau yang diceritakan. Tentu ketelitian dalam mengatur set perlu sehingga logika berpikir kita terjawab ketika melihat kompor gas diatas meja yag dibalut kain batik; apa mungkin dalam kenyataan itu terjadi? Memasak kangkung dan ketika membawa ke ruang makan kangkung sudah di mangkuk yang diambil dari bawah meja. Artinya ketelitian menggunakan property perlu bagi seorang pemain teater. Melihat Kembali rekaman videonya lalu pasang logika, pasti akan bisa terlihat hal2 yang perlu ketelitian. 


Misalnya sang penari jatilan mengatakan “dulu” waktu masih muda tentu akan lebih terasa jika ada kejelasan tahun berapa sehingga tergambar gadis umur berapa itu jika ditarik ke umur sekarang di mana cerita ini dimainkan. Bisa juga ditentukan gadis umur berapa dan kini tahun 2000 misalnya. Maka gaya warna acting ketika menceritakan flashback percintaannya pasti tampak terasa menjadi gadis umur sekian. Demikian pula ketika menari kuda kepangnya akan lebih mantap karena menari ketika masih gadis remaja dengan setelah menjadi istri mestinya ada bedanya. 


Penguasaan pemain terhadap costume tentu merupakan keharusan. Dengan demikian akan mengurangi kesan kesulitan ketika membuka pakaian tarinya. Logikanya seorang penari tradisional sangat kenal dengan costumenya, tau banget di mana selotip ditempatkan sehingga tau harus dilepas dan ditaruh dimana. Terlebih costume yang menjadi kebanggaannya, kecintaannya maka dalam meletakkan di gantungan tentunya akan sangat penuh rasa sayang. Akan tampak wajar saja lepas pakaian sambil ngomong.  Maka gantungan pakaian yang sudah ada topi yang ditata apik menjadi lebih artistik ketika ditambah dengan pakaian tari yang disayanginya karena punya nilai sejarah baginya. Beda dengan penari modern masa kini tinggal bentangkan tangan dan sang penata costume yang memakaikan dan melepaskannya. Salah satu kegiatan agar antara costume, handprop melekat dalam diri pemain yakni  bawa ke kamar tidur pemain dan pandang selalu tiap mau tidur dan ketika bangun tidur pagi harinya. Lama-lama akan menjadi teman dan sangat akrab hingga kenal sedetail-detailnya. Sering mencoba memakai dan melepas. 


Nguleg sambel di cobek di atas kompor barangkali bisa terjadi karena sempitnya dapur; walau terasa risih juga mengingat orang Jawa sangat teratur dan rapi dalam menata dapurnya; paling tidak menurut catatan pengalaman masa kecilku tahun 1950-an. Tentu akan lebih terbawa suasana melihat bahwa memang itu dapur yang segala peralatannya tertata rapi dan sang penari memang terbiasa bekerja di dapur tersebut dimana tempat nasi, sayur, bumbu, dan sebagainya ada tempatnya.


Menari. Masa remaja atau gadis. Pacaran. Nikah. Punya anak. Musibah. Berontak. Kembali ke ajak makan. Sadar kenyataan dan puncak amarah terjadi. Habis. Kehebatan pemain sandiwara adalah dalam penguasaan waktu dalam perubahan2 suasana batin yang harus diexpresikan. Sandiwara memang dibatasi oleh ruang dan waktu. Itulah kehebatan dan kesulitan serta keindahannya. Mengukur emosi itulah senjata yang ampuh untuk mewujutkan jalinan jalannya cerita sehingga mengalir dalam irama yang tepat mulai dari bawah hingga ke klimaksnya. Dalam hal ini sudah terlihat ada rangkaian yang dibangun pemain. Yang perlu lebih digali adalah rangkaian emosi atau rasa yang ada didalam batin pemain. Dari kebanggaan masa lalu, kegembiraan yang romantik hingga ada cletukkan “kalau kena goyangan…” hingga berlanjut adanya kenyataan hari ini terkena musibah yang selalu diwartakan lewat suara sirine ambulans. Namun masih bisa sebentar kembali ke romantika makan bersama suami dan anak; ini suatu permainan emosi yang dahsyat untuk memainkannya.  Melihat Tri memainkannya aku gemes kebawa alunan emosi yang kurasakan namun beda gregetnya dengan yang kulihat. Tapi terima kasih Tri engkau telah memberi cubitan yang membangkitkan kesadaran bahwa aku masih aktor.


Selintas muncul pendapat jika peran anak dihadirkan secara abstrak yang dimainkan oleh sang aktris pasti akan lebih terasa “nggrantes” (maaf nih Bahasa Indonesianya apa ya?) dan monolog memungkinkan hal seperti itu. Begitu juga sang kekasih.  Namun dibutuhkan kecermatan dan ketrampilan pemain tentunya untuk berubah2 peran dalam waktu yang sangat singkat. Apalagi dengan ukuran tubuh yang super pasti banyak kesulitannya namun banyak juga menghasilkan tontonan yang menarik bahkan bisa menimbulkan efek2 komedik. Seperti duduk bersama untuk makan. Bagaimana suami merespons, bagaimana si anak merespons waktu mau disuapi…. bisa sangat lucu namun tetap penuh kesedihan dengan badan super berpindah2 tempat dengan cepat. Perlu Teknik yang khusus dan bisa kok diciptakan. Wah jadi penasaran untuk memainkannya. Bila Luwi mengijinkan tentunya.  


Masalah teknis sering menjadi kendala walau jika di panggung tetap “the show must go on”. Tentu berbeda dengan film yang jika salah bisa diulang. Walau ada alasan yang bisa dikemukakan namun dengan terjadinya gambar yang sampai kepala ilang misalnya seharusnya tidak terjadi. Sepertinya ini sebuah risiko sebuah kerjasama dimana apa yang bagi penyaji sudah merasa oke bisa berubah ketika masuk dapur penyelenggara yang barangkali sadar atau tidak mengotak atik untuk keperluan yang dirasa penting dan tanpa sadar terkorbankan karya orang lain. Namun perlu kita terima kenyataan bahwa apapun yang terjadi orang nonton karya seni tentu ingin yang terbaik. Tak perduli urusan dapurnya bagaimana. 


Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Akan sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.


Dalam hal ini Tri tampak sudah melakukan dengan arahan sang sutradara yang kebetulan juga penulis naskahnya sehingga akan lebih luas memberikan gambar yang akan dipotret pemainnya.


Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya.


Salam jabat erat teman-teman.


Jakarta 21 Agustus 2021

Ads