Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa
email: pusparudolf@gmail.com
Pertama yang kutanyakan adalah siapa penyadur atau penterjemah karya Anton P Chekov ini. Penting juga untuk ditulis sebagai penghargaan atas karyanya yang tentu sudah bekerja penuh hingga menjadi naskah utuh untuk monolog.
Kebetulan saya cukup banyak memainkan naskah ini yang diterjemahkan Teguh Karya. Juga melihat langsung bagaimana Teguh bermain dengan Hengky Sulaiman. Bagiku ini naskah yang sangat menarik dimainkan oleh seniman yang berprofesi sebagai aktor. Hal ini aku buktikan ketika umurku sudah 70 tahun punya pengalaman panjang yang senafas dengan nyanyian angsanya Chekov. Sebuah suasana batin sepi sepanjang umur namun tetap tegar dan tak menyerah dan rendah hati sehingga tetap membutuhkan pelatih. Kutemukan rasa nikmat dan bangga memainkan naskah indah ini karena mampu mewartakan diriku.
Saudaraku bung Dumamalam Harahap. Horas.
Teknik nafas bung memenuhi syarat keaktoran bung. Dalam berdialog tercatat begitu lancar dari awal hingga akhir. Untuk hal yang ini tentu perlu diingat bahwa antar kalimat tentunya ada titik, koma, tanda seru, tanda tanya dan seterusnya. Oleh karenanya diperlukan daya teknik phrasing dalam berdialog. Jeda antar kalimat, antar alinea akan membentuk suasana batin apa yang sedang terjadi dalam kalimat2 atau alinea tersebut. Ada tiga tekanan yakni dinamika, tempo dan nada yang saya yakin bung sudah memilikinya.
Tiga teknik tersebut sangat penting bagi mendukung pengucapan aktor sehingga bukan lancar dalam hafalan namun juga memiliki daya yang tersirat dari tiap kata, kalimat dan Alinea. Hal ini juga yang akan memiliki daya bagi terbentuknya irama pengucapan dari awal hingga akhir.
Irama adalah perubahan dari saat ke saat sejak awal hingga akhir pertunjukkan. Bukan hanya perubahan irama bicara namun juga gesture, suara, gerak tubuh, bloking yang bagai serdadu yang berangkat ke medan perang hingga mencapai sasaran yang di teater disebut klimaks. Selama perjalanan tentu ada saja halangan, hal2 yang diluar rencana yang muncul yang mana diperlukan daya improvisasi yang justru menjadi kekuatan sang aktor karena disaat itu akan terasa “asli”nya aktor apa memang cerdas atau mesin teknik.
Ada pertanyaan elementer bagi aktor ketika mempelajari peran yang selalu mengusik karena harus dilakukan sejak awal ketika menerima casting. Apa siapa mengapa dimana kapan dan bagaimana. Dengan demikian akan menjawab peran yang dimainkan itu secara jelas dan terasa bagi penikmatnya baik lewat panggung atau layar kaca. Tentu hubungannya dengan peran bung di nyanyian angsa rasanya ingin bertanya peran bung itu orang Rusia atau Indonesia. Satu hal ini saja masih bisa meluas misalnya suku, etnis, budaya, agama dan seterusnya misal umur, tinggi pendeknya, gemuk kurusnya dan sebagainya. Cuaca ruang sejuk dingin atau panas hangat misalnya. Dengan demikian akan menentukan wardrobenya, riasnya, set ruangnya, property, hand prop, cahaya.
Movement tentu memiliki garis cerita tersendiri yang merupakan lukisan yang tentu saja tebal tipisnya, kasar halusnya, cepat lambatnya ada motif2nya. Bukankah teater mengatakan bahwa apapun yang ada dan terjadi di panggung selalu ada motifnya. Kecil atau besar atau sedang terpulang penggarapan aktor sesuai kebutuhan mendukung suasana batin sang peran. Jika pada lukisan terjadi garis yang dicoret berulang kekiri lalu kekanan terus menerus maka akan menjadi semakin tebal tentunya. Demikianlah di panggung juga terjadi. Penebalan inilah merupakan penekanan suasana batin yang terus berubah. Sering aku berpikir bahwa bloking yang bolak balik melulu tanpa ada penebalannya jadinya seperti setrikaan ketika menyeterika baju.
Ada teknik yang bisa banyak menolong aktor dalam ciptakan bloking. Yakni selalu membuat garis segitiga. Ini untuk menghindari garis bolak balik. Boleh segitiga sama sisi atau siku dan aneka bentuk. Bisa juga melengkung dan seterusnya. Apalagi jika bermain sendiri maka hal ini sangat bermanfaat untuk menghilangkan monoton bloking. Di ruang yang sempit tentu aktor perlu tidak obral bloking. Sedikit bergerak namun kuat motifnya. Dari pengalamanku mengatakan Ketika masih muda memang rasanya mau gerak saja, namun semakin tua akan semakin irit dan justru banyak ditempat sehingga gesture jauh lebih muncul dan bicara. Bukankah ini terjadi dalam hidup sehari2 juga? Nah pelajaran terbaik dan termahal adalah kemampuan aktor terus menerus pasang mata dan telinga dalam hidup sehari-hari.
Parade monolog menjadi pestanya para aktor yang kebagian waktu. Saya gembira menyambutnya terlebih sejak teater keliling beralih ke generasi kedua maka ketuaan saya menyadari untuk iklas memberikan ruang kepada aktor2 muda. Bahkan Ketika pentas2 besar dilakukan karena teman2 muda mengingat saya juga akor lalu diberikan ruang diawal sebelum pentas mulai maka aku bermonolog didepan panggung atau ditengah penonton. Jika kepanjangan ada yang datang dan mengatakan waktunya gantian. Hahahaha unik dan nikmat rasanya. Kerjasama si tua dan si muda yang tetap akrab karena sejatinya aktor tak ada muda atau tua dalam arti karya seperti kata nyanyian angsa……… butuh pelatih…pelatih…pelatih…
Selamat bekerja habis2an untuk seterusnya. Horas.
Jakarta 20 Agustus 2021.