Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa
(email: pusparudolf@gmail.com)
pojokseni.com - Saya mohon maaf bila dalam catatan ini disana sini ada terselip semacam “puja puji” kepada karyaku sendiri. Padahal saya sendiri selalu mengatakan “puja puji” hanya untuk Tuhan. Ya bisa dimaklumi bahwa kita ini terlalu lama mendapat ajaran untuk selalu hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Namun aku berusaha untuk menyadarinya dan juga mendengar apapun tanggapan siapapun darimanapun. Aku menunggu tanggapan anda. Terima kasih.
Sejak awal kepala suku Pelaku teater Indonesia telah menetapkan aku mengisi monolog di hari pertama sebagai pembuka acara. Awalnya aku minta di hari terakhir saja namun kemudian berubah pikiran dan kembali ke awal saja. Mohon maaf pak kepala suku atas mencla menclenya aku pada perhelatan agung pamonaspati 2021 ini. Senang telah dikirim maaf dan menjadi obat penenang yang lebih kuat dibanding vaksin corona yang telah dua kali aku terima. Terima kasih pak kepala suku.
Dalam waktu singkat sekitar dua minggu aku menyiapkan naskah dan memilih pemain dan latihan serta syuting dan editing. Naskah cepat selesai karena menulis dengan sudah tau siapa yang akan memainkan selalu terasa lebih lancar. Problem2 yang aku ungkapkan kuambil dari yang sudah ada pada diri sang pemain sehingga kata2 yang muncul tidak asing bagi pemainnya. Dari awal sudah kebayang yang main cewek yang umumnya sedikit banyak termasuk jenis yang penggemar budaya ngrumpi. Bagi aku menulis tentang ngrumpi ini menjadikan aku terbebas dari teori bahwa membuat cerita mesti ada urutan atau saling keterhubungannya antar kalimat atau antar alinea atau antar kejadian2. Terlalu banyak hal yang ada di benakku yang bisa aku keluarkan sementara waktu dibatasi maksimal 30 menit. Ya harus diterima karena pertunjukkan teater memang kedahsyatannya justru memiliki keterbatasan dalam hal waktu dan ruang. Jadilah naskah ngrumpi yang lalu kukirim ke pemain, dop, pimpro. Aku termasuk sutradara yang senang kerja dengan sedikit crew dan sedikit pemain karena kegiatanku keliling yang untuk negeri zamrud katulistiwa ini belum memungkinkan membawa rombongan lebih 10 orang. Namun aku tidak menolak bikin pertunjukkan kolosal karena memiliki kenikmatan yang khusus.
Dalam casting aku punya perhitungan utama adalah ketersediaannya waktu untuk berlatih. Aku harus memilih pemain yang memang sudah siap paling tidak punya jam terbang yang cukup sehingga problem teknik acting sudah bukan gangguan utama. Lalu aku memiliki kepercayaan kepada pemain yang aku pilih sehingga menjaga ketenangan dalam berkarya sebagai sutradara. Aku punya catatan tentang pemain2ku yakni yang memiliki bakat alam dan yang tidak. Biasanya yang bakat alam sedikit jumlahnya. Pengalamanku mencatat bekerja dengan pemain yang secara alamiah siap memang sangat enak. Sehingga dalam latihan jauh lebih banyak ngobrolnya dibanding prakteknya. Ada satu kekuatan yang kujumpai pada pemain yang berbakat alam adalah ketika mendengar keterangan sutradara dan membaca naskah terasa sekali seperti sudah kenal dengan karakter perannya. Cuma kelemahannya tidak saat itu juga bisa melakukan apa yang dia dengar dan baca. Namun hebatnya besoknya datang latihan sudah menunjukkan kemampuannya melakukan apa yang kemarin dibincangkan. Uniknya Greta pemain teater keliling yang memiliki teknik menghafal dengan cara menulis kembali naskahnya dengan pena bukan laptop atau hp. Bisa jadi berkali kali mengulang menulis dan menurutnya itu cara dia cepat hafal. Kecepatan menulis juga seirama dengan emosi apa yang sedang terjadi pada perannya. Sutradara bicara apa saja langsung dicatat di naskah itu bagai mahasiswa di ruang kuliah mendengar dosen bicara. Ada lagi pemain lain karena dia kuliah akademi asisten apoteker kemudian kebiasaan membaca huruf sebagai simbol2 pelajaran kimianya misalnya “h2so4” dan sebagainya maka ketika menghafal naskah ia membaca kata dan kalimat adalah huruf2nya. Wah ini anugerah yang tidak setiap orang memilikinya. Ada yang direkam dan didengar kembali maka cepat hafal dan ada yang harus dibacakan orang lain dan didengar saja maka hafal.
Kebiasaanku pemain diajar mandiri seperti menciptakan costume, tata rias, handprop sehingga Greta begitu terima naskah langsung mulai reading pertama secara online dan seterusnya hari2 latihan tatap muka dengan bloking, gerak atau apapun yang telah dia siapkan sendiri. Design costume dan tata rias juga sudah diketemukan. Semua tinggal dibincangkan baik dengan sutradara maupun dop, asisten kamera, pimpro dan astradara. Ngirit tenaga dan juga last but not least dana yang tersedia (hehehehe). Pada dasarnya telah menjadi pola kerjaku yakni lebih memberikan kebebasan aktor berexperimen. Banyak orang menyebutkan “teater aktor”. Lalu dari apa yang pemain lakukan maka aku akan terpancing untuk menambah atau mengurangi sehingga menjadi karya bersama. Bukankah karya seni teater adalah hasil kerja kolektif? Inilah hal yang tidak mudah dalam hal mendengar dan melihat. Maaf banyak sutradara kurang kuat dalam melihat dan mendengar pemain2nya. Selalu bertitik tolak dari diri sutradara. Tentu tidak salah jika memang memilih begitu sehingga banyak dikatakan sebagai teater sutradara. Ya pemain jadi anak wayang kulit atau golek saja terserah dalangnya mau diapain.
Melenceng sedikit, sering aku merasakan bahwa dalam kehidupan sehari pun kelemahan bangsa ini adalah dalam hal pasang mata dan telinga. Hanya keras kepala untuk dengar dan lihat diri sendiri sehingga akhirnya saling merasa benar sendiri. Lalu dimanakah ajaran sila ke empat kita tentang musyawarah untuk mencapai mufakat? Padahal akibat saling keras kepala maka yang terjadi adalah kekerasan dalam bentuk apapun sering muncul kepermukaan. Celakanya dengan kepiawaian para pemimpin yang berhaluan “merasa benar sendiri” maka ajaran2nya menjadi dogma yang mencuci otak pengikutnya hingga tega membakar dirinya demi tujuan yang sebenarnya “entah”. Hehehe stop sampai di sini saja tentang hal hal yang menyinggung politik.
Karena lebih banyak tidak menguasai ilmu perfileman yang memiliki kekuatan yakni kamera dan editing maka dalam hal ini aku juga harus memilih teman kerja yang memang menguasai bidang ini. Kebetulan ada anggota teater keliling yang kuliah di perfileman IKJ yang sudah waktunya membuat tugas akhir. Aku sampaikan apa yang diutarakan Ki Slamet Raharjo sahabat teaterku bahwa kamera itu bukan sekedar menjadi alat dokumentasi tapi dia juga memiliki daya imajinasi tentang apa yang sedang terjadi di hadapannya. Nah kameramennya perlu ikut menggambar imajinasi sang peran lewat kameranya. Pascal sang dop manggut manggut sambil mencoba menerjemahkannya. Tentu harus bekerja keras untuk hal yang barangkali baru baginya. Maka ia memilih untuk menggunakan satu kamera dan ia akan bergerak menangkap permainan Greta. Ini merupakan kerja experimental dalam penggarapan monolog Ngerumpi.
Tentu tidak selalu memuaskan sebuah karya dan hal ini justru merupakan asupan sehat untuk memicu semangat berkarya selanjutnya bahkan secepatnya sebelum lupa kelemahan apa yang sudah terjadi. Banyak adegan yang diambil close up atau medium yang tentu Pascal memiliki alasan yang barangkali berimprovisasi dengan kamera ternyata tidak mudah walau sudah menyiapkan scenario shoot. Aku masih kurang puas karena masih ingin banyak longshoot sehingga permainan Greta yang fullbody yang bagiku cukup meruang dimana ia memiliki keberuntungan2 dari ukuran bodinya yang tidak pernah disesali atau membuatnya malu itu bisa tertangkap. Siapa bilang gemuk tidak memiliki keindahan yang kuat daya tariknya? Greta punya keyakinan dalam hal ini yang aku banggakan. Aktris dan kameramen berimprovisasi di ruang yang tersedia dan ini merupakan pemandangan tersendiri ketika sedang mereka lakukan. Sayang aku tidak merekam bagaimana mereka saling kejar saling mundur dan sebagainya. Padahal kejadian ini bisa menjadi sebuah pertunjukkan tersendiri dan kini menjadi ide untuk menuliskan sebagai sebuah naskah.
Jika ada kekurangan dapat kita rasakan memainkan suasana ngerumpinya masih kurang “ngerumpi” seperti dalam bayangan kita ketika melihat orang ngerumpi. Apalagi ngrumpi sendirian pastilah menjadi beda bentuknya dan itulah tantangan seorang aktris ketika berkarya seni acting. Dibutuhkan daya improvisasi yang kuat sehingga memiliki kecepatan dalam mengatasi hafalan yang hilang yang seorang Gretapun harus mengalaminya. Jadikanlah hal negatif menjadi positif. Untuk itu diperlukan selalu menyadari apa yang sedang dimainkan sehingga tau kesalahan dan segera menjadikan positif. Kebetulan ada yang hilang merupakan kalimat yang aku sebagai penulis sangat penting. Namun ikhlas juga karena hal itu tidak merusak jalannya cerita. Suka tidak suka menjadi masalah pribadi sebab sebuah pertunjukkan tentu ada nilai2 yang bersifat umum dan diterima umum dan rasanya itu yang terpenting harus kita pilih didahulukan.
Setiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain di panggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan dan jika bisa juga menjawabnya. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Akan sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya.
Selamat bekarya habis-habisan. Puji Tuhan memberkati.
Jakarta 18 Agustus 2021.