Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa
(email: pusparudolf@gmail.com)
Karya Asia Ramli Prapanca sobatku dari Makasar berjudul Amma Toa dimainkan oleh Arham. Aktor muda yang masih punya ruang dan wktu untuk bertumbuh kedepan sehingga menambah keyakinan bahwa pentas monolog di Indonesia semakin dibutuhkan oleh bangsa; bukan saja hanya lingkungan seniman teater.
Pertama menyaksikan monolog ini timbul pertanyaan tahun berapa karya ini ditulis bung Ramli? Dari awal hingga akhir pertunjukkan imajinasiku tak lepas dari gambaran zamannya orde baru 32 tahun. Gambar yang sehari2 sudah bukan rahasia umum dan tak pernah ada penyelesaian. Demikian pula melalui karya yang menyentuh hati ini masih menyisakan pertanyaan solusi apa yang ditawarkan. Barangkali seperti zaman orba dulu memberi usulan solusi yang menguntungkan pihak yang dirugikan justru mengundang penderitaan lebih lanjut. Namun sebagai sebuah karya seni tentu ingin mendapat pencerahan, paling tidak asupan yang segar bagi harapan yang indah walau belum tentu terjangkau.
Jika melihat cerita tersebut dihadirkan di era yang disebut era reformasi tentunya ada harapan melihat potret hari ini. Saya berpikir positif bahwa kejadian seperti ini masih saja ada terjadi walau saya tidak banyak mencatat di mana daerahnya. Masihkah tentara menjadi garda depan dan menembaki yang melawan mereka? Bukankah kini ABRI sudah di rubah menjadi TNI yang artinya dalam problem dalam negeri maka polisi adalah digaris depan. Seperti kita ketahui di era pemerintahan tahun 2021 ini polisi sudah tidak bawa senapan namun hanya pentungan dan tameng. Jika ada senapan hanya untuk menembakkan gas air mata. Semua jawabannya tentu ada pada sutradara yang menggarap naskah monolog ini yang saya yakin punya argumentasi serta pesan tersirat dalam membawakan monolog yang sangat peka rasa ini. Kita boleh mendapatkannya bila berkenan memberi.
Sebuah pertunjukkan teater apapun bentuknya tentu memiliki pesan atau misi dari penggarapnya. Bukan hanya penulis naskah, sutradara tapi juga aktor aktris serta seluruh crew pendukungnya. Tentu sutradara yang punya “pesan” khusus yang mesti didukung seluruh pekerjanya. Namun tidak tertutup kemungkinan tiap pekerja terutama aktornya juga punya pesan2 yang tersirat yang tentu didiskusikan dengan sutradaranya sehingga tidak berjalan sendiri2. Misi dari sebuah tontonan teater akan sangat penting karena itulah roh dari pertunjukkan.
Khusus kepada aktor Arham yang memainkan Amma Toa tentu dalam dirinya ada roh yang kuat yang merupakan nafas seluruh actingnya. Apa yang mau disampaikan melalui Amma Toa ini? Apa yang digelisahkan? Apa yang dilawan? Seberapa kuat amarah, kekecewaan terhadap kebijakan yang muncul didepan mata yang sangat melukai perasaannya ditambah perasaan rakyat? Lalu alasan apakah yang paling mendasar sehingga menggerakkan orang sekitarnya untuk melawan. Ia yakin dengan kekuatan bambu yang menyatu pastilah perjuangan akan menang.
Inilah heroisme yang sangat kuat ada di naskah Amma Toa. Disinilah aktor perlu mendalami heroisme macam apa peran yang dia mainkan? Apa memang sudah sama dengan yang ada dalam diri pemain atau karena belum punya maka harus melakukan observasi keluar sehingga mendapatkan foto orang muda yang berdarah hero sehingga berani memimpin perlawanan. Dalam hal ini tentu saja sutradara perlu memberikan gambaran seorang hero. Jika menganut teater sutradara maka sutradara akan mencetak pemain dengan memberi contoh agar aktor menirukan seperti apa yang dicontohkan. Tapi jika teater aktor maka sutradara akan lebih banyak memberikan ruang bebas aktor melanglang buana mencari sendiri dan kemudian sutradara tinggal menyaksikan dan barangkali hanya bisa berkata sudah atau belum terasa hero yang dibangun.
Tata cahaya perlu lebih ditata sehingga expresi wajah pemain bisa jelas tertangkap apalagi melalui kamera bisa ditangkap secara close up. Warna merah sering menenggelamkan expresi wajah sehingga perlu menambahan garis2 cahaya warna putih. Penggunaan asap putih perlu diperhitungkan apakah cukup dipojok pohon saja atau seluruh ruangan. Kemudian sang aktor juga tentu memiliki kewajiban merespons untuk menghidupi dirinya yang berada dalam asap putih sementara warna cahaya merah.
Disetiap catatan yang aku tulis tak henti2nya aku ingatkan bahwa aktor harus selalu memulai mempelajari peran dengan menjawab pertanyaan “apa,siapa,mengapa,kapan,dimana dan bagaimana”. Dengan demikian kita bisa melihat dan merasakan secara utuh pemain dipanggung ini siapa sedang berada di mana dan kapan lalu apa sih yang sedang terjadi pada dirinya kemudian bagaimana menyampaikan dan jika bisa menjawabnya. Mungkin di naskah tak ditulis umur berapa, tempat tinggal di mana, masih punya orang tua atau tidak, adik kakak atau masih bujangan, masih sekolah atau sudah kerja dan kerja apa, profesinya apa dan seterusnya seperti umumnya tiap kita punya catatan biografi. Jika di naskah tak ada maka aktor wajib mencari tau dan menetapkan sendiri. Akan sangat berguna bagi menunjukkan karakter sang peran.
Parade monolog merupakan pestanya para seniman teater di Indonesia untuk berkiprah dan menjadikan pijakan kuat untuk tinggal landas menuju teater Indonesia seutuhnya bukan hanya bagi sesama seniman namun bagi seluruh bangsa Indonesia. Syukurlah bila berhasil merangkul yang tadinya tidak tau teater jadi kenal dan merasa membutuhkannya.
Selamat berkarya habis habisan.
Jakarta 19 Agustus 2021