Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa*
Seperti halnya sejarah yang terus menerus berkembang maka apa yang kita kenal dengan dramaturgi juga terus menerus berkembang. Perlu dipahami bahwa dramaturgi disuatu tempat akan berbeda dengan tempat lain. Dramaturgi Yunani purba beda dengan abad pertengahan Eropa. Perbedaan ini menyangkut adanya pengaruh kebudayaan yang berbeda. Misalnya dramaturgi ketoprak di Jawa, Arja di Bali, Lenong di Betawi dan banyak lagi di Indonesia yang begitu melimpah ruah kebudayaannya yang akan mempengaruhi dramaturgi di daerah masing-masing. Sangat menarik dipelajari bahwa berbagai latar kebudayaan yang berbeda-beda berusaha untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, emosi melalui apa yang disebut seni drama, teater atau sandiwara. Tiga sebutan tersebut sama artinya dan saya lebih senang memakai kata “sandiwara” karena memiliki pengertian “sandi” yang di “warakan”.
Bicara tentang sandiwara saya selalu ingat bahwa hasrat manusia sejak lahir adalah kecenderungan untuk meniru. Lihatlah anak kecil akan selalu meniru apa yang diperbuat orang tuanya terutama ibunya yang takdirnya paling dekat sejak bayi lahir dari kandungannya. Celakanya zaman modern ini banyak bayi membesar diasuh oleh pengasuh sehingga jika mereka lebih mengikuti apa yang dilakukan pengasuhnya tentu bisa dimaklumi. Hasrat meniru ini sudah ada sejak zaman primitif. Misalnya ketika akan berburu maka mereka berkumpul dan sang pemimpin menirukan gerak binatang buruannya dan semua jadi paham binatang yang akan diburu. Lalu suaranya dan selanjutnya ditambah dengan bunyi2an. Maka sejak zaman primitif sandiwara sudah terjadi. Bisa disebutkan bahwa sejak awal manusia berarti sandiwara sudah menyertai untuk hadir.
Menurut Aristoteles sejak zaman Yunani purba sandiwara dibagi menjadi dua bentuk yakni:
Tragedi.
Pertunjukkan sandiwara tragedi membuat penonton merasa ngeri dan belas hingga timbul pencucian jiwa. Penonton goncang hingga lemas dan bergetar betapa dahsyatnya takdir. Usai nonton bersyukur jika hidupnya tidak mengalami hal buruk dan menyadari bahwa ada yang lebih dahsyat yang menguasai bumi seiisinya. Sandiwara tragedi bisa menjadi katarsis; sehingga jangan dianggap hanya membuat sedih bercucuran air mata atau kecengengan-kecengengan lain saja.
Komedi.
Sandiwara komedi mengungkap kelemahan2 manusia dengan cara menggelitik. Penonton dibuat bukan sekedar merasa lucu namun justru mampu menangkap yang buruk dan baik sehingga menjadi tuntunan hidupnya. Maka sangat tepat dikatakan sandiwara lucu menjadikan pemain dan penonton bersama2 menertawakan diri sendiri.
Oleh karenanya sandiwara komedi memerlukan pemain yang cerdas dan kritis. Tidak salah jika kemudian sering dikatakan jika ingin melihat peradaban bangsa lihatlah sandiwara komedinya. Tinggi rendah leluconnya adalah tinggi rendah peradaban bangsanya.
Melodrama
Melodrama baru muncul pada zaman Eropa abad 19. Pertunjukkan yang mengupas suka duka kehidupan nyata manusia. Pemain dan penonton akan terlatih menjadi peka perasaan terhadap berbagai kerumitan hidup. Rasa haru yang terjadi tidak seperti sandiwara tragedi. Lucu yang mengharukan karena timbul rasa suka dan duka serta jalan terang kedepannya.
Masyarakat seringkali mengartikan kebudayaan sebagai kesenian. Padahal, kebudayaan memiliki arti yang lebih luas dari kesenian. Kesenian hanyalah salah satu unsur dari kebudayaan. Dilansir dari buku Pengantar Antropologi (1991) karya Koentjaraningrat, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar. Sehingga dapat dipahami bahwa kebudayaan ada di tengah-tengah masyarakat, muncul dalam tingkah laku, dan dipelajari. Jadi, kebudayaan tidak muncul begitu saja, melainkan muncul karena dipelajari. Kebudayaan memang harus dipelajari. Salah satu pembelajarannya melalui enkulturasi, yaitu proses sosial budaya yang dipelajari dan ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Setelah mengenal apa itu teater dan kebudayaan maka terbukalah mata hati kita bahwa seni yang menjadi salah satu unsur kebudayaan merupakan salah satu kegiatan yang boleh dikatakan wajib kita lakukan. Berkesenian akan menjadi salah satu pilar pembangunan karakter manusia secara individual dan bangsa secara komunal.
Pengalaman saya lima puluh tahun hidup sepenuhnya dilingkaran seni sandiwara Indonesia telah memberikan keyakinan bahwa banyak hal dapat menjadi tuntunan dalam membangun karakter hingga menemukan kepribadian sebagai manusia sebagai individu serta bagian dari apa yang disebut masyarakat. Mempelajari seni sandiwara bukan selalu harus menjadi seniman sandiwara. Karena sandiwara juga merupakan salah satu ilmu maka siapapun memiliki kebebasan untuk mempelajarinya dengan target atau tujuan yang terpulang masing2nya.
Pengalaman puluhan tahun berkecimpung di panggung-panggung sandiwara memainkan ratusan peran telah menyadarkan saya bahwa selama itu saya sadar atau tidak telah belajar apa yang disebut “karakter”. Mengenal peran berarti mempelajari karakter peran dan itu yang akan dimainkan di panggung. Begitu seringnya mempelajari karakter yang berbeda-beda maka kita memiliki bank karakter dari yang buruk sampai terburuk serta baik dan terbaik bahkan yang paling baik. Kembali ke awal bahwa hasrat manusia sejak lahir yakni meniru maka ketika dewasa dari meniru akan sampai pada pemahaman mana yang baik dan buruk. Maka akan sampai pada kesadaran untuk memilih yang baik sehingga menetap dalam dirinya. Dengan demikian kita akan menemukan jawaban dari pertanyaan klasik “Siapa diriku? Bagaimana karakterku? Apa kepribadianku?”
Kehebatan ilmu sandiwara adalah melatih untuk mampu ”menjadi”. Menjadi remaja patah hati, pemuda atau pemudi pemabok, anak muda kutu buku, profesor, polisi, hakim, maling, pembunuh dan sebagainya. Dari “menjadi” macam-macam itu akhirnya akan tumbuh pertanyaan yang mana “aku” ini? Sudahkah menjadi diri sendiri? Jika terjawab maka akan timbul rasa percaya diri yang tangguh dan unggul. Lalu haruskah menjadi seniman baru bisa menemukan jati diri? Saya katakan tidak. Berkesenian bukan berarti hanya bisa dilakukan oleh seniman. Punya hasrat pada keindahan itu sudah awal berkesenian yang tepat. Dengan melihat pameran lukisan, baca buku sastra, mendengar musik, lihat tari, pentas sandiwara sudah merupakan bentuk diri melatih atau mengasah kepekaan rasa keindahan. Karena tontonan sadar atau tidak membawa tuntunan maka penikmat akan mendapat tuntunan pada kesadaran mana yang baik dan buruk.
Tontonan bukan saja ada di panggung seni tapi sangat banyak ada di sekitar hidup kita. Kebiasaan nonton seni lambat laun akan mengasah diri untuk peka terhadap lingkungan hidup di manapun berada. Akan terbiasa memiliki laku yang justru menjadi tuntunan bagi sekitarnya. Misalnya tidak buang sampah sembarangan karena bla bla bla. Lama lama akan menegur orang buang sampah sembarangan. Dan karena telah memiliki rasa keindahan tentu menegurpun akan sangat santun sehingga tidak marah yang ditegur. Dimanapun berada akan hadir menyenangkan lingkungan.
Jika Aristoteles mengatakan bahwa “komedi” memerlukan pemain yang kritis cerdas maka akan menuntun penikmat juga menjadi kritis cerdas. Untuk itu diperlukan system pendidikan seperti yang telah dituangkan sejak Ki Hajar Dewantara menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan kabinet pertama Negara Kestuan Republik Indonesia 1945 yakni “Pendidikan seni adalah landasan bagi pendidikan menyeluruh”. Artinya Pendidikan seni ya dimulai sejak dini hingga perguruan tinggi. Bukan hanya sebagai ekskul seperti yang kini terjadi setelah di era orde baru tidak terselenggara. Bersyukur saya sekolah SD hingga SMA masih mengalami pendidikan seni yang bebas memilih dan jika nilainya merah bisa tidak naik kelas.
Baiklah lain lubuk lain ikannya dan marilah kita bergerak untuk menaburi lubuk yang telah ada dengan bibit-bibit ikan yang unggul hingga berkebudayaan yang lengkap.
Unsur-unsur dalam kebudayaan sangat beragam, salah satunya seni yang sangat kaya bentuk dan cita rasanya. Karena kebudayaan sangat dinamis maka memiliki kemampuan untuk berubah sesuai dengan pengaruh teknologi yang semakin cepat berubah. Dengan memahami hal ini maka sebagai anak bangsa yang sudah terbuka hati dan pikiran tentang berkesenian tentu akan memiliki kepedulian terhadap kebudayaan yang sudah ada untuk dipacu jantungnya agar mampu berdetak mengikuti perubahan yang sedang terjadi. Saya kurang setuju dengan istilah melestarikan karena ada pertentangan dengan dinamika perubahan yang tak mungkin ditolak. Lihatlah karya-karya shakespeare misalnya masih tetap hidup karena para senimannya terus menggeluti dan menghasilkan karya-karya baru walau tetap bernafaskan Shakespeare.
Sepertinya baru kesenian Bali yang mampu hidup dalam dinamika perubahan budaya manusia dari seluruh dunia. Maka kesenian bali tetap hidup hingga hari ini. Berkesenian dan beragama adalah laku hidup sehari2 dan itulah kebudayaan bali. Dari contoh tersebut seharusnya kita mulai percaya diri untuk mampu membawa kesenian, kearifan lokal, adat budaya daerah kita masing2 mampu turut menggelorakan kebudayaan dalam kancah kehidupan yang terus menerus terjadi perubahan-perubahan.
Salam jabat budaya kreatif.
Rudolf Puspa ialah sutradara dan pendiri Teater Keliling Jakarta. Bersama teater tersebut, beliau tercatat sebagai seniman/grup paling produktif di Indonesia dengan lebih dari 1000 pementasan yang sudah digelar. Untuk menghubungi beliau, silahkan kontak emailnya: pusparudolf@gmail.com