Advertisement
Oleh: Prof Yusmar Yusuf
“Diktator” sejati itu bukan manusia. Tapi, waktu. Dalam waktu ada takdir. Kini, orang boleh bertanya, apakah waktu itu berada di luar diri kita atau malah di dalam diri? Waktu yang berada di luar diri selalu disebut sebagai waktu vulgar (lalu, kini dan nanti). Tanyalah kepada seseorang; apa itu waktu? Dia akan menjawab ke sebentuk piranti; arloji, kronometer, kalender, ikon waktu dalam handphone atau komputer. Ingin lebih alami?; orang akan menunjuk peredaran matahari dan rembulan, pasang naik air laut. Itulah waktu yang berada di luar diri. Bagi Iqbal (sang filsuf dan penyair), waktu yang dibagi-bagi menjadi lampau, kini dan nanti sejatinya berjalan bersamaan. Masa lampau tak terletak di belakang, tapi berjalan bersama di masa kini. Begitu pula, masa depan tidak terletak di depan masa kini, kemudian baru dijalani. Masa depan baru ada, ketika dia hadir dalam sifat sebagai suatu kemungkinan yang terbuka. Maka, bagi Iqbal, waktu yang disoroti sebagai satu keutuhan organik itulah yang disebut dengan takdir. Sehingga, takdir adalah waktu yang dilihat sebelum terungkapnya kemungkinan-kemungkinan. Namun, bagi Derrida orang harus menjinakkan diri dengan sesuatu yang tak mungkin: “Mulailah dari yang tak mungkin”, ujar dia. Apakah ini sebagai upaya mengelak atau menghindari takdir? Malah sebaliknya, melakukan “konstruksi takdir” yang baru? Rekayasa takdir? Entahlah.
Lalu, mana sosok diktator itu? Benjamin Franklin menyebutnya “Time is money”. Adagium tua Arab menyebut “waktu laksana pedang”. Selanjutnya, kebudayaan manusia mengumpul segala kosa-kata yang berhubungan dengan nasib, takdir, keberuntungan agar bersimpuh dengan sang diktator waktu. Seraya bersimpuh, setiap orang diwajibkan meringkus waktu, menjinak waktu. Muncul pertanyaan berikutnya; apakah waktu itu liar? Ya,uang sudah mendefenisikan waktu. Begitu juga pedang, ikut pula mendefenisikan waktu. Waktu yang berlari adalah belahan diri (avatar) dari uang yang berterbangan di depan mata dan angan. Waktu yang tertatih adalah pancungan pedang mematikan. Di sini, waktu liar dan meliar. Waktu tidak lagi menjadi waktu, tetapi menjadi penjelas kesibukan harian manusia. Selanjutnya, waktu tidak pula didefenisi sebagai waktu, dia telah beralih (trans-mutasi) menjadi modal atau entitas yang bisa dieksploitasi dan dimanipulasi.
Jinak atau liarnya waktu tergantung dari manusia yang membuka diri terhadap waktu. Bukan kemampuan mengontrol waktu. Tetapi lebih dari kemampuan menghayati bahwa waktu adalah diri sendiri. Waktu bukan sesuatu eksternalitas. Diri adalah waktu. Lihatlah bagaimana para penjaga malam, penjaga lintasan (palang) kereta api, para penjaga mercusuar, satpam perusahaan asing, mereka adalah sekumpulan para penjinak waktu. Sebabnya? Mereka tidak dikejar-kejar waktu. Mereka selalu punya waktu. Mereka masuk dalam waktu dan waktu menjadi diri. Tetapi, belum tentu pula mereka menjadi wakil manusia yang penghayat waktu produktif. Mereka selalu punya waktu, dan terbiasa dalam kesunyian. Sehingga mereka bisa menjadi sosok yang tak produktif dalam waktu, sebab mereka tak bisa lagi membedakan kejemuan (dalam waktu) dengan rutinitas tugas (sebagai satu sosok diktator baru). Sebab, menjinakkan waktu tidaklah sama dengan kebal dan lali terhadap (dengan) kejemuan. Untuk itu, ujar Nabi Muhammad; “Janganlah memaki waktu, sebab waktu adalah Tuhan”. Menjinakkan waktu sejatinya adalah membuka diri atas segala kemungkinan sendiri.
Piranti waktu (arloji, kalender) tak sekadar menunjuk waktu, sekaligus berfungsi sebagai pengontrol waktu sehingga kehidupan menjadi sedemikian rupa, sedemikian patis dan terikat oleh sejumlah kaidah yang terpetak-petak, sekaligus kaku. Angka-angka yang mewakili waktu dari kronometer, jam dan kalender, ikut membentuk persepsi, visi dan cara melihat dunia seseorang tentang waktu. “Tepat pukul 20.17, janji makan malam bersama, sekaligus presentasi di depan para klien baru” (bisnis). “Besok pagi, pukul 09.36 ada sponsor ganthering, untuk event tahun ini”. Semua bentuk angka-angka waktu yang tak “mewaktu” ini menjadi penghadang bagi diri yang sebelumnya tak pernah berjanji apa pun dalam kehidupan (dengan waktu). Di sini, waktu mengontrol kehidupan kita. Bukan kita lagi yang mengontrol waktu. Kultur-kultur halus dan tinggi di Ero-Amerika meletakkan waktu yang serba tepat dan cepat (bicara produktivitas, konektisitas, kreativitas, kelasakan dan kelincahan, pertumbuhan dan pencapaian). Segala teknik dan “roadmap” disusun dengan segala langkah dikulum dalam mentalitas “kick off” (percepatan) demi kehidupan yang lebih agung dan menjulang. Di sini, mereka menjinak waktu atau malah waktu yang menjinak mereka (kultur Ero-Amerika).
Tersebut satu nama Robert Levine, meneliti tentang mentalitas dan visi waktu dan kemewaktuan kultur Ero-Amerika yang berbeda bak langit dan bumi dengan kultur Afrika, Asia, Timur Tengah dan Latin Amerika. Di negara-negara dengan kultur serba lambat, waktu seakan “melar”, “lonjor”, sehingga muncullah istilah “Masih punya banyak waktu”, “Masih ada kesempatan kedua”, “Belum terlambat, sama sekali belum terlambat, daripada tidak sama sekali”. Waktu, di sini seakan diajak kompromi dalam candaan-candaan kreatif yang “lonjor” dan “melar” serba elastis. Waktu dan kehidupan seakan berjalan perlahan dan lambat. Puncak juara yang paling tak kenal (tepat) waktu itu adalah Brazil, diikuti pemangku juara bernama Indonesia, selanjutnya menyeberang lagi ke Mexico sebagai juara ketiga (medali gangsa). Di negeri-negeri ini, terbangun satu pameo “time is not money”. Malah, bisa lebih melampau; “time is relaxation”, “all days are quality time” (waktu itu santai). Yang mana satu dari dua kultur makro ini yang bisa dikategorikan sebagai “pemaki waktu”?
Para penulis, penyair dan ilmuan, di manakah kita berdiri di dalam waktu? Waktukah yang mengontrol kita, atau sebaliknya kita yang mengontrol waktu. Apakah waktu yang berada di dalam diri kita adalah sekumpulan waktu yang liar dan meliar? Atau malah waktu yang di luar diri kita menjadi patokan hidup kreativitas kita? Di sini, waktu dapat diibaratkan bak gagasan tentang benda (things) yang memikul sifat derivative (turunan): “Kita dapat menurunkan benda-benda dari gerakan. Namun, kita tak dapat menurunkan gerakan dari benda-benda yang tak bergerak, ujar Iqbal. Waktu dan kehidupan itu bergerak, tapi bukan linier, bukan pula sirkuler. Yang jelas, bukan waktu sejarah.